KOLOM DAHLAN ISKAN
KEKALAHAN KEBAIKAN OLEH FITNAH
SAYA punya kebiasaan yang mungkin bisa membahayakan diri saya sendiri: selalu meneruskan (forward) SMS, BBM, atau e-mail kepada direksi BUMN yang terkait. SMS, BBM, atau e-mail itu datang dari berbagai kalangan, perorangan atau lembaga.
Tentu banyak sekali SMS, BBM, atau e-mail yang saya terima setiap hari. Ada yang menghujat, ada yang memuji, ada juga yang memberi saran. Misalnya, saya baru saja mengemukakan sebuah ide. Tidak lama kemudian, masuklah berbagai tanggapan, masukan, dan kritik.
Ide membeli peternakan di Australia, misalnya, termasuk yang banyak mendapat tanggapan. Bahkan, banyak juga e-mail yang menawarkan kerja sama. E-mail seperti itu langsung saya forward ke direksi yang terkait. Ada yang saya beri komentar, ada juga yang tidak. Akan diapakan masukan-masukan itu, terserah direksi yang bersangkutan.
Demikian juga ketika saya minta Pertamina meningkatkan produksi minyak. Saya sebagai menteri BUMN malu kalau produksi minyak Pertamina tidak bisa meningkat. Tidak hanya malu, tapi juga prihatin. Impor minyak kita terlalu besar.
Salah satu yang saya dorong adalah ditingkatkannya produksi minyak dari sumur-sumur tua milik Pertamina. Lantas, masuklah ide dari berbagai kalangan. Semua saya forward ke direksi Pertamina. Atau, saya print untuk diserahkan ke direksi Pertamina.
Tentu sepenuhnya terserah direksi. Apakah masukan itu akan diperhatikan, ditanggapi, atau diabaikan. Direksi BUMN memiliki aturan sendiri.
Rupanya, dalam hal ini ada yang ditanggapi direksi Pertamina. Lalu, Pertamina melakukan proses tertentu sesuai dengan prosedur internal mereka.
Yang seperti ini bisa membahayakan saya: bisa saja forward dari saya tadi dianggap memo atau rekomendasi atau disposisi yang dianggap bagian dari KKN.
Saya sendiri tidak akan pernah merasa begitu. Saya percaya direksi Pertamina memiliki aturan dan disiplin sendiri untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Saya dengar usaha meningkatkan produksi sumur tua itu mulai memberikan hasil. Sudah ada sumur tua yang dulunya hanya menghasilkan minyak 80 barel per hari kini bisa menjadi 400 barel per hari. Padahal, Pertamina memiliki sekitar 5.000 sumur tua. Tentu tidak semua bisa direvitalisasi. Tapi, kalau bisa separonya saja, sangat berarti bagi negara yang masih besar impor minyaknya.
Apakah dengan sorotan dari majalah Tempo terbaru itu saya akan menghentikan kebiasaan meneruskan e-mail, SMS, dan BBM dari masyarakat kepada para direksi BUMN? Sama sekali tidak! Saya tidak takut sama sekali. Kebiasaan itu tetap akan saya teruskan. Dengan segala risiko.
Semua SMS, BBM, dan e-mail dari siapa pun tetap akan saya kirim (forward) ke direksi terkait. Mungkin memang ada di antara masukan itu yang kemudian diperhatikan direksi dan lantas menjadi bisnis. Saya tidak keberatan. Asal diproses dengan benar.
Apakah yang di Pertamina itu sudah diproses dengan benar? Salah satu e-mail itu memang datang dari orang yang sudah saya kenal baik. Isinya sebuah ide jitu untuk merevitalisasi sumur tua. Rupanya, ide itu dipakai Pertamina.
Ketika selentingan “disposisi Dahlan” itu mulai dipersoalkan sebagian serikat pekerja, saya perlukan menelepon direksi Pertamina. Saya tanyakan: Apakah sudah diproses secara benar? Jawabnya tegas: Sudah. Apakah itu karena disposisi saya? Jawabnya tegas: Tidak.
Masukan itu, untuk bisa sampai diterapkan di lapangan, ternyata sudah diuji dengan benar. Bahkan, kasus keberhasilan merevitalisasi sumur tua itu jadi bahasan utama dalam konferensi insinyur perminyakan sedunia di Dubai tahun ini.
Tentu menarik juga kalau dalam proses itu ditemukan kasus korupsinya. Bongkar saja. Siapa menerima apa. Tunai maupun fasilitas. Bongkar! Kenapa tidak?
Tapi, kalau ternyata tidak ada korupsinya, tidak ada aliran uangnya, tidak ada gratifikasinya, pemanfaatan teknologi untuk merevitalisasi sumur tua itu harus dipuji.
Kita memang sulit melakukan terobosan di negeri ini. Tapi, niat baik tidak boleh kalah oleh fitnah. (*)
=============================================================================================
MANUFACTURING HOPE 104
SENYUM TULUS MARKETING PARA DIRUT
“SENYUM saya sudah betul, Pak?” tanya seorang direktur utama BUMN kepada saya melalui SMS. Dirut tersebut prestasinya luar biasa hebat. Tapi, senyumnya juga luar biasa pelit.
Setiap kali bertemu sang Dirut saya memang terus mempersoalkan wajahnya yang selalu tegang. Dan kaku. Dan cemberut.
“Anda itu Dirut yang hebat,” kata saya. “Kalau bisa sering tersenyum, Anda akan lebih hebat,” tambah saya.
Beberapa minggu kemudian, ketika sang Dirut belum juga bisa tersenyum, saya berikan pengertian mengapa harus tersenyum. “Anda itu harus menjadi seorang marketer. Bahkan, harus menjadi marketer terbaik di BUMN Anda. Bagaimana seorang marketer wajahnya terlihat tegang terus?” kata saya.
Saya tidak dalam posisi memarahi dia. Saya menempatkan diri bukan sebagai menteri. Saya ajak dia bicara lebih seperti kakak kepada adik. Sebelum bicara itu pun saya lebih dulu bertanya kepada dia: bolehkah saya bicara mengenai hal yang sangat pribadi? Dia bilang: boleh.
Jadilah saya bicarakan hal wajah dan senyum itu kepadanya. Sayang sekali, seorang CEO yang kerja dan prestasinya luar biasa, tapi lebih banyak kelihatan cemberut. Tekanan pekerjaan yang berat dan menumpuk mungkin membuatnya tegang.
Pun waktu yang dia habiskan di lapangan memang panjang. Siang menemukan persoalan, malam menemukan kerumitan. Orang luar selalu menekannya, orang dalam menjengkelkannya.
Mungkin juga bukan karena semua itu. Mungkin juga karena latar belakang pekerjaan lamanya di dunia keuangan. Itu membuatnya “selalu bersikap keuangan”. Banyak kata, orang yang hidup lama di “sikap keuangan” sulit berubah menjadi “bersikap marketing”.
Entahlah.
Tapi , saya percaya orang bisa berubah. Yang jelas, seorang CEO akan tidak sempurna ke-CEO-annya kalau tidak bisa tersenyum, tidak bisa mengajar, mendidik, dan tidak bisa jadi orang marketing.
Maka, sang Dirut berjanji untuk berubah. Menyempurnakan prestasinya dengan meramahkan wajahnya.
Suatu saat saya kaget. Dia mengirim BBM kepada saya. Disertai foto wajah yang lagi tersenyum.
“Senyum saya yang seperti ini sudah tepat, Pak?” tanyanya.
“Belum!” jawab saya. “Kurang tulus,” tambah saya.
“Wah, sulit ya?” tanyanya lagi.
“Tidak!” jawab saya. “Coba terus!”
Minggu berikutnya dia kirim foto lagi yang juga tersenyum. “Sudah bagus, Pak?” tanyanya.
“Sudah 70 persen! Bagus! Anda maju sekali!” jawab saya. Saya kagum akan kesungguhannya tersenyum.
Minggu-minggu berikutnya dia terus mengirimkan foto wajahnya yang lagi tersenyum. 75 persen. 80 persen. 90 persen. Akhirnya 100 persen! Senyum terakhirnya, enam bulan setelah usaha yang keras, sangat sempurna, natural, dan tulus.
Senyum itu lantas saya pilih untuk cover buku yang diterbitkan untuk ulang tahun perusahaannya. Buku yang sangat bagus mengenai prestasinya yang hebat dalam mentransformasikan BUMN yang dia pimpin. Buku itu kini sudah tiga kali cetak ulang dan jadi best seller. Tentu senyum tulusnya di cover ikut memberi andil.
Itulah buku yang bercerita: bagaimana sang Dirut mampu melakukan transformasi perusahaan yang luar biasa hebatnya. Bahkan, lebih hebat daripada yang dilakukan menteri BUMN.
“Pasien” saya yang seperti itu tidak hanya satu. Tidak dua. Tidak tiga. Banyak! Satu per satu saya ajak bicara. Bukan hanya perusahaannya yang harus bertransformasi, tapi juga penampilan pribadi Dirutnya. Saya gembira mereka yang prestasinya hebat-hebat itu juga berani menyempurnakan dirinya.
Saya juga berterima kasih kepada owner MarkPlus, Pak Hermawan Kartajaya, yang ikut mengubah BUMN-BUMN kita. Terutama dari sisi marketing. BUMN Marketeers Club yang rutin bertemu dari satu BUMN ke BUMN lain, mendapat sambutan antusias dari teman-teman direksi BUMN. Begitu juga BUMN Marketing Award yang juga digagas Pak Hermawan.
Saya sempat menghadiri beberapa pertemuan forum marketing itu. Termasuk untuk menyosialisasikan keinginan saya bahwa seorang CEO/Dirut di BUMN harus juga menjadi orang terbaik untuk urusan marketing di BUMN masing-masing.
Saya juga bangga bahwa setiap kali MarkPlus menyelenggarakan acara tahunan yang amat bergengsi, Marketeer of the Year, para CEO BUMN tampil di jajaran pemenang. Mengalahkan sektor swasta. Bahkan, hampir selalu terpilih menjadi yang terbaik, menjadi Marketeer of The Year. Seperti yang diraih Emirsyah Satar, CEO Garuda; Sofyan Basyir, CEO BRI, dan saya sendiri waktu menjabat CEO PLN.
Tentu bukan hanya senyum yang harus bertransformasi. Cara para CEO berpidato pun harus berubah. Harus menjauhkan kebiasaan lama berpidato dengan membaca teks yang formal, kaku, dan hierarkis.
Untuk urusan ini saya juga melihat kemajuan yang sangat besar. Saya mencatat beberapa CEO sudah mampu tampil dengan pidato yang memikat. Bahkan, beberapa di antaranya sudah seperti CEO multinational corporation.
Pidato Dirut Bank Mandiri, Dirut Telkom, Dirut BRI, Dirut BNI, Dirut RNI, dan Dirut Pelindo I Medan sudah sangat cair, dan “lebih marketing”. Sudah berubah total dan dengan penuh percaya diri bisa mengemukakan kiprah dan masa depan perusahaan dengan gamblang.
Tentu saya tidak akan melarang pidato pakai teks. Dalam beberapa kesempatan malah seharusnya pakai teks. Tapi, saya belum puas dengan penampilan beberapa CEO yang ketika di podium masih seperti kurang menguasai persoalan. Saya akan sabar mengikuti perubahan-perubahan itu.
Mengapa saya merasa perlu untuk menekankan semua itu? Sebab, CEO di samping seorang marketer nomor satu di perusahaannya, dia juga manajer personalia terbaik di korporasinya. Kalau seorang CEO tidak terlatih dalam mengemukakan ide, hope, dan programnya, dia tidak akan bisa meyakinkan anak buahnya.
Siapakah sang CEO yang selalu kirim foto wajahnya yang sudah tersenyum itu?
Dialah Dirut PT KAI, Ignasius Jonan. (*)
============================================================================================
MANUFACTURING HOPE 103
MENGUKUR KERUMITAN PANGKALAN SUSU
Sudah pukul 20.30, perjalanan darat dari Medan ke Pangkalan Susu baru dapat setengahnya. Manufacturing Hope ke-103 ini belum ditulis. Redaktur media sudah menunggu. Jam segitu tulisan ini biasanya sudah terkirim.
Tadi malam saya harus ke Pangkalan Susu, tiga jam perjalanan darat dari Medan. Di Pangkalan Susu ini sedang dibangun proyek pembangkit listrik paling besar di Sumatera: PLTU 2×200 MW. Saya harus bermalam di proyek ini. Mengapa?
Seharusnya proyek ini sudah jadi. Dan Sumatera Utara tidak kekurangan listrik. Tapi nyatanya tidak demikian. Bangunan dan mesin-mesinnya sendiri sudah selesai dipasang tapi belum bisa dites. Perlu listrik 6 MW untuk tes satu per satu peralatan yang sudah dipasang itu. Sumber listrik yang ada tidak sampai segitu. Hanya bisa untuk tes bagian-bagian mesin yang kecil.
Maka sebelum tiba di proyek, saya harus menulis naskah ini di dalam mobil. Sambil terguncang-guncang. Kadang kepala agak pusing. Saya harap begitu tiba di lokasi proyek tulisan ini sudah jadi. Begitu tiba di proyek bisa langsung rapat sampai tengah malam.
Nasib kelistrikan Sumut memang tidak sebaik daerah lain. Proyek Asahan 3 (PLTA) dulu terhambat izin Pemprov. Proyek PLTP di Sarulla sempat terhambat perjanjian dengan Jepang. Dan PLTU besar di Pangkalan Susu ini terhambat macam-macam. Termasuk sulitnya mendapat persetujuan untuk mendirikan transmisi.
Padahal sebuah pembangkit listrik membutuhkan transmisi. Kalau tidak, listrik yang dihasilkan tidak bisa dikirim ke kota Medan.
Tanpa transmisi itu PLTU Pangkalan Susu tidak dapat listrik untuk tes dan menjalankannya. Sampai tadi malam masih 17 tiang menuju Medan yang belum bisa didirikan. Belum dapat izin pemilik tanah. Akibatnya PLTU ini tidak bisa segera dites. Padahal tanpa tes alat-alatnya yang sudah dipasang, PLTU itu tidak akan mungkin bisa dicoba untuk dijalankan.
Tadi malam saya ke Pangkalan Susu untu merapatkan semua hambatan itu. Sebuah koran di Medan menulis besar-besar: Dahlan Iskan Ingkar Janji. Saya harus menerima kritik itu dengan hati yang lapang. Saya harus penuhi komitmen untuk membereskan listrik Sumut, meskipun saya ini Menteri BUMN. Saya memang sudah menduga persoalan listrik di Medan amat sulit tapi tidak menyangka kalau serumit ini.
Soal-soal hambatan seperti itu memang umum terjadi di daeran lain, tapi karena listrik adalah kebutuhan bersama maka hambatan biasanya diselesaikan cepat. Pernah Bupati Indramayu waktu itu Irianto MS Syaifuddin (Biasa dipanggil Yance, kini digantikan istri beliau) mempertaruhkan jabatan agar tiang-tiang listrik di daerahnya cepat berdiri.
Saya juga pernah menemui kasus yang sama di Tangerang. PLTU di Teluk Naga hampir jadi tapi transmisinya terhambat. Saya tantang kepala proyeknya: kalau bisa diselesaikan sebelum PLTU jadi akan saya beri hadiah mobil Avanza. Saya tahu tidak ada anggaran untuk itu. Tapi kalau transmisi itu beres, negara menghemat Rp 2 triliun setiap tahun. Akhirnya jadi. Saya belikan dia Avanza dari dana pribadi.
Saya belum tahu apakah saya harus melakukan hal yang sama di Pangkalan Susu ini. Saat menulis ini saya belum rapat. Saya baru akan tahu tingkat kerumitan persoalannya setelah rapat.
Saya juga sudah rapat dengan direksi PT Inalum dua hari lalu. Saya minta inalum menyumbangkan listrik lebih banyak untuk Sumut. Pak Sijabat, Plt Dirut Inalum sudah menyanggupi. Tapi tunggu awal Desember nanti. Setelah perbaikan satu generatornya selesai.
Selama ini Inalum sudah rutin menyumbang PLN Sumut sebanyak 50 MW. Yakni sejak saya menjabat Dirut PLN dulu. Nanti, mulai bulan depan akan bertambah. “Bisa tambah 30 MW lagi,” ujar Sijabat. Tidak hanya itu, saya akan izinkan Inalum membangun PLTU besar di Kuala Tanjung. Untuk meningkatkan kapasitas pabrik alumunium sekalian menjual listriknya ke PLN Sumut.
Proyek listrik Inalum itu pasti lebih cepat: uang ada, lokasi ada, pelabuhan sudah punya. Tinggal membangun di lokasi yang sudah matang.
Jam 21.00, ketika saya selesai menulis Manufacturing Hope ke-103 ini, saya tiba di lokasi proyek. Tulisan ini harus saya akhiri dulu. Peserta rapat sudah berkumpul. Saya juga sudah minta disediakan kamar darurat untuk tidur di proyek ini. (*)
==========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 96
MARATON DUA PERUSAHAAN IKAN YANG BARU BANGKIT
SATU lagi perusahaan BUMN yang selama ini ”tidak hidup dan tidak mati” kini bergairah kembali: Perum Perikanan Indonesia (Perindo). Nasibnya pernah sama dengan PT Perikanan Nusantara (Prinus) yang pingsan bertahun-tahun.
Kini dua-duanya hidup kembali. Kalau PT Prinus bergerak di bidang penangkapan ikan, Perum Perindo menekuni bidang pelabuhan khusus perikanan. Kalau kisah kebangkitan PT Prinus sudah saya uraikan pada Manufacturing Hope 96, giliran hari ini saya mengisahkan kebangkitan Perum Perindo.
Memang dua perusahaan itu seperti tumpang tindih. PT Prinus juga memiliki pelabuhan ikan, Perum Perindo juga mengembangkan ikan. Tapi, biarlah masing-masing hidup dulu, mengembangkan diri dulu, dan kelak entah harus disatukan atau tidak.
Sudah terbukti langkah penyatuan perusahaan tidak selalu betul. PT Prinus sendiri adalah gabungan (hasil merger) dari lima perusahaan perikanan milik negara. Toh tertatih-tatih juga sebelum akhirnya bangkit dan berlari.
Sebetulnya basis Perum Perindo sangat kuat dan strategis. Perusahaan itu menguasai lahan pelabuhan ikan seluas 76 hektare (ha) di Muara Baru, Jakarta. Juga memiliki pelabuhan ikan di lima kota lain seperti Pekalongan, Jawa Tengah; Belawan, Sumatera Utara; dan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Entah bagaimana dulunya perusahaan itu dikelola hingga kian lama kian lemah.
Awal 2013 adalah awal pembenahan Perum Perindo. Direksi baru ditetapkan. Dirutnya masih muda: 37 tahun. Dia seorang doktor perikanan dari Undip Semarang. Dia seorang pekerja keras dan mampu bekerja secara tim. Dia juga bukan seorang yang bossy sehingga rajin turun ke lapangan.
Sebelum diangkat menjadi Dirut, Agus Suherman sudah teruji dalam penilaian integritasnya. Saya perlu satu tahun untuk mengamati caranya bekerja dan mengamati perilakunya sehari-hari di Kementerian BUMN.
Memang tidak mudah bagi Agus untuk membenahi Perum Perindo. Dari lahan 76 ha di Muara Baru itu, sebagian besar sudah disewa-sewakan. Sewanya pun panjang-panjang: 30 tahun. Tarifnya sangat murah.
Yang seperti itu memang lazim di perusahaan pemerintah pada masa lalu. Termasuk di pelabuhan Ambon yang masuk PT Pelindo IV. Untungnya, di Pelindo masa sewanya tidak lama. Tahun ini berakhir. Tahun depan lahan pelabuhan Ambon akan dikelola sendiri oleh BUMN tersebut.
Di Perum Perindo, dampak sewa yang sangat murah itu juga membuat penyewanya tidak bersemangat. Banyak lahan dibiarkan telantar di situ. Toh bayar sewanya hanya Rp 10 juta per hektare per tahun.
Agus mulai menertibkannya. Tidak sia-sia Pak Mustafa Abubakar dulu menarik Agus dari Semarang ke Jakarta dan menjadi pejabat eselon III di Kementerian BUMN. Dia berani bertindak. Dia peringatkan para penyewa yang lalai itu: kalau tidak dibangun akan diambil perusahaan untuk dikelola sendiri.
Berkat peringatan itu, kini banyak perubahan. Waktu saya meninjau Perum Perindo Kamis lalu (sambil rapim BUMN di situ) terlihat kegiatan pembangunan pabrik di berbagai lokasi.
Saya memimpikan Muara Baru bisa menjadi pelabuhan perikanan yang modern, tertata rapi, dan menjadi kebanggaan bangsa. Pabrik es besar di situ yang semula sudah kembang kempis kini bekerja penuh. Galangan kapal ikan yang hanya dua buah sudah dibenahi.
Dulu kapal ikan yang rusak harus antre panjang untuk diperbaiki. Antreannya bisa sampai 200 kapal. Kini memang masih antre, tapi tingggal 80 kapal.
Untuk itu, Perum Perindo akan menambah dua galangan lagi. Enam bulan ke depan harus sudah jadi. Agar jumlah kapal ikan yang antre berkisar 20. Dengan cepatnya perbaikan kapal-kapal ikan yang rusak, otomatis produksi ikan akan meningkat.
Agus juga berencana membenahi bagian-bagian pelabuhan yang kumuh. Termasuk menetapkan model sewa yang baik. Beberapa pabrik ikan di situ tidak bisa dibangkitkan karena dalam status sitaan bank. Rupanya, karena jangka sewa yang panjang itu, banyak juga aset di situ yang diagunkan ke bank. Ketika kreditnya bermasalah, pabriknya disita.
Meski statusnya perum, Agus bisa membawa Perindo menjadi perusahaan yang untung. Ini sekaligus jadi pelajaran bagi BUMN berstatus perum lainnya. Tapi, saya tidak akan menuntut laba yang besar dari Perum Perindo. Tuntutan terbesar adalah memajukan industri perikanan Indonesia.
Saya akan mempertahankan dua perusahaan perikanan BUMN itu untuk berdiri sendiri-sendiri. Tidak akan digabung. Saya akan mempertandingkan keduanya head-to-head. Saya ingin menciptakan persaingan internal BUMN perikanan itu.
Laut Indonesia begitu luasnya. Jangankan dua perusahaan perikanan. Lima perusahaan pun kuat ditampung oleh luasnya wilayah laut Nusantara. Tahun depan adalah tahun dimulainya lomba maraton antara PT Prinus dan Perum Perindo. (*)
==========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 95
DEBARAN-DEBARAN JANTUNG DI SEKITAR INALUM
ADA dua debaran jantung pada hari-hari menjelang tanggal 31 Oktober 2013. Pertama ketika sidang Komisi XI DPR tidak kuorum pada 24 Oktober.
Akibatnya, hari itu tidak bisa diambil putusan untuk menyetujui pelaksanaan pengambilalihan PT Inalum yang tinggal tujuh hari lagi. Padahal, DPR sudah mau reses. Untungnya, pada 30 Oktober 2013 sidang diadakan lagi dan putusan pun diambil: DPR setuju. Besoknya adalah hari terakhir kepemilikan Jepang di Inalum. Besoknya DPR memasuki masa reses.
Debaran jantung kedua adalah perubahan sikap pihak Jepang. Tanggal 30 Oktober itu tiba-tiba ada surat masuk yang isinya mengejutkan: penyerahan PT Inalum tidak jadi berdasar penyerahan saham, tapi penyerahan aset.
Bagi kita sebenarnya sama saja. Inalum punya dua aset yang utama: pembangkit listrik Sigura-gura (Asahan II) di hulu Sungai Asahan dan pabrik aluminium di hilir Sungai Asahan. Asal dua aset tersebut diserahkan ke Indonesia, tidak ada bedanya dengan penyerahan saham. Hanya, perubahan mendadak menjadi penyerahan aset itu memang lebih sesuai dengan bunyi perjanjian pokok (master agreement). Bahwa selama ini perundingannya berdasar pada penyerahan saham itu atas usul pihak Jepang juga.
Hanya, dengan perubahan mendadak itu, kita bisa membaca arah berikutnya. Pihak Jepang akan menempuh jalur arbitrase.
Bagaimana kalau itu terjadi?
Tidak apa-apa. Dalam bisnis hal seperti itu normal. Toh tidak memengaruhi penyerahan aset Inalum kepada Indonesia. Sejak 1 November lalu operasi Inalum sepenuhnya dipegang Indonesia. Direktur Utama Inalum dan direktur lainnya dari Nippon Asahan Aluminium (NAA) sudah tidak berkantor lagi. Sudah meninggalkan Indonesia dengan baik-baik. Arbitrase itu hanya untuk menentukan nilai berapa dolar kita harus membayar penggantian aset tersebut.
Untuk menentukan angkanya, memang ada perbedaan cara memutuskan. Jepang lebih mudah untuk minta angka yang tinggi. Sebaliknya, kita tidak bisa memenuhi begitu saja angka yang disodorkan pihak Jepang itu. Bukan saja kita ingin angka yang lebih murah, tapi juga karena pihak kita adalah negara. Tidak bisa fleksibel. Tidak seperti swasta.
Di swasta ada mekanisme pengambilan keputusan yang disebut commercial decision. Dengan mekanisme itu, pengambil keputusan bisa menawar angka tertentu begitu saja. Dan kalau tawaran tersebut belum bisa diterima, pengambil keputusan bisa menaikkannya sedikit-sedikit.
Kita tidak bisa begitu. Penawaran kita harus berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Begitu BPKP menyebut angka tertentu, kita tidak bisa keluar dari itu. Bisa saja, seandainya kita naikkan sedikit tawaran itu akan diterima. Namun, kita bisa dianggap melanggar. Tidak ada mekanisme commercial decision di sini.
Padahal, kalau pihak Jepang sampai ke arbitrase, bisa jadi kita kalah. Harus membayar jauh lebih tinggi dibanding seandainya kita naikkan tawaran itu.
Tentu kita akan terus berusaha agar tidak harus melalui arbitrase. Juga akan berusaha memenangkan arbitrase itu nanti. Ini tidak ada hubungannya dengan penyerahan aset Inalum ke Indonesia. Semata-mata untuk menentukan angka pembayarannya.
Saya sendiri sudah pernah ke PLTA Sigura-gura dan ke pabrik aluminium di Kuala Tanjung. Yakni waktu saya masih menjabat Dirut PLN. Waktu itu Sumut lagi krisis listrik. Sangat parah. Tidak ada harapan baru. Saya berusaha “ngemis” listrik ke Inalum.
PLTA itu luar biasa besar: 600 megawatt (mw). Turbinnya berada di bawah gunung batu di kedalaman 100 meter dari permukaan tanah. Meski sudah berumur 30 tahun, kondisinya sangat bagus. Terawat dengan baik, khas manajemen Jepang. Inalum akhirnya bisa menyisihkan sedikit listriknya untuk PLN. Sampai sekarang.
Ini beda dengan krisis listrik di Sumut sekarang. Yang masih ada jalan keluar segera. Tidak akan lama. Pagi ini sudah akan ada tambahan listrik 12 mw dari genset di Paya Pasir. Nanti sore ada tambahan baru lagi dari Sibolga 1, sebesar 80 mw. Minggu depan Paya Pasir tambah lagi dan tambah lagi hingga mencapai 75 mw. Dengan tambahan-tambahan itu, krisis listrik di Sumut segera berakhir. Apalagi, air danau-danau di seluruh Sumatera kini mulai berisi lagi setelah musim hujan tiba. Listrik dari berbagai pembangkit besar bertenaga air akan kembali normal.
Minggu ini, setelah manajemen Inalum kita pegang penuh, kita akan audit berapa sebenarnya keperluan listrik pabrik aluminium itu. Sekaligus untuk memastikan bisakah PLN dapat tambahan sedikit lagi dari Sigura-gura.
Sungai Asahan memang sumber listrik yang luar biasa. Di hulu Sigura-gura itu sudah dibangun PLTA Asahan 1. Di hilir Sigura-gura itulah yang dulu ingin kita bangun pembangkit Asahan 3. Namun, perizinannya waktu itu ampun-ampun sulitnya. Gubernur Sumut yang sekarang sudah mengeluarkan izinnya untuk PLN. Tinggal meneruskan pembangunannya.
Tanpa sumber listrik yang murah dari Sigura-gura, pabrik aluminium Inalum tidak akan bisa bersaing. Pabrik-pabrik lain harus beli listrik dengan harga Rp 1.000 per kWh. Bahkan lebih. Inalum memiliki pembangkit sendiri yang harga listriknya hanya sekitar Rp 300 per kWh.
Karena itu, logikanya, pabrik aluminium Inalum ini akan mampu bersaing di pasar global. Itulah yang membuat PT Inalum ibarat gadis cantik yang jadi rebutan.
Kini setelah sepenuhnya dimiliki Indonesia, tentu tidak ada alasan kinerja Inalum merosot. Alangkah malunya kita kalau itu terjadi. Setelah 30 tahun tenaga-tenaga ahli kita dibina Jepang, rasanya kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi.
Pasar dalam negeri sangat membutuhkannya. Pabrik-pabrik aluminium dalam negeri sudah teken kontrak menjadi pembeli utama. Mereka dari Surabaya, Semarang, Jakarta, dan Sumut sendiri. Pabrik-pabrik itu selama ini impor bahan baku. Sekarang tinggal beli dari Inalum. Dulu mereka mengeluh tidak bisa beli bahan baku dari Inalum karena Inalum harus mengirim produknya ke Jepang.
Setelah ini BUMN membangun pabrik bahan baku aluminium di Mempawah, Kalbar. Dengan demikian, kelak Inalum tidak harus beli bahan baku dari Australia.
Presiden SBY terus mengikuti perkembangan pengambilalihan Inalum ini. Juga terus memberi arahan. Agar pengambilalihan lancar dan tidak gagal. Tepat di hari pengambilalihan 1 November lalu, Menperin Pak M.S. Hidayat dan saya dipanggil ke istana. Pak SBY ingin mendengar sendiri laporan pelaksanaan pengambilalihan itu.
Ini memang bersejarah bagi pemerintahan Pak SBY. Mengakhiri kontrak jangka panjang dan menjadikannya 100 persen perusahaan nasional. (*)
=============================================================================================
MANUFACTURING HOPE 95
MAJU DAN BERSIH, NO SALAH SATUNYA
Ini salah satu upaya internal untuk membuat BUMN bersih dari korupsi. Mungkin masih kurang sempurna. Mungkin juga ada cara lain yang lebih baik. Tapi, belum ketemu.
Intinya, pembersihan itu harus dimulai dari atas. Prinsip ini yang kami anut. Karena itu, jajaran direksi yang harus bersih dulu. Direksi yang bersih akan membersihkan level di bawahnya. Direksi yang tidak bersih tidak mungkin bisa melakukan itu.
Upaya ini kami sebut dengan “road map menuju BUMN bersih”. Cara ini mungkin dianggap kurang radikal. Kurang dar-der-dor. Tapi, mengelola perusahaan memang harus hati-hati. Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara menghancurkan perusahaannya. Pemberantasan korupsi harus dilakukan, tapi perusahaan juga harus tetap berkembang. Tetap naik omzetnya. Tetap naik labanya.
Kami menggunakan istilah “road map” karena upaya ini memang dilakukan dengan tahap tertentu, cara tertentu, dan target waktu tertentu. Dalam road map itu ada yang disebut “bersih level satu”. Artinya, level satu (direksi) di sebuah BUMN-lah yang didahulukan untuk dibuat bersih.
Tentu selama ini sudah sangat banyak direksi BUMN yang bersih. Saya tahu siapa-siapa mereka. Tapi, belum pernah diumumkan secara terbuka. Juga belum pernah diuji: benarkah bersih?
Karena itu, sejak 1 Oktober 2013 lalu kami membuka pendaftaran. Khusus untuk direksi. Secara kolektif per BUMN. Tidak bisa tiap satu direktur mendaftar sendiri. Artinya, satu board of director (BOD) harus sepakat bersih semua. Kalau ada satu board of director yang merasa gagal bersih hanya oleh ulah salah satu di antara mereka, maka mereka harus mengusulkan untuk diganti.
Saya harapkan sejak 1 Oktober lalu hingga 30 Oktober nanti, masing-masing BOD membuat kesepakatan internal: berani mendaftarkan diri sebagai BOD yang bersih atau tidak. Yang merasa belum bersih benar, tapi bertekad untuk bersih, tetap bisa mendaftar. Masih ada waktu tiga bulan untuk cuci-cuci diri.
Saya ingin tahu pada 30 Oktober depan sudah berapa BUMN yang berani mendaftarkan diri. Lalu mereka diberi kesempatan untuk berbenah-benah selama November dan Desember. Mereka akan dinilai mulai 1 Januari 2014.
Yang akan menilai mereka adalah pihak-pihak yang selama ini berhubungan dengan BUMN tersebut: pemasok, vendor, konsumen, dan seterusnya. Merekalah yang mewakili publik. Tentu yang tidak terkait dengan BUMN tersebut tidak diminta ikut menilai. Asumsinya: mereka tidak tahu persis perilaku BUMN tersebut.
Biasanya yang paling tahu sebuah BUMN itu masih kotor atau sudah bersih adalah pemasok atau pengguna jasanya. Debitor sebuah bank, misalnya, akan tahu ini: dia perlu menyogok atau tidak untuk mendapat kredit. Perlu memberikan hadiah atau tidak. Saya bangga bahwa bank BUMN sudah sangat maju. Jangankan sogok atau hadiah. Ditraktir makan oleh debitor pun mereka sudah tidak mau.
Penilaian itu akan berlangsung tiga bulan (Januari-Maret 2014). Hasilnya akan diumumkan.
Bagaimana dengan BOD yang tidak berani mendaftar sampai 30 Oktober nanti ? Tidak apa-apa. Mereka akan dikelompokkan dalam kelas khusus: mereka diberi road map menuju BUMN bersih. Harus menjalankan itu. Bagi yang tidak mau masih ada pilihan: mengundurkan diri dari jabatan direksi atau diberhentikan.
Setelah program “bersih level satu” diselesaikan, berikutnya adalah “bersih level dua”. Setiap BOD harus membuat road map. Ini untuk menciptakan pejabat tinggi satu level di bawah direksinya yang juga bersih. Tentu ini hanya dilakukan BOD yang sudah mendaftarkan diri. Yang belum mendaftar tentu tidak bisa. Bagaimana bisa membuat road map untuk menciptakan level di bawah direksi bersih kalau direksinya sendiri belum bersih?
Tentu sebuah BOD harus menciptakan sistem agar pejabat satu level di bawah direksi juga bersih. Termasuk sistem jenjang karir yang menganut merit. Tentu juga harus berani mengganti pejabat level tersebut yang dinilai berpenyakit.
Pendaftaran untuk BUMN yang level di bawah direksinya juga bersih baru dilakukan 1 Januari 2014 selama sebulan. Penilaian untuk level ini mulai dilakukan pada 1 April 2014.
Program berikutnya adalah membuat “bersih level tiga”. Yakni, bagaimana agar seluruh manajer di BUMN juga bersih. Dari pengalaman beberapa BUMN yang sudah bersih, itu tidak sulit. Kalau level direksinya sudah bersih dan level satu tingkat di bawah direksinya juga bersih, para manajer itu akan ikut dengan sendirinya.
Pendaftaran “bersih level tiga” dimulai 1 April 2014 dan akan dinilai pada 1 Juli 2014.
Sulitkah mencari orang bersih ? Tidak. Yang sulit adalah mencari orang bersih yang “tidak sok bersih”. Kita perlu orang-orang bersih, tapi tidak sok bersih. Yang sok bersih itu biasanya sikapnya kaku. Merasa bersih sendiri. Benar sendiri. Merasa orang lain itu kotor. Orang yang demikian, meski bersih, sulit diangkat menjadi pimpinan di perusahaan. Dia tidak bisa berada dalam satu tim kerja yang solid. Padahal, kemajuan itu tidak bisa dibuat oleh satu orang. Harus satu tim.
Kita perlu banyak orang bersih yang punya jiwa kepemimpinan. Yang punya antusiasme. Kita pengin maju dan bersih. Bersih dan maju. Bukan hanya salah satunya. (*)
======================================================================
MANUFACTURING HOPE 92
TIBA BEGITU RUWETNYA, PULANG BEGITU INDAHNYA
HAMPIR 3.000 pemain bridge dan keluarga mereka dari seluruh dunia berkumpul di Bali. Mereka lagi bertanding di kejuaraan dunia ke-43 yang berlangsung di Nusa Dua.
“Waktu tiba di Bali Anda mungkin mengeluh. Bandaranya ruwet dan jalan menuju Nusa Dua macetnya bukan main,” kata saya dalam pidato pembukaan Kamis lalu.
“Tapi waktu Anda-anda meninggalkan Bali minggu depan keadaan sudah berbeda. Anda kembali ke bandara akan melewati jalan baru di atas laut yang sangat indah. Dan Anda akan meninggalkan Bali melalui bandara baru yang juga sangat indah,” kata saya.
Saya adalah Ketua Umum Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia (GABSI). Pe-serta dari 63 negara itu bertepuk tangan gemuruh. Kejuaraan dunia ini memang berlangsung hampir dua minggu sehingga bisa mengalami dua dunia: tiba serba ruwet pulang serba indah.
Jalan tol dan bandara baru Bali itu diresmikan Bapak Presiden SBY hari ini. Inilah jalan tol terindah dengan waktu pembangunan tercepat di Indonesia. Dua-duanya didesain, dibangun, dibiayai, dan dioperasikan oleh BUMN: PT Jasa Marga Bali untuk jalan tol dan PT Angkasa Pura 1 untuk bandara.
Selama seminggu ke depan masyarakat diberi kesempatan secara gratis untuk mencoba tol atas laut. Sekalian untuk menguji keandalan sistemnya.
Sedang untuk New Ngurah Rai, ujicoba sudah dilakukan Jumat lalu dengan mengalihkan seluruh kedatangan internasional ke bandara baru. Alhamdulillah. Lancar. Mulai dari sistem imigrasi, visa on arrival, bea cukai, sampai ke pengambilan bagasinya.
Penggunaan bandara baru, di mana-mana di seluruh dunia, selalu ruwet. Terutama handling bagasinya. Karena itu boyongan bandara ini dilakukan bertahap. Untuk seluruh keberangkatan internasional baru boyongan tanggal 29 minggu depan.
Kalau boyongan itu nanti lancar, maka ini akan mengulang sukses boyongan di Medan dari bandara Polonia ke Kuala Namu, Juli lalu.
Akhir tahun ini akan menyusul bandara baru Sepinggan Balikpapan yang selesai dibangun. Juga tidak kalah indah dan besarnya. Bahkan bandara baru Sepinggan ini akan jadi bandara-mal per-tama di Indonesia. Di dalam bandara itu benar-benar ada mal sungguhan.
Pada saat yang hampir bersamaan Terminal 2 Bandara Juanda Surabaya juga selesai dibangun. Hanya bandara baru Semarang yang masih memerlukan proses. Perencanaan sudah matang, dana BUMN sudah tersedia, dan kegiatan fisik sudah lama siap dimulai. Tapi lokasinya masih harus di-clear-kan. Bandara baru itu akan menempati tanah milik TNI sehingga harus diselesaikan prosesnya.
Bandara memang persoalan rumit. Jumlah pesawat bertambah terus dengan derasnya. Pertambahan penumpang juga tidak terbendung. Pengaturan lalu-lintas udaranya benar-benar menantang.
Banyaknya pesawat yang dulu harus muter-muter di udara menunggu giliran landing sudah bisa diatasi. Caranya: Airnav Indonesia, BUMN baru, meningkatkan kapasitas sistemnya untuk Soekarno-Hatta Jakarta. Kalau dulu satu jam hanya bisa naik-turun sebanyak 60 kali, sekarang sudah bisa 69 kali.
Bahkan Airnav mengatur lalu-lintasnya sejak dari bandara asal. Keberangkatan pesawat dari bandara asal akan diminta maju atau mundur beberapa menit daripada memaksa berangkat on time tapi harus muter-muter di udara Jakarta menunggu giliran landing.
Memang ke depan sudah harus diputuskan untuk mengurangi frekuensi penerbangan dari dan ke Jakarta. Antre take off di Cengkareng sudah sangat mengganggu kepastian jadwal pesawat. Urgensi banyaknya penerbangan dari Jakarta ke Surabaya (lebih 40 kali sehari) atau Jakarta-Medan (lebih 30 kali sehari) harus dipertanyakan. Untuk apa harus 40 kali sehari” Bukankah 30 kali juga sudah cukup?
Perusahaan penerbangan sudah harus di-warning untuk segera memiliki pesawat yang lebih besar dari B737 atau sejenisnya. Tentu yang masih ekonomis untuk jarak pendek. Membangun landasan ketiga di Cengkareng memang penting, tapi terobosan manajemen lebih penting lagi.
Saya ingat apa yang dilakukan Dirut Pelindo II RJ Lino di Padang. Di masa lalu kapal harus antre sampai 15 hari di pelabuhan Teluk Bayur. Semua pihak berpendapat harus segera dibangun dermaga baru. Tentu amat mahal. Hanya Lino yang tidak sependapat. Dia lakukan perubahan manajemen.
Lino benar. Sejak enam bulan lalu kapal tidak perlu antre sama sekali di Teluk Bayur. Kapal datang bisa langsung berlabuh.
Dermaga baru tidak jadi dibangun. Uang triliunan bisa dihemat. (*)
========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 91
DENGAN INI JUMLAH PEJABAT DIKURANGI
KEMENTERIAN BUMN menyederhanakan organisasi. Mulai 1 September lalu, satu kedeputian dihapus. Jabatan setingkat direktorat jenderal itu hilang satu. Artinya, jabatan-jabatan di bawahnya otomatis banyak berkurang. Tiga direktur (di Kementerian BUMN disebut asisten deputi) ikut hilang. Lebih banyak lagi hilangnya jabatan-jabatan di bawahnya.
Total ada 40 kotak jabatan yang terhapus. Maka, dengan ini, jumlah pejabat di Kementerian BUMN berkurang 20 persen. Selama ini banyak jabatan yang fungsinya tumpang tindih. Inilah yang dirasionalkan. Misalnya, ada deputi restrukturisasi dan perencanaan strategis. Tugasnya merumuskan konsep dan melaksanakan restrukturisasi perusahaan-perusahaan negara.
Di pihak lain ada BUMN yang tugasnya melaksanakan restrukturisasi perusahaan negara. Yakni PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). PT PPA dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sudah dibubarkan. Aset-aset sitaan BPPN karena kredit macet selama krisis moneter tahun 1998 yang tidak sempat diselesaikan oleh lembaga itu dilimpahkan ke PT PPA. Belakangan kalau ada perusahaan negara yang sulit sekalian diminta PT PPA untuk menyelesaikan.
Namun, jalannya restrukturisasi sebuah perusahaan BUMN sangat lambat. Penyebabnya, antara lain, perusahaan-perusahaan yang harus direstrukturisasi itu berada di bawah kendali berbagai deputi lain. Maka, tindakan untuk merestrukturisasi sebuah perusahaan harus melalui birokrasi yang panjang.
Dengan perubahan terbaru ini, semua perusahaan yang akan direstrukturisasi dialihkan ke bawah kendali deputi restrukturisasi dan perencanaan strategis. Tidak lagi di bawah deputi teknis. Misalnya, PT Merpati. Dari segi pembinaan, ia berada di bawah deputi bidang usaha logistik dan infrastruktur. Kini Merpati berada langsung di bawah Deputi Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Wahyu Hidayat.
Karena lebih dari 15 perusahaan harus direstrukturisasi, deputi restrukturisasi yang dulu tidak membawahkan satu pun perusahaan kini membina lebih dari 15 perusahaan. Maka, beban deputi yang lain menjadi ringan. Tentu, ini tidak baik. Untuk itu, satu deputi dihapus. Tugasnya didistribusikan ke deputi yang sudah lebih ringan tadi.
Mungkin, kelak, satu deputi lagi bisa dihapus. Yakni kalau tugas merestrukturisasi perusahaan sudah selesai. Itu berarti tidak perlu ada deputi restrukturisasi. Kalau itu terjadi, jumlah pejabat di Kementerian BUMN akan berkurang 40 persen!
Kementerian BUMN memang sangat kecil. Anggaran APBN-nya bukan triliunan, tetapi hanya Rp 140 miliar. Terkecil di antara kementerian yang ada. Urusannya memang tidak banyak: membina 141 perusahaan BUMN. Kalau ditambah dengan anak-anaknya menjadi sekitar 600 perusahaan.
Tahun lalu anggaran itu pun tidak habis.
Dalam sebuah rapat kerja, Kementerian BUMN sempat dikritik keras oleh yang biasa mengkritik. Tidak mampu menyerap anggaran. Akibatnya, uang tetap berada di Kementerian Keuangan.
Tahun ini saya minta anggaran perjalanan dinas diturunkan lagi Rp 10 miliar. Semoga, hehe, kali ini bisa habis.
Keinginan melakukan reformasi birokrasi itu telah menjadi tekad seluruh jajaran Kement-erian BUMN sejak hari pertama saya menjabat sebagai menteri. Kebetulan, para pejabat eselon satu Kementerian BUMN dulunya adalah aktivis mahasiswa. Pada hari pertama bertugas sebagai menteri itu, saya kumpulkan seluruh eselon satu.
“Kita dulu aktivis mahasiswa kan?” tanya saya kepada mereka. “Betul,” jawab mereka.
“Sekarang kita jadi pejabat tinggi kan?” tanya saya.
“Betul, Pak,” jawab mereka.
“Ingatkah waktu kita jadi aktivis dulu kita menuntut apa?” tanya saya lagi.
Maka, kami daftar apa saja yang dulu kita perjuangkan: antikorupsi, reformasi birokrasi, dan penegakan hukum.
Maka, hari itu kami sepakat untuk tidak korupsi. Jangan sampai dulu berjuang melawan korupsi ternyata setelah dapat jabatan korupsi juga. Banyak orang berteriak antikorupsi hanya karena belum diuji oleh kesempatan dan jabatan. Mereka itu akhirnya melakukan korupsi juga setelah mendapat jabatan dan kesempatan.
Kami bertekad untuk tidak seperti itu. Kami berdoa semoga dikuatkan iman kami dari ujian jabatan tinggi.
Kami juga sepakat untuk melakukan reformasi birokrasi. Mumpung menjadi pejabat tinggi, kami sepakat harus bisa berbuat sesuatu yang dulu hanya bisa kita teriak-teriakkan di ping-gir jalan. Jabatan tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Dalam hal ini, saya pernah membuat kesepakatan dengan Pak Mahfud M.D. Waktu itu beliau masih menjabat ketua Mahkamah Konstitusi dan sama-sama belum memikirkan soal capres. Beliau mengibaratkan orang yang mendapat jabatan itu sama dengan hakim yang memegang palu. Tidak boleh orang yang lagi memegang palu tidak menggunakan palunya. Karena itu, mumpung memegang palu haruslah palunya digunakan.
Maka, minggu-minggu pertama di Kementerian BUMN, kesibukan utama kami adalah merancang reformasi birokrasi di internal kementerian. Karena saya tidak berasal dari birokrasi, yang mengetuai adalah Wakil Menteri Mahmuddin Yasin. Dia seorang birokrat tulen. Tetapi, dendamnya sama: ingin cepat-cepat melakukan reformasi birokrasi.
Itulah sejarahnya mengapa lahir Keputusan Menteri BUMN No 236 tahun 2012 yang meng-hebohkan. Semangat reformasi birokrasi memang sangat tinggi waktu itu. Seperti masih ma-hasiswa saja. SK itulah yang dianggap oleh DPR melanggar peraturan. Tekanan politik untuk mencabutnya luar biasa.
Saya memang agak mokong hari itu karena saya sadar sepenuhnya reformasi birokrasi itu memerlukan keberanian. Logikanya, kalau aturan sudah baik, tidak perlu lagi ada reformasi birokrasi.
Namun, karena keributan memuncak, saya pun mundur satu langkah. Toh ada cara lain untuk melaksanakan ide itu tanpa harus ribut-ribut di DPR. SK itu saya cabut. Tetapi, esensinya tetap saya laksanakan. Banyak jalan menuju restoran.
Penghapusan satu kedeputian kali ini pun bisa saja dinilai agak melanggar peraturan. Tetapi, kami tidak menganggapnya begitu. Semoga tidak ada tekanan lagi kali ini.
Kami hanya ingin antara apa yang dulu diperjuangkan dan kenyataan di lapangan bisa sejalan. Kami tidak mau masuk kelompok yang tidak berbuat sesuatu dengan alasan “keadaan tidak memungkinkan” atau “peraturan tidak memungkinkan” atau “ketakutan akan kehilangan jabatan tidak memungkinkan”. (*)
===================================================================================
MANUFACTURING HOPE 89
SORGUM, SAPI DAN BURUNG DI BELU
PESAWAT militer CN 295 TNI-AU mendarat mulus di landasan yang hanya 1.200 meter yang masih berdebu di Atambua, Belu. Kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste.
Itulah kali pertama saya naik pesawat yang sudah lama saya sebut-sebut namanya, tapi belum pernah saya rasakan terbangnya.
Cuaca pagi Atambua sangat cerah. Meski mulai menggersang, udaranya enak, tidak panas menyengat: 28 derajat Celsius. Ini berbeda dengan kedatangan saya ke Atambua lima bulan lalu. Saya harus lewat jalan darat dari Dili, Timor Leste. Itu karena mendung tebal terus menggelayut di langit Atambua sepanjang hari. Itulah hari pencanangan gerakan sorgum dengan langkah awal uji coba penanaman pertama. Hujan terus mengguyur upacara. Wah, ini pertanda akan tersendat atau justru sebaliknya, akan berkah.
Hujan itu ternyata berkah. Sabtu lalu, ketika saya ke Atambua lagi, sorgumnya sudah panen. Bagus lagi. Murid-murid SMK Atambua dan SMK Kupang juga sudah bisa memamerkan semua peralatan buatan mereka: pemerah batang sorgum untuk jadi gula, perontok biji sorgum, penyosoh, alat destilasi bioetanol, pencacah ampas, mixer pupuk, dan seterusnya.
Ini hasil dari pendidikan dua bulan di Jakarta.
Anak-anak SMK itu memang dikirim ke Jakarta untuk melakukan reverse engineering. Dengan demikian, Atambua tidak bergantung pada alat-alat impor atau buatan pabrik. Mereka bisa bikin sendiri. Dan kalau rusak, bisa memperbaiki sendiri. Tidak akan terulang cerita lama: Bantuan peralatan untuk pedesaan kebanyakan tidak berfungsi karena begitu rusak tidak tahu cara memperbaikinya.
Bupati Belu Joachim Lopez tidak hanya gembira karena sorgumnya sudah panen, tapi lebih gembira lagi karena telah terjadi perubahan cara berpikir petani. Itu yang dia ucapkan di panggung. Bupati Belu memang lagi ingin mengubah pola pikir masyarakatnya.
Lopez berhasil mengubah adat lama yang sangat menghambat upaya meningkatkan perekonomian masyarakat. Misalnya adat kematian. Bupati mengeluarkan peraturan baru: Orang meninggal harus segera dikubur. Paling lama dua hari. Tidak boleh lagi mayat ditahan sampai seminggu. Apa hubungannya dengan ekonomi?
“Kalau mayat ditahan selama tujuh hari, berarti ada tujuh sapi yang dipotong,” katanya. Itu berarti upaya mengembangkan ternak sapi hanya habis dibuat pesta. Apalagi, banyak juga yang sampai berutang untuk membeli sapi itu.
Apa sanksi bagi yang menahan mayat lebih dari dua hari? Jelas: Tidak akan ada pendeta yang datang untuk memberkati pemakamannya. Untuk itu, Bupati Lopez minta dukungan Keuskupan Atambua. Uskup setuju. Kini setiap ada kematian, maksimum hanya dua sapi yang dipotong.
Demikian juga saat banyak sapi memangsa tanaman muda sorgum. Bupati bikin kesepakatan dengan masyarakat adat. Ketua adat pun membuat keputusan: Kalau ada sapi yang masuk ke ladang sorgum, sapinya boleh dipotong. Sejak itu, tidak ada lagi tanaman sorgum yang rusak. Pernah terjadi satu sapi lolos ke ladang sorgum. Ketua adat benar-benar memutuskan untuk memotong sapi itu. Aman.
Setelah sorgumnya berbuah, muncul ancaman baru. Kali ini masyarakat adat tidak mungkin lagi bisa mengatasi: serbuan burung! Ribuan burung datang bertengger di pucuk sorgum! Sambil mematuk-matuk.
Saya terpikir, kinilah saatnya minta bantuan mahasiswa. Terutama fakultas pertanian dan elektro. Merekalah yang kini harus menemukan cara mengatasi burung. Yang bisa menemukan ide yang realistis-aplikatif akan saya beri hadiah.
Dirut PT Batantekno Dr Yudiutomo Imardjoko yang ahli nuklir terkemuka di dunia itu (termasuk ahli nuklir untuk tanaman dan makanan) akan mengumumkan di website PT Batantekno (www.batantek.com) detail sayembara tersebut.
Batantekno sendiri akan mencoba berbagai ilmu dan teknologi yang mereka kuasai, namun siapa tahu ada mahasiswa atau dosen yang memiliki ide yang lebih baik.
Batantekno memang ditugasi untuk mengurus sorgum di NTT sebagai bentuk pengabdian untuk daerah miskin. Dananya berasal dari PT Pertamina, PT Askes, dan beberapa BUMN lain. Tapi, teknologi dan manajemennya diserahkan ke Batantekno.
Saya salut dengan kegigihan tim Batantekno ini. Dr Yudiutomo, yang pada umur 35 tahun sudah dipanggil Kongres Amerika Serikat untuk mempertanggungjawabkan penemuannya di bidang nuklir, ingin menuntaskan soal sorgum ini.
Waktu itu Yudi ikut mengajukan rancangan teknologi penyimpanan sampah nuklir yang bisa bertahan sampai 10.000 tahun. Karena dianggap hebat, Yudi dipanggil kongres. Dia diminta memaparkan penemuannya. Akhirnya, Yudi terpilih masuk tiga terbaik rancangan penyimpanan sampah nuklir di AS. Tiga-tiganya disetujui untuk diikutkan tender di masa yang akan datang.
“Disertasi doktor saya di AS memang soal penyimpanan sampah nuklir,” kata Yudi.
Kini Yudi dan Batantekno dipercaya oleh perusahaan nuklir AS untuk merancang reaktor nuklir buat kedokteran di sana. Saya pun mengizinkan Batantekno untuk membuat perusahaan patungan dengan perusahaan nuklir AS.
Waktu saya meninggalkan Atambua untuk ke Rote, Flores, dan Bali, Yudi masih tinggal di Atambua. Setelah panen sorgum ini, dia masih harus menuntaskan model bisnisnya. Agar keberlanjutan proyek sorgum ini lebih terjamin.
Di Rote saya juga bertemu dengan seorang bupati yang hebat: Lens Haning. Dia juga berhasil mengubah kebiasaan yang menyulitkan pengembangan ekonomi masyarakatnya. Dia keluarkan peraturan baru: Upacara-upacara adat hanya boleh menyembelih satu ekor sapi.
Rakyat bisa menerima aturan baru itu. Terbukti, Haning terpilih lagi untuk periode kedua. Tinggal menunggu pelantikannya.
Bupati Haning juga punya tekad lain: Saya sanggup mengeluarkan daerah ini dari status daerah tertinggal kalau pemerintah pusat membangunkan tiga bendungan irigasi di Rote. Biaya masing-masing hanya sekitar Rp 15 miliar!
Begitulah! Harapan, hope, dan optimisme bisa muncul di mana-mana dan dari siapa saja, dengan berbagai jabatannya. ●
==========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 87
TIKUS GIGI JELEK DAN BANDARA UNGGULI PENANG
MINGGU pagi, 5.000 lebih tikus berhasil digeropyok petani di Karawang, Sleman, dan Klaten. Musim hujan yang panjang tahun lalu, juga tahun ini, membuat petani sangat bernafsu tanam padi setahun tiga kali. Hasilnya memang baik. Tapi, beberapa kabupaten yang epidemi tikus harus menderita karena dihancurkan binatang pengerat itu.
Di Sleman, Jogjakarta, seperti dilaporkan Bupati Sri Purnomo kepada saya, 500 hektare sawah sampai puso. Yang 1.500 hektare lagi tidak bisa panen normal.
Di Klaten, seperti dilaporkan Wakil Bupati Hj Hartini, lebih parah lagi. Lebih 1.500 hektare yang puso. Bahkan, saat saya berdialog dengan petani, tiga petani menyatakan, sudah empat kali tanam gagal total. Petani yang menanam, tikus yang memanen.
Seperti juga tikus-tikus berdasi di Jakarta, tikus sawah di Klaten, Sleman, dan Karawang ini sulit diberantas. Ini karena makanan terus tersedia. Bukan saja setahun penuh selalu ada tanaman padi, tapi juga karena musim tanamnya tidak serempak. Dengan demikian, selalu saja ada tanaman padi yang menjelang bunting setiap saat.
“Tikus memang sangat senang makan batang padi yang menjelang bunting,” ujar Dr Ir Darmadji, satu-satunya doktor ahli tikus di Indonesia. Alumnus Universitas Gadjah Mada ini melihat, tidak ada jalan lain, kecuali petani berubah pola tanamnya. Tikus itu, ujar Dr Darmadji kepada saya, berkembangnya amat pesat.
Hamilnya cuma tiga minggu. Sekali melahirkan bisa delapan anak dan selalu berpasangan jantan-betina. Induknya sendiri sangat doyan kawin. Baru 40 jam melahirkan sudah berahi lagi. Sudah bisa kawin lagi. Beranak lagi. Delapan lagi. Seekor tikus yang bunting pada saat padi ditanam sudah bisa jadi 50 ekor saat padi mau dipanen.
Sebanyak 5.000 tikus yang digeropyok kemarin itu, kalau dibiarkan, sudah bisa menjadi 40.000 bulan depan.
Di depan kelompok tani, baik di Sleman maupun di Klaten, saya minta BUMN pupuk, PT Pupuk Indonesia (Persero), menggerakkan brigade antihama untuk mengatasi hama tikus ini. Seluruh direktur utama (Dirut) pabrik pupuk (Pupuk Kaltim, Petrokimia Gresik, Kujang, dan Sriwijaya) tidak bisa ber-weekend kemarin. Semua berhari Minggu bersama tikus.
Kami bertekad musim tanam sekarang ini harus berhasil sampai panen. Geropyokan akan dilakukan tiap minggu selama sebulan penuh. BUMN pupuk menyediakan peralatannya. Kalau sampai musim tanam kali ini tidak berhasil panen, tidak akan ada modal lagi untuk musim tanam berikutnya.
“Ibaratnya, untuk bisa tanam sekarang ini, kami harus menjual kambing atau cincin tabungan kami,” ujar seorang petani di Klaten.
Sebetulnya, kata Dr Darmadji, yang dimakan tikus itu tidak banyak. Banyak tikus yang merusak batang padi karena usil saja. Yakni untuk memenuhi tuntutan sifat mengeratnya. Gigi tikus seperti gatal ingin mengerat. Kalau tidak mengerat, giginya tumbuh cepat hingga sangat panjang. Tikus yang giginya jelek daya keratnya lebih berbahaya.
Memang ada pemangsa tikus seperti burung hantu dan ular sawah. Tapi, daya basminya kecil. Satu burung hantu hanya bisa makan tiga tikus sehari. Bahkan, ular sawah hanya sekali makan untuk satu minggu.
Belum lagi kalau hujan gerimis sepanjang malam. Tikus-tikus itu bisa keluar dari lubang dua kali. Pukul 19.00-an dan pukul 03.00 dini hari. Mereka tidak tahan kedinginan. Untuk menghangatkan badan, mereka harus lebih banyak mengerat sesuatu.
Boyongan Bandara
Untunglah, sepanjang pekan kemarin tidak hanya ada berita sedih mengenai tikus. Ada juga berita gembira. Yakni mulusnya proses pemindahan bandara di Medan dari Polonia yang sesak ke Bandara Kualanamu yang indah, megah, dan lapang.
Semula banyak yang khawatir pemindahan itu akan penuh dengan kekisruhan. Maklum, memindah aktivitas 20.000 orang per hari. Boyongan rumah saja heboh, apalagi ini boyongan bandara.
Begitu khawatirnya (apalagi waktunya menjelang mudik Lebaran) sampai-sampai saya minta seluruh Dirut yang terkait dengan boyongan itu siaga di lokasi. Dirut Angkasa Pura II Tri Sunoko yang menjadi pemilik bandara siap sejak sehari sebelumnya. Dirut Garuda, Dirut KAI, Dirut Damri, dan Dirut Airnav Indonesia bersama saya begadang siang-malam.
Dirut KAI Ignasius Jonan harus aktif karena inilah untuk kali pertama bandara di Indonesia dilengkapi jalur kereta api (KA). Stasiun barunya di Medan dan stasiun barunya di kompleks bandara sungguh membanggakan. Sudah seperti stasiun KA di negara maju.
Dirut Damri juga siaga karena pasti ada penumpang yang masih kesasar ke bandara lama. Betul juga. Masih ada sekitar 15 orang penumpang yang tidak tahu bahwa bandaranya sudah pindah. Mereka lantas diangkut dengan bus Damri. Ini sekalian untuk jalan keluar bagi yang merasa tarif KA bandara terlalu mahal (Rp 80.000). Mereka bisa naik Damri yang hanya Rp 15.000.
Dirut Airnav juga wajib ada. Perum Airnav adalah BUMN baru yang tugasnya mengatur lalu lintas udara seluruh Indonesia. Dulu urusan tower dan navigasi ini menjadi bagian dari Angkasa Pura. Di wilayah barat berpusat di Bandara Cengkareng dan wilayah timur di Makassar. Kini disatukan di bawah Airnav sehingga bisa lebih fokus.
Pukul 05.00 hari itu, 25 Juli lalu, saya disapa serombongan penumpang yang akan ke Penang, Malaysia. Mereka sudah sering ke Penang. “Pak Dahlan, sekarang kita orang Medan sangat bangga. Bandaranya sudah jauh lebih bagus daripada Penang,” kata mereka serentak. Bahkan dalam banyak hal lebih bagus daripada Jakarta! ●
==============================================================================================
MANUFACTURING HOPE 86
KARPET TAK ONENG HUJAN TAK HENTI
HUJAN masih terus turun hingga hari ini. Padahal, ini sudah Juli. Padahal, ini sudah tanggal 22. Sudah hampir Agustus.
Ada yang senang dengan anomali cuaca ini. Misalnya, petani padi. Mereka bisa panen tiga kali setahun. Bisa jadi tahun ini produksi beras kita benar-benar melimpah sehingga tidak perlu lagi impor. Asal tidak ada hama yang tiba-tiba mewabah di sawah-sawah kita.
Hama memang sulit diduga. Minggu lalu seorang petani di Kulon Progo, yang saya pernah bermalam di rumahnya, mengirim SMS: ada serangan hama tikus di Jogja. Hari itu juga saya minta Brigade Pemberantasan Hama BUMN di bawah kendali PT Pupuk Indonesia bergerak. Ternyata benar.
Serangan hama tikus itu menyerbu Godean, Jogja, kampung asal almarhum Pak Harto itu. Saat ini mereka terus bekerja bersama para petani untuk melawan tikus-tikus di sawah. Saya juga akan ke sana untuk melihat hasil kerja brigade antihama itu.
Orang yang lagi berpuasa juga senang dengan dinginnya cuaca. Tidak mudah haus. PLN juga senang dengan kondisi ini karena pemakaian listrik turun. Listrik tidak banyak “menguap” oleh cuaca panas, dan tidak terlalu banyak digunakan untuk AC. Beda pemakaian listrik di musim hujan dan musim panas bisa mencapai 300 MW. Itu hanya untuk Jawa.
Tentu gara-gara hujan yang tidak berhenti-berhenti ini banyak juga yang sedih: petani garam, petani tebu, dan petani tembakau. Petani garam di Madura sangat terpukul. Minggu kemarin saya berkunjung ke pusat perladangan garam di Sampang. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan ladang tanpa garam. Padahal, seharusnya, bila cuaca normal, kawasan ini akan menjadi hamparan kristal yang berkilau-kilau seperti tanpa batas.
“Tahun ini sudah pasti produksi garam merosot sampai 40 persen,” ujar Slamet Untung Iradenta, komisaris utama PT Garam (Persero), yang mendampingi saya ke Pamekasan dan Sampang.
Di Pamekasan, setelah bertemu para ulama di Pondok Pesantren Al Hamidy, Banyuanyar, di bawah pimpinan KH Mohammad Rofi’i, saya bertemu 500 petani garam dari Sumenep dan Pamekasan. Saya berdialog dan bercanda bersama mereka dengan serunya di Pendapa Kabupaten Pamekasan. Sampai-sampai saya dipaksa untuk mau digendong seorang petani yang badannya kekar di pendapa itu.
Dari Pamekasan saya menuju Sampang untuk salat Tarawih di Masjid Jami’. Rasanya, inilah satu-satunya Masjid Jami’ yang memiliki pesantren Tahfidzul Qur’an, pesantren khusus untuk menghafal Alquran. Lalu saya berdialog dengan para ulama di Pesantren Al Ihsan, Jrangoan, di bawah pimpinan KH Machrus sampai jauh malam dan bermalam di pesantren itu. Minggu pagi saya berdialog dengan 500 petani garam di pusat penggaraman Pangarengan.
BUMN memang berniat membantu meningkatkan produksi garam rakyat di Madura. Tahap pertama dilakukan tahun ini untuk 1.000 petani garam yang paling miskin. Caranya: memberikan pinjaman tanpa bunga untuk modernisasi ladang garam. Yakni, biaya untuk membeli geomembran.
Dengan pemasangan geomembran itu produksi garam bisa meningkat. Proses produksi juga bisa lebih cepat dan seluruh garam yang dihasilkan berkualitas nomor satu. Tidak ada lagi garam bercampur tanah karena letaknya paling bawah. Geomembran itulah yang dihampar di dasar ladang garam.
“Bapak pernah tahu geomembran?” tanya saya kepada petani yang saya minta maju ke panggung.
“Tak oneng,” jawab Pak Tholib, petani garam itu.
“Pernah melihat geomembran?” tanya saya lagi.
“Tak oneng,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.
“Pernah mendengar kata geomembran?” tanya saya.
“Tak oneng,” jawab Pak Tholib.
Saya agak heran dengan jawaban yang serba tidak itu. Padahal, di kawasan itu PT Garam sudah lebih setahun memasang geomembran seluas 300 hektare. Hasilnya pun luar biasa. Ladang garam yang dulu-dulu hanya bisa menghasilkan 70 ton per hektare, setelah dipasangi geomembran bisa menghasilkan 130 ton per hektare.
PT Garam juga tidak direpotkan lagi oleh garam kualitas 1, kualitas 2, dan kualitas 3 yang harganya sangat jatuh itu. Semua garam produksi PT Garam adalah garam kualitas premium.
Setelah membuktikan keberhasilan itu saya minta PT Garam mengajak petani garam untuk melihat dan menyaksikan praktik modernisasi ladang garam itu. Saya juga minta PT Garam menghimpun 1.000 petani garam termiskin untuk diajak memasang geomembran.
Tentu para petani yang hadir di acara dialog tersebut tertawa riuh ketika Pak Tholib menjawab serba “tak oneng”.
Lalu seorang ibu memberanikan diri untuk menjelaskan kepada saya. “Di sini geomembran itu disebut karpet, Pak Menteri,” katanya.
Semua yang hadir pun kembali tertawa riuh. Ternyata Pak Tholib sudah “oneng” geomembran. Bahkan, Pak Tholib dan semua yang hadir di situ sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa geomembran, eh, karpet itu akan membuat produksi meningkat, biaya produksi turun, dan menghasilkan garam dengan kualitas yang lebih baik.
Total pinjaman tanpa bunga yang dipergunakan untuk membeli karpet bagi 1.000 petani garam termiskin di Madura itu mencapai Rp 32 miliar. Dananya dari berbagai perusahaan BUMN yang kuat. Mereka akan mengembalikannya selama lima tahun.
Secara bisnis, petani sebenarnya sudah bisa melunasinya selama dua tahun. Selisih jumlah produksinya begitu besar sehingga hitungannya sangat jelas. Namun, pengembalian selama lima tahun akan lebih meringankan mereka. PT Garam akan mengoordinasikan pengembalian itu dan kelak dipergunakan untuk melakukan membranisasi, eh, karpetisasi, di tambak-tambak garam milik petani lainnya.
Di akhir dialog, tiba-tiba seorang anak muda (rupanya penggemar Liverpool) berlari menuju panggung minta bicara. Setelah mengajak tost sebagai sesama penggemar Liverpool, dia bicara mewakili bapaknya. “Pak, setelah produksi garam nanti meningkat, harganya pasti jatuh,” katanya. “Untuk apa diadakan peningkatan produksi kalau harganya jatuh. Sama saja. Produksi rendah harga baik. Produksi bertambah harga turun,” katanya.
Persoalan ini juga yang disampaikan para petani garam saat berdialog di Pamekasan sehari sebelumnya. Harga garam, di saat panen, hanya Rp 500 per kilogram. “Parkir sepeda motor saja sudah Rp 1.000. Masak hasil petani garam yang demikian susah lebih murah daripada parkir motor,” kata seorang petani dari Sumenep.
“Memang, garam adalah komoditas yang harganya paling jelek di antara komoditas lain,” ujar Slamet Untung Iradenta yang pernah menjabat Dirut PT Garam.
Sudah lama Slamet mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga stabilisasi harga garam. Dana yang diperlukan hanya Rp 500 miliar. Yang tertolong jutaan orang. Dana itu pun tidak akan hilang karena terus berputar. (*)
===========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 85
TELAH LAHIR: BATERAI LITIUM MADE IN INDONESIA
SATU lagi langkah maju untuk bisa segera merealisasikan mobil listrik nasional: sejak Sabtu, 13 Juli 2013, Indonesia telah mampu memproduksi baterai litium (lithium). Memang bukan BUMN yang memproduksinya, tapi BUMN ikut menjadi pendorongnya.
Tahun lalu, ketika mobil listrik generasi pertama diluncurkan tim Putra Petir BUMN, memang masih tersisa satu kegundahan ini: baterai (aki) mobil tersebut masih impor dari Tiongkok. Belum menggunakan baterai made in Indonesia.
Selama ini Indonesia baru mampu memproduksi baterai biasa. Padahal, untuk mobil listrik, tidak mungkin digunakan aki biasa. Karena ukurannya menjadi begitu besar dan beratnya begitu ampun-ampun.
Maka, tidak lama setelah peluncuran tiga mobil listrik jenis city car karya Dasep Ahmadi itu, saya mencari-cari siapa gerangan yang punya potensi mampu memproduksi baterai litium di dalam negeri. Tentu saya mengincar pabrik-pabrik baterai yang sudah ada. Lantas saya tawari siapa yang berminat memproduksi baterai litium.
Saya tidak menjanjikan apa-apa. Tidak berjanji membelinya, tidak memberikan fasilitas apa-apa, dan tidak mau ikut menanggung biaya investasi. Juga tidak ikut menanggung risiko. Saya hanya mengemukakan gagasan besar: bahwa sebaiknya Indonesia mulai memproduksi mobil listrik. Agar kelak kita tidak menyesal untuk kedua kalinya. Agar kita tidak hanya akan kembali menjadi pasar yang besar bagi mobil listrik dari luar negeri.
Saya sangat yakin masa depan mobil adalah mobil listrik. Seluruh dunia sudah sepakat seperti itu. Memang tidak bisa kesusu dan grusa-grusu. Pelan tapi pasti masa depan kita adalah mobil listrik.
Alhamdulillah, ada satu pabrik baterai terkemuka yang mendukung ide itu: PT Nipress Tbk di Bogor. Pengalamannya memproduksi baterai sudah puluhan tahun. Pasarnya tidak hanya di dalam negeri. Ekspornya sudah merambah dunia sampai Eropa.
Perusahaan publik ini tertantang untuk ambil bagian mewujudkan gagasan besar itu, dengan mengembangkan baterai litium. Jackson Tandiono, presiden direktur, dan Richard Tandiono, direktur operasional PT Nipress, menyatakan sanggup menanamkan investasi puluhan miliar rupiah dan sanggup meluncurkan produk baterai litium pertama pada Juli 2013.
Ini sesuai dengan perencanaan lahirnya mobil listrik Putra Petir generasi kedua. Yakni mobil listrik yang disiapkan untuk digunakan dalam forum APEC di Bali awal Oktober depan.
Komitmen PT Nipress benar-benar dipenuhi. Minggu lalu Richard menghubungi saya: apakah bersedia meluncurkan baterai litium pertama made in Indonesia. Tentu saya harus bersedia untuk memberikan penghargaan kepada orang yang memenuhi komitmen yang begitu tinggi. Saya terharu ada yang mau ikut mempertaruhkan uang puluhan miliar demi mobil listrik nasional.
Dengan berhasilnya Indonesia memproduksi baterai litium, hampir 50 persen persoalan mobil listrik nasional teratasi, 50 persennya lagi sebagian besar bisa diadakan di dalam negeri. Seperti pembuatan bodi dan interiornya. Motor listriknya pun sudah akan bisa diproduksi di dalam negeri.
Mobil listrik memang harus menggunakan baterai litium. Dengan litium, untuk kekuatan yang sama, hanya diperlukan ukuran yang kecil, hanya 30 persen baterai biasa. Beratnya pun hanya sepertiga berat baterai biasa. Dan yang lebih penting: dengan baterai litium proses charging-nya bisa cepat.
Waktu meluncurkan baterai litium pertama made in Indonesia itu, kepada saya dipamerkan seluruh proses pembuatannya, pengujiannya, laboratoriumnya, dan standardisasinya. Juga sistem modulnya. Ada modul untuk bus listrik, ada modul untuk mobil listrik jenis MPV, ada modul untuk city car, dan ada modul untuk mobil sport.
Modul itu ditentukan berdasar kesepakatan hasil diskusi ilmiah berkali-kali. Dasep Ahmadi, Ravi Desai, Ricky Elson, dan ahli baterai yang paling top di Indonesia Dr Ir Bambang Prihandoko dari LIPI dengan aktifnya merumuskan bersama ahli dari Nipress untuk menentukan modul-modul itu. Inilah modul baterai litium standar Indonesia!
Dengan ditentukannya modul baterai litium ini, siapa pun yang ingin memproduksi mobil listrik tidak perlu lagi bingung. Terutama dalam penempatan baterainya. Ikuti saja standar modul yang ditetapkan produsen baterai litium tersebut.
Kang Dasep lewat PT Sarimas Ahmadi Pratama sedang menyiapkan delapan bus VIP dan lima MPV yang baterainya sudah made in Indonesia. Ricky lewat PT Berkah Para Maestro sedang menyiapkan tiga MPV dan mobil sport. Ravi lewat partnernya di Surabaya sudah membangun pabrik mobil listrik dengan kapasitas 20.000 per tahun.
Maka, kelahiran mobil listrik nasional generasi kedua akhir Agustus nanti sudah lebih lega. Tidak saja sudah banyak belajar dari kekurangan-kekurangan generasi pertama, tapi juga made in Indonesianya sudah lebih “nendang”. (*)
==================================================================================================
MANUFACTURING HOPE 84
KEROYOKAN INFRASTRUKTUR LAGI UNTUK PELUANG BARU
MEMBANGUN infrastruktur secara keroyokan kembali dilakukan. Kali ini di Medan. Tepatnya di Pelabuhan Belawan milik PT Pelindo I (Persero).
Selasa pagi lalu, di langit terbuka yang cerah di dermaga yang sudah sangat rapi, Direktur Utama (Dirut) Pelindo I Alfred Natsir bersama Dirut PT Hutama Karya (Persero) Tri Widjajanto Joedosastro dan Dirut PT Wijaya Karya (Persero) Tbk Bintang Perbowo menandatangani perjanjian kerja sama pembangunan dermaga baru senilai Rp 1,9 triliun. Tiga ribu orang yang baru saja senam bersama saya di dermaga itu ikut bertepuk tangan menyaksikannya.
Itulah dermaga baru yang akan jadi unggulan Pelabuhan Belawan. Itulah dermaga baru yang akan jadi unggulan Pelabuhan Belawan. Itulah dermaga baru yang kedalamannya mencapai 14 meter. Itulah dermaga baru yang dibangun setelah 27 tahun lamanya tidak pernah ada pembangunan di Belawan.
Tahun ini juga keroyokan itu dimulai. Tidak banyak prosedur dan liku-liku. Semuanya BUMN: dananya, desainnya, kontraktornya, dan operatornya. Saya memang terus mendorong sistem keroyokan seperti ini agar berbagai infrastruktur segera terwujud.
Bagi BUMN Karya pekerjaan ini juga penting agar banyak proyek bisa dikerjakan tanpa, misalnya, harus nyogok sana nyogok sini. Bertriliun-triliun nilai proyek bisa dikerjakan dengan cara yang tidak kotor seperti di masa lalu. Sekaligus cara ini bisa menjadi jalan pertobatan bagi BUMN Karya yang selama ini dikenal suka main-main proyek pemerintah.
Pelindo I sendiri belakangan memang mengalami kemajuan yang nyata. Laba tahun lalu naik tiga kali lipat menjadi hampir Rp 300 miliar. Sengketa-sengketa dengan pihak ketiga banyak yang selesai dengan pendekatan yang bijaksana. Gudang-gudang lama yang kumuh dan tidak maksimal penggunaannya sudah dibersihkan.
Dermaga kapal penumpangnya dibangun baru di lokasi yang lebih dekat ke stasiun kereta api dan lebih dekat dengan akses ke masyarakat lainnya. Dermaga penumpang yang lama bisa un-tuk perluasan pelabuhan barang dengan posisi yang utuh dan menyatu.
Dan yang selalu saya puji adalah ini: kejelian direksinya untuk melihat peluang baru. “Kami sudah berhasil mendapatkan hak memandu kapal di Tanjung Ucang,” ujar Alfred Natsir. Selama ini kapal-kapal yang melintas di sekitar Tanjung Ucang, tidak jauh dari Batam, dipandu dari Singapura atau Malaysia. Padahal, itu wilayah perairan Indonesia.
Alfred sudah mengajukan lagi dua izin untuk pemanduan yang sama di dua kawasan lain di sekitar Karimun dan Senipah. Di dua perairan Indonesia dekat Selat Malaka itu, sampai hari ini, kapal-kapal juga masih dipandu dari Singapura dan Malaysia.
“Cita-cita kami selanjutnya lebih besar,” ujar Alfred. “Bisa ikut memandu kapal-kapal di Selat Malaka,” katanya lagi. Kalau izin itu sudah dirinya peroleh, Alfred akan mengajak Pelindo-Pelindo lain untuk mengerjakan pekerjaan besar tersebut. Agar hak pemanduan di Selat Malaka bisa dilakukan pihak Indonesia dalam posisi agak seimbang dengan Singapura dan Malaysia. “Tidak usah seimbang lah. Bisa ambil 10 persennya saja sudah luar biasa,” ucap Alfred.
Izin itu mestinya tidak sulit. Yang mengeluarkannya adalah Kementerian Perhubungan kita. Alfred terus melakukan usaha untuk mendapatkannya. Termasuk meningkatkan kemampuan diri agar tidak ada alasan untuk tidak bisa mendapatkan kepercayaan itu.
Alfred masih punya pekerjaan besar lain: membangun pelabuhan khusus minyak sawit (CPO) di Kuala Tanjung, sekitar 200 km dari Medan. Inilah pelabuhan CPO terbesar yang dibangun BUMN. Juga dengan sistem keroyokan bersama sejumlah BUMN. Dengan pelabuhan khusus di Kuala Tanjung ini, CPO dari Sumatera bisa langsung diekspor ke Eropa.
Selama ini CPO Sumatera hanya bisa keluar melalui kapal-kapal kecil di pelabuhan-pelabuhan dangkal untuk di-pool di Singapura atau Malaysia. Dengan Kuala Tanjung, pool CPO dilakukan di dalam negeri. Tahun ini juga pelabuhan khusus ini mulai dibangun. Semua persiapan sudah selesai dilakukan sejak ide ini lahir tahun lalu.
Pelindo I juga bikin babak baru di Aceh: pelabuhan kontainer. Minggu ini untuk pertama kalin-ya Pelindo I mencoba mengirim barang dengan menggunakan kontainer langsung ke pelabuhan dekat Kota Banda Aceh: Pelabuhan Malahayati.
Selama ini orang hanya bisa kirim kontainer dari Jakarta menggunakan truk melalui jalan darat yang melelahkan. Biaya per teus Rp 17 juta. Jalan lain: kontainer itu dikirim dulu ke Belawan, Medan, lalu diangkut dengan truk ke Banda Aceh. Biayanya Rp 13 juta per teus.
Kini dari Jakarta bisa langsung ke Malahayati dengan biaya Rp 11 juta per teus. Kalau percobaan jalur baru kontainer ini lancar dan arus barang meningkat, biaya itu masih bisa turun lagi.
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Zaini Abdullah ngotot benar agar Pelindo I berhasil membuka jalur baru yang akan sangat berarti bagi Aceh itu. Pelabuhannya sendiri memang sudah ada, yakni bantuan Belanda setelah Aceh dilanda tsunami. Tapi, tidak ada peralatan crane-nya. Pelindo I yang kemudian diserahi mengelola Malahayati melengkapinya dengan peralatan bongkar muat kontainer tersebut.
Aceh, Padang, Bengkulu, Belawan, dan Kuala Tanjung sudah bergerak. Demikian juga Lampung. Sumatera sudah dikepung pelabuhan yang akan terus berkembang. Tinggal giliran Jambi dan Palembang yang segera menyusul. Gubernur dua wilayah ini sudah habis-habisan berjuang. BUMN akan cari jalan mewujudkannya.
Bukan baru di Pelindo I Alfred Natsir berprestasi. Sebelumnya, waktu jadi Dirut Pelindo IV, pun dia sangat berprestasi. Karena itu, dia diminta membenahi Pelindo I yang jeblok. Di Pelindo I ternyata juga berprestasi.
Orang berprestasi itu biasanya tetap berprestasi: di mana pun ditempatkan. (*)
========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 83
CUM LAUDE MELALUI CLEARING HOUSE MODEL KETUT
INILAH salah satu BUMN yang membuat saya selalu waswas: PT Pos Indonesia. Sebuah perusahaan yang praktis kehilangan seluruh basis bisnisnya: pengiriman surat dan pengiriman uang.
Surat sudah digantikan e-mail atau handphone. Kartu Lebaran sudah digantikan SMS. Pengiriman uang sudah tidak lagi dengan wesel. Sudah digantikan dengan hanya satu klik di jasa perbankan atau satu sentuhan di handphone.
Bisakah Pos Indonesia mentransformasikan dirinya dari ancaman kematian? Berhasilkah direk-tur utamanya, IKetut Mardjana, mengomandani perubahan arah yang begitu drastis? Bisakah karyawan yang sudah telanjur mencapai 25.000 orang itu memahami kenyataan baru? Ataukah kapal induk Pos Indonesia itu harus kehilangan arah di lautan luas untuk kemudian tenggelam ke dasarnya?
Sungguh misi yang beratnya tak tepermanaikan.
Dan hasilnya adalah: Ketut Mardjana lulus dengan predikat summa cum laude!
Mungkin saya berlebihan, tapi saya memang suka terharu melihat orang yang berhasil keluar dari kesulitan. Apalagi dalam suasana lingkungan birokrasi yang tidak bisa fleksibel seperti BUMN.
Di swasta sering terjadi perusahaan berhasil keluar dari krisis dengan melakukan perubahan yang drastis. Perubahan itu bisa dilakukan dengan lebih mudah karena fleksibilitas swasta yang hampir tak terbatas.
Sedangkan di BUMN kungkungan peraturannya sering menakutkan. Sungguh tidak mudah melakukan transformasi besar di sebuah BUMN.
Kini masa-masa kritis transformasi itu sudah lewat. Badai yang menerpa Pos Indonesia sudah berlalu. Gelombang laut sudah reda. Hujan pun tinggal rintik-rintik. Sesekali saya masih menerima SMS dari lingkungan dalam Pos Indonesia. Tapi, isinya sudah lebih memberikan harapan.
Tentu saya kagum dengan anak buah yang tabah, teguh, dan ngotot seperti Ketut Mardjana itu. Saya melihat kian lama kian banyak Dirut BUMN yang memiliki keteguhan, ketabahan, dan kengototan seperti itu. Praktis kini saya hanya lebih banyak memuji secara terang-terangan daripada memaki di dalam hati.
Kunci utamanya, saat mulai menakhodai kapal bocor Pos Indonesia yang lagi oleng itu, Ketut tidak ikut mabuk. Dia tetap bisa berpikir jernih bagian mana yang harus ditangani dulu. “Mod-ernisasi sistem komunikasi,” ujar Ketut yang aslinya orang dengan darah keuangan tersebut.
“Semua kantor pos serentak saya hubungkan dengan satelit. Yang tidak bisa ditangani sistem telekomunikasi biasa saya pasangi visat,” tambahnya.
Memang “awak kapal” Pos Indonesia sempat “berontak”. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Jakarta yang meraih doktor ekonomi dari Monash University Melbourne ini dianggap melakukan pemborosan besar-besaran. Langkahnya dinilai bisa menguras keuangan perusahaan yang sudah mulai mengering. Tapi, Ketut tidak mundur. Dia sudah telanjur basah.
Ketut sudah telanjur memutuskan pensiun dini dari statusnya sebagai pegawai negeri dengan jabatan yang sudah sempat mencapai setingkat direktur di Kemenkeu. “Saya harus berhasil,” katanya. “Bayangkan,” kisah Ketut kepada saya, “dulunya untuk membayar gaji saja harus jualan aset,” ungkapnya. “Orang mau menguangkan wesel tidak ada uangnya,” tambahnya.
Tentu saya bisa membayangkannya. Untung hal itu tidak terjadi di zaman awal-awal saya menjadi wartawan. Ketika saya masih menggantungkan hidup dari penghasilan saya menulis berita di koran-koran. Waktu itu, setiap minggu, saya menerima wesel dari Jakarta. Kadang dari Tempo, kadang dari Kompas. Atau dari media lain.
Setiap kali menerima wesel pos, saya langsung naik bemo ke kantor pos di Kebon Rojo, Sura-baya, untuk menguangkannya. Kadang berboncengan dengan istri karena uangnya akan lang-sung dipakai membeli beras.
Waktu itu kantor pos masih jaya. Selalu ada uang untuk membayar kiriman wesel untuk saya. Alhamdulillah, Pos Indonesia kembali jaya. Tidak saja sudah menemukan jalan yang benar, tapi juga sudah menemukan jalan tol yang lebar.
Yang membuat Ketut mendapatkan summa cum laude adalah ini: berhasil mengidentifikasi kekuatan Pos Indonesia yang paling kuat. Apakah itu? “Trust!” katanya. Kepercayaan. Saya menyetujuinya 100 persen.
Tidak saja menemukan, Ketut juga akan menggunakan kekuatan utamanya itu untuk landasan bisnisnya di masa depan. Memang Pos Indonesia juga memiliki kekuatan utama lainnya: network yang luas. Tapi, network saja tidak cukup. Gabungan network dan trust itulah yang akan digunakan Ketut untuk masa depan cerah Pos Indonesia.
Bagi saya kombinasi network dan trust tersebut sekaligus merupakan sumbangan besar untuk Indonesia sebagai negara. Itu akan bisa menutupi salah satu kelemahan republik ini di bidang ekonomi: tidak adanya lembaga yang berfungsi sebagai clearing house. Akibatnya, bisnis e-commerce tidak begitu berjalan di Indonesia.
Orang masih takut membeli barang melalui internet. Takut nomor kartu kreditnya disalahgu-nakan orang lain. Takut penjualnya tidak benar-benar mengirim barang yang dibelinya. Takut uangnya hilang begitu saja.
Ketut akan mengatasi tiga ketakutan tersebut sekaligus. Pos Indonesia akan membangun mal secara besar-besaran: Plaza Pos Indonesia. Lokasinya di langit internet.
Orang bisa membeli barang di Plaza Pos Indonesia. Melakukan pembayaran secara online. Uangnya ditahan di Pos Indonesia sampai penjualnya benar-benar kirim barangnya. Kalau barang tidak dikirim, pembeli bisa mengambil kembali uangnya di kantor pos atau via rekening bank.
Sebaliknya, penjual juga merasa aman karena dijamin Pos Indonesia. Inilah bisnis kepercayaan. Pembeli percaya ke kantor pos, penjual percaya ke kantor pos. Ketut tidak akan mengambil jasa di transaksi keuangannya. Pos Indonesia hanya mengharapkan dari jasa pengiriman barangnya.
Kalau program Ketut ini berjalan, inilah momentum besar bagi pengusaha kecil yang serius. Yang mampu membuat produk yang bermutu dengan harga bersaing. Tidak perlu sewa mal dan tidak perlu takut tertipu pembayarannya!
Bangkitlah Plaza Pos Indonesia! Bangkitlah UKM kita! (*)
==============================================================================================
MANUFACTURING HOPE 82
PEKERJAAN BESAR SETELAH KENAIKAN HARGA BBM
SEHARI setelah pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), saya berkunjung ke Universitas Riau (Unri).
Itu untuk memenuhi undangan Ketua BEM Unri Zulfa Henri yang gigihnya luar biasa. Sehari bisa kirim SMS ke saya seperti minum obat saja, tiga kali.
Waktu saya mendarat di Pekanbaru, Zul berteriak histeris. Kekhawatirannya bahwa saya tidak bisa datang sangat beralasan: Pekanbaru lagi dilanda asap tebal akibat pembakaran lahan untuk perkebunan sawit. Pagi itu jarak pandang tinggal kurang dari 2 km.
Tiba di kampus seluas 300 hektare itu, mahasiswa sudah memadati aula. Bahkan, mereka meluber sampai ke halaman. Saat dialog tiba, mahasiswa berebut naik pentas. Lebih dari 30 mahasiswa yang maju. Masih lebih banyak lagi yang mengangkat tangan, minta diberi kesempatan bicara. Moderator sampai kesulitan memilih siapa yang diprioritaskan.
Tentu pertanyaan terbanyak adalah soal BBM yang baru saja dinaikkan. Saya tidak basa-basi dalam hal ini. Tidak ada pemerintah yang senang menaikkan harga BBM. Pemerintahan siapa pun pernah dicaci-maki karena menaikkan harga BBM. Semua presiden sudah merasakan penderitaan karena harus menaikkan harga BBM. Presiden yang lalu maupun presiden yang sekarang. Bahkan, juga presiden yang akan datang.
Tapi, memang ada satu suara yang harus didengarkan baik-baik: kebijakan energi. Meski tidak akan membuat harga BBM tidak naik, kebijakan energi yang baik akan memuaskan banyak orang. Inilah yang sekarang lagi menjadi pusat perhatian pemerintah.
Misalnya, soal perizinan usaha eksplorasi minyak dan gas. Saya mencoba memanggil dua mahasiwa yang berani naik panggung untuk menjawab pertanyaan ini: berapakah izin yang diperlukan untuk usaha eksplorasi minyak? “Sepuluh izin,” jawab seorang mahasiswa fakultas ekonomi. “Perkiraan saya 17 izin,” kata yang satu lagi.
Di mata mahasiswa, 17 atau 10 izin itu ternyata sudah dianggap terlalu banyak. Itulah pandangan generasi masa kini. Yang membayangkan hidup itu tidak boleh ruwet. Itulah gambaran generasi digital yang menganggap semua persoalan harus bisa diselesaikan dengan cepat dan mudah. Seperti mereka menggunakan gadget atau iPad.
Bayangkan, generasi baru itu beranggapan 10 jenis izin pun sudah ruwet. Padahal, untuk bisa memproduksi minyak dan gas, izin yang harus didapat sebanyak ini: 280 izin!
Mengurus izinnya pun tidak hanya di satu atau dua kementerian, tapi di 15 kementerian. Meskipun ini usaha perminyakan, izin terbanyak justru dari Kementerian Perhubungan: 28 buah!
Saya baru tahu semua itu ketika menagih Pertamina: kapan program Brigade 200K yang dibentuk tahun lalu itu mulai membawa hasil. Brigade 200K adalah satu tim khusus di Pertamina yang semua anggotanya generasi muda di perusahaan itu. Umur mereka paling tinggi 29 tahun. Tim khusus ini sengaja harus anak-anak muda agar bisa habis-habisan bekerja meningkatkan produksi minyak Pertamina.
Dalam waktu dua tahun Brigade 200K harus bisa menambah produksi minyak Pertamina 200.000 barel per hari. Satu pekerjaan yang berat, namun harus berhasil. Caranya: mendayagunakan sumur-sumur lama Pertamina yang sudah kurang produktif. Sumur-sumur itu memang sudah tua, tapi bukan tidak bisa ditingkatkan produksinya.
Teknologi yang dipergunakan di situ adalah teknologi lama-lama sekali. Teknologi zaman Belanda. Kini teknologi di bidang itu sudah luar biasa majunya. Modernisasi itulah yang akan dilakukan Brigade 200K.
Ternyata persoalannya tidak hanya di teknologi. Teknologinya sudah siap. Brigade 200K-nya juga sudah bergerak. Namun, ada tembok-tembok tebal yang harus dijebol: peraturan dan perizinan!
Untungnya, Presiden SBY segera mengetahui hal ini. Kepala SKK Migas Prof Dr Rudi Rubiandini memaparkan kepada presiden mengenai ruwetnya perizinan itu. Presiden lantas membeberkannya di sidang kabinet. Lalu, dibentuk tim untuk melakukan, apa yang beliau sebut “revolusi” perizinan migas.
Kini setelah hiruk pikuk kenaikan harga BBM berlalu, agenda yang lebih mendesak adalah revolusi perizinan migas. Tanpa revolusi itu, usaha migas akan seperti siput. Hari ini bergerak, baru dua tahun kemudian bisa mulai action di lapangan.
Prof Rudi dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan juga sudah bertemu untuk menyepakati banyak hal agar Pertamina bisa lebih lincah. Saya menyaksikan jalannya mencapai kesepakatan itu. Dengan harap-harap cemas.
===============================================================================================
MANUFACTURING HOPE 82
BUAH YANG TIDAK HANYA BERPUTAR DI WACANA
MINGGU pagi kemarin seluruh direksi dan komisaris PT Perkebunan Nusantara VIIIber-kumpul di Kebun Jalupang, Subang, Jawa Barat. Bersama mereka saya ingin menyaksikan sendiri bagaimana realisasi program kebun buah tropik yang dicanangkan tahun lalu.
Ternyata saya diminta memanen pisang baranang. “Lho, sudah panen?” tanya saya. Ternyata memang sudah panen. Tahun ini nanti sudah menghasilkan 700 ton. Begitu cepatnya. Saya sungguh senang karena ide bikin kebun buah tropik tidak hanya berhenti di wacana. Benar-benar sudah dilaksanakan. PTPN VIII sudah menanam 1.200 ha. Dan masih terus bertambah luasnya.
Maka, di Subang itu kita melihat pohon pisang berjajar di sela-sela pohon karet yang masih kecil. Jarak antartanaman karet itu enam meter. Sejak dulu tanah sela selebar enam meter itu dibiarkan mubazir ditumbuhi rumput. Tanah kosong itulah yang kini ditanami pisang. Setelah panen lima kali kebun pisangnya berakhir. Pada saat itu pohon karetnya sudah tinggi. Kebetulan, pisang yang sudah panen lima kali sudah tidak baik diteruskan. Kualitas anak pisang yang ke-6 sudah tidak baik.
Tiap tahun PTPN VIII menanam pohon karet ribuan hektare. Berarti selalu ada lahan ribuan hektare yang bisa ditanami pisang setiap tahun. Jenis pisang yang ditanam ini adalah cavendis dan baranang, hasil penemuan Prof Dr Ir Sobir dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Dr Sobir juga bergabung dengan kami di Subang kemarin. Dialah yang memprovokasi saya untuk menanam pisang baranang besar-besaran.
“Kalau Indonesia impor buah apel atau anggur saya masih bisa maklum,” ujar Dr Sobir. “Tapi, kalau sudah impor pisang, benar-benar keterlaluan,” katanya. “Sebentar lagi impor pisang harus diharamkan,” tambah Dr Sobir.
Tidak hanya pisang. PTPN VIII juga menanam pepaya calina besar-besaran. Dan ternyata juga sudah panen. PTPN VIII memang memiliki 114 ribu hektare lahan di seluruh Jabar. Pepaya calina itu juga penemuan Dr Sobir dan tim IPB. Di samping panen pisang, Minggu pagi itu saya diminta menanam pepaya calina di sela-sela tanaman karet yang baru berumur satu bulan.
Pokoknya, tidak ada hari yang tidak menanam pisang, pepaya, manggis, durian, dan alpukat. “Kita juga malu, durian saja impor,” kata Dr Sobir.
Berbeda dengan program sapi-sawit, kebijakan baru BUMN ini sama sekali tidak menjadi beban bagi PTPN VIII. “Ini momentum yang sangat menguntungkan kami,” ujar Ir Dadi Sunardi, di-rektur utama PTPN VIII. “Dulu kebun karet baru menghasilkan setelah enam tahun. Sekarang sudah ada uang masuk pada bulan ke-8,” tambahnya. “Dulu sela-sela pohon karet itu memakan biaya untuk pengaturan rumputnya. Kini sela-sela karet itu menghasilkan,” katanya lagi.
Meski saya hanya mengharuskan menanam buah tropik di Jabar, Dirut PTPN XII Jawa Timur Ir Irwan Basri punya inisiatif sendiri. Irwan ingin menjemput bola. Irwan juga sudah menanam buah tropik di Banyuwangi. Pisangnya yang sudah 700 ha juga sudah panen. Bahkan, PTPN XII juga menanam buah macadamia yang enak itu. Saya memang sempat terkesan dengan macada-mia di Thailand. Kini saya bisa tidak hanya memuji Thailand. Kita juga mulai menghasilkan macadamia sendiri seluas 170 ha.
Tentu saya memuji langkah proaktif PTPN XII di Banyuwangi itu. Sebenarnya PTPN XII hanya diwajibkan mengembangkan dua hal: menanam sorgum besar-besaran dan membangun pabrik gula baru yang serbamodern dan seratus persen made in Indonesia. Ternyata PTPN XII sudah menanam sorgum seluas 1.500 hektare dan siap panen. Info ini sekaligus untuk menjawab pertanyaan penulis artikel di sebuah harian di Jakarta yang mengira soal sorgum baru muter-muter sebagai wacana.
Yang juga siap panen adalah sorgum di Atambua, NTT. Luasnya 200 hektare. Ini merupakan uji coba untuk tanaman sorgum milik rakyat dengan tujuan multiguna. Tepung atau biji sorgumnya untuk makanan pokok rakyat. Batangnya untuk menghasilkan etanol. Ampasnya untuk makanan ternak.
Etanol akan dipakai sebagai pengganti minyak tanah untuk masak. Penduduk di pedalaman NTT selalu kesulitan minyak tanah sehingga pilihan lain adalah sama buruknya: menebang pohon.
PT Batan Teknologi (yang akan berganti nama menjadi PT Industri Nuklir Indonesia) adalah penanggung jawab proyek sorgum di NTT ini. Benih unggulnya memang dilahirkan melalui proses nuklir. Untuk memproses hasil panen sorgum itu Batantekno segera mendidik puluhan anak SMK Atambua untuk membuat mesin sederhana pembuat etanol. Mereka akan dididik di Jakarta mulai akhir bulan ini. Begitu masa pendidikan itu selesai, sorgumnya siap dipanen.
“Anak-anak SMK itu mampu membuat dan mengoperasikan mesin pembuat etanol,” ujar Dr Yudiutomo Imardjoko, Dirut PT Batantekno. “Anak-anak
SMK itu juga akan membuat kompor etanol dan membuat mesin pengolah biji sorgum,” ujar Dr Yudiutomo, ahli nuklir lulusan UGM dan Amerika itu.
Kalau proyek sorgum 200 hektare ini berhasil, segera dimulai proyek-proyek “sorgum 200 ha” lainnya di seluruh Atambua dan kabupaten sekitarnya.
Paket 200 hektaran sudah disesuaikan dengan skala ekonomi yang tepat untuk kepentingan kehidupan satu desa di sana. Pertamina dan Askes sudah siap mengucurkan dana CSR untuk membantu daerah yang sangat miskin itu.
Tentu saya juga ke Wonogiri. Belajar dari Bupati Wonogiri Danar Rahmanto untuk programnya yang unik: singkong. Hampir seluruh penduduk Wonogiri menanam singkong di tegalan atau pekarangan rumah mereka. Tapi, singkongnya ya itu-itu saja. Sejak zaman baheula sampai zaman Jokowi ini. Dua minggu lalu saya ke Wonogiri untuk melihat yang lain: singkong gajah. Inilah singkong yang akan dimasalkan di seluruh Wonogiri.
Saya diizinkan mencabut batang singkong di pekarangan rumah penduduk. Beratnya hanya 1,5 kg. Pohonnya kecil dan tangkai daunnya hanya tujuh buah. Tiap daun juga hanya berjari lima.
Tahun ini bupati akan membagikan lima juta bibit singkong gajah. Kebun percontohan seluas lima hektare sudah membuktikan hasilnya. Saya masuk ke kebun singkong gajah itu: tingginya melebihi tubuh saya. Satu batang singkong memiliki 20 tangkat. Tiap tangkai daunnya berjari sembilan. Mestinya ini juga bisa disebut singkong NU yang berbintang sembilan.
Saya tidak kuat mencabutnya. Beberapa petani membantu menyingkapkan tanah. Setelah di-cabut tiga orang, terlihatlah singkongnya memang besar-besar dan panjang-panjang. Beratnya 12 kg! Kandungan tapiokanya pun mencapai 30 persen. Ini sangat berbeda dengan singkong tradisional Wonogiri yang rendemennya hanya 16 persen.
Pembudidayaan bibit baru ini sama artinya dengan meningkatkan pendapatan warga Wonogiri empat kali lipat. Wonogiri memang akan tetap dikenal sebagai Kabupaten Singkong, namun bukan lagi singkong yang kurus dengan hasil yang hanya 1,5 kg per batang.
Saya mengajak para Dirut pabrik pupuk BUMN, termasuk Dirut Holding Company PT Pupuk Indonesia Arifin Tasrif. Saya minta program itu didukung dengan penyediaan pupuk yang cocok untuk singkong. Tahun lalu saya juga minta pabrik pupuk BUMN membantu kesulitan petani tembakau di Jember. Mereka harus membeli pupuk dari Eropa yang mahal. Kini BUMN sudah memproduksi pupuk untuk tembakau.
Tentu menemukan pupuk untuk singkong lebih mendesak. Setidaknya bisa ikut meringankan program bupati Wonogiri yang kini lagi pusing dengan urusan politik. Bupati lagi diinterpelasi DPRD-nya. Penyebabnya: jumlah penduduk Wonogiri turun 200.000 jiwa, menjadi tinggal kira-kira 800.000 jiwa. Lantaran jumlah penduduknya tidak lagi mencapai satu juta jiwa, harus ada pengurangan jumlah anggota DPRD.
Menurut UU, kabupaten yang penduduknya lebih dari satu juta anggota DPRD-nya 50 orang. Kurang satu juta hanya 45 orang. Nah, bupati Wonogiri dianggap sebagai penyebab berkurangnya jumlah anggota DPRD di sana.
Berkurangnya jumlah anggota DPRD rupanya tidak memuaskan, meski jumlah produksi sing-kongnya akan bertambah. (*)
===========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 81
SANG PILAR YANG TEMAN SEMUA ORANG
“BELIAU itu amalnya banyak,” gumam lirih Menko Perekonomian Hatta Radjasa saat jenazah Dr H Taufik Kiemas, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), diturunkan ke liang lahat di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata kemarin. Suasana hening saat itu membuat suara selirih itu pun bisa terdengar jelas.
TERDENGAR jelas. Apalagi saya memang berada di dekat tokoh yang sekampung dengan almarhum itu.
“Kita pun kelak akan pulang ke rumah masa depan itu,” komentar lirih Ir Abu Rizal Bakrie, ketua umum Golkar, setelah mendengar suara lirih Hatta itu. ARB (d/h Ical) kelihatan paling siap menghadapi cuaca panas kemarin itu. Dia mengenakan baju koko putih tipis dan tangannya selalu memegang benda modern kecil berwarna biru muda. Itulah kipas angin mini. Sebelum jenazah tiba, beberapa menteri terlihat mencoba alat itu dengan komentar yang sama: enak juga ada AC di udara seperti ini.
“Akhirnya, kita memang hanya akan menempati rumah 1 x 2 meter,” sambung Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang juga salah seorang ketua Partai Amanat Nasional.
Begitulah. Tuhan pasti memberikan apa yang tidak pernah diminta manusia: kematian.
“Beliau itu teman semua orang,” ujar tokoh PDI Perjuangan yang juga Wakil Ketua DPR Pramono Anung yang berada di sebelah saya. Mas Pram “begitu panggilannya” masih mengena-kan celana jeans karena memang baru tiba dari Singapura mengawal jenazah almarhum kembali ke Tanah Air.
Tentu, semua orang sepakat dengan kesimpulan Pramono Anung itu: teman semua orang. Ucapan-ucapan beliau selalu menyenangkan. Beberapa kali saya dipanggil menghadap beliau dan beberapa kali ditelepon beliau, tidak sekali pun membuat saya susah. Kata-katanya selalu memberikan semangat, memberikan dukungan, dan membesarkan hati.
Bahkan, kata-kata beliau yang paling pedas pun (“SBY itu kekanak-kanakan”) justru dinilai merupakan kata-kata yang sangat menyenangkan Pak SBY pada akhirnya. Kata-kata itulah, yang membuat Pak SBY mendapat simpati luas saat itu dan akhirnya dinilai menjadi salah satu faktor yang membuat Pak SBY terpilih sebagai presiden pertama hasil pemilihan langsung oleh rakyat.
Pak SBY sangat kelihatan menghormati Pak TK, sapaan akrab almarhum. Dalam setiap acara pemerintah, Pak SBY selalu menghampiri Pak TK sebelum menempati kursi kepresidenan. Selalu pula ada kata-kata yang diucapkan pada saat-saat seperti itu. Maka, tak ayal bila Pak SBY sendiri yang memimpin rapat persiapan negara untuk pemakaman almarhum. Pak SBY sendiri yang menjemput jenazah di Bandara Halim Perdanakusuma. Pak SBY sendiri juga yang menjadi inspektur upacara di TMP.
Hubungan Pak TK dengan Pak SBY seperti itu sebenarnya sudah semestinya. Tapi, hubungan khusus tersebut menjadi menonjol karena dinginnya hubungan antara Pak SBY dan Ibu Mega. Pak TK seperti bisa memerankan diri agar suasana dingin itu tidak sampai menjadi beku.
Tak ayal bila peristiwa pemakaman Pak TK ini penuh dengan harap-harap cemas. Berharap agar tercipta suasana yang lebih cair. Cemas lantaran benarkah semudah itu mencairkannya.
Tentu, semua orang lega ketika Pak SBY menyambut kedatangan jenazah. Ini berarti sudah ada pembicaraan yang mendalam antara negara dan Ibu Mega. Namun, orang tetap penuh perhatian apa yang akan terjadi di taman makam pahlawan. Orang pun menahan napas ketika pihak ke-luarga diagendakan tabur bunga pertama ke liang lahad, bukan Ibu Mega yang melakukannya melainkan putranya, Rizki Pratama. Tahan napas kian dalam ketika wakil keluarga berikutnya yang memasukkan tanah ke liang lahad masih bukan Ibu Mega, melainkan putrinya, Puan Maharani.
Saya sudah sering mendengar nama Rizki Pratama, tapi baru sekali ini melihatnya. Rasanya benar kata orang, inilah keturunan Bung Karno yang paling mirip Bung Karno. Saya mem-perhatikannya dari segala sudut: benar-benar persis Bung Karno. Telinganya sekalipun. Rizki yang kini berumur 42 tahun memang tidak banyak beredar karena hanya menekuni bisnis. Konon, Pak TK keberatan kalau Rizki terjun ke politik.
Tapi, akhirnya semua lega ketika ternyata Ibu Mega tampil di agenda puncak: meletakkan karangan bunga di atas pusara. Apalagi acara itu dilakukan setelah inspektur upacara, Pak SBY, meletakkan karangan bunga untuk yang pertama.
Lebih lega lagi ketika di akhir acara Pak SBY berjalan dari tempatnya menjadi inspektur upacara menuju tenda tempat seluruh keluarga almarhum berada. Terlihat Ibu Mega berdiri menyambut dari tempatnya duduk dan menerima jabat tangan Pak SBY. Memang tidak sempat ada baku-kata, tapi jabat tangan berikutnya antara Ibu Any Yudhoyono dan Ibu Mega juga terjadi dengan tingkat kewajaran yang tanpa pengecualian. Saya yang hanya berjarak dua meter dari baku-jabat ini mengembuskan napas yang sangat panjang.
Di saat hidupnya Pak TK memang bisa menjadi seperti penyejuk suasana setiap kali hubungan pemerintah dengan PDI Perjuangan terasa renggang. “PDI Perjuangan itu bukan partai oposisi,” ujar Pak TK di beberapa kesempatan. “PDI Perjuangan itu partai penyeimbang,” tambahnya.
Bisa saja, ada orang yang menilai ucapan itu sebagai permainan kata-kata. Tapi, tidak bagi Pak TK. Perbedaan antara “oposisi” dan “penyeimbang” itu, bagi beliau, sangat prinsip. “Dalam konstitusi kita tidak mengenal istilah oposisi,” ujarnya. “Jadi, siapa yang menamakan dirinya partai oposisi dia melanggar konstitusi.”
Seringnya kata-kata oposisi dipakai di negeri ini menandakan mulai bengkoknya sistem bernegara kita. Beliau ingin terus meluruskan apa yang beliau anggap mulai bengkok. Karena itu, beliau sangat ngotot menyosialisasikan “Empat Pilar” yang tidak boleh hilang dari negara kita: Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Bahkan, beliau sampai memerintahkan membuka kamus bahasa Indonesia agar tidak ada yang menyalahartikan pengertian “Empat Pilar”. Terutama ketika ada tokoh nasional yang mem-persoalkannya dengan kata-kata “Pancasila mestinya tidak sekadar dijadikan pilar”.
Nah, setelah kamus dibuka, Pak TK lega. Tidak ada yang salah dengan istilah “Empat Pilar”. Menurut kamus itu, “pilar” berarti fondasi. Bukan seperti yang dibayangkan sejumlah orang bahwa pilar itu seperti tiang rumah.
Tentu, ada alasan kuat mengapa Pak TK getol dengan sosialisasi “Empat Pilar” itu. Tidak mung-kin beliau segetol itu kalau tidak melihat gejala yang membahayakan empat fondasi kenegaraan kita itu. Terutama menggejalanya politik aliran yang berkembang ke memudarnya toleransi. Bukan saja antaraliran, bahkan di dalam aliran itu sendiri.
Tentu, banyak pertanyaan ini: mengapa jenazah almarhum tidak disemayamkan dulu di ke-diaman. Mengapa pula tidak disinggahkan di gedung MPR. Mengapa tiba dari Singapura di Halim Perdanakusuma disemayamkan di situ satu jam untuk langsung dimakamkan di TMP Kalibata. Macam-macam spekulasi yang dibicarakan secara bisik-bisik di masyarakat. Tentu, saya sendiri juga penasaran. Karena itu, langsung saja saya tanyakan ke pihak keluarga. Kebetulan, saya memang berada di arah belakang Ibu Mega dan Mbak Puan.
“Ibu Mega menghendaki agar pemakaman ini sudah harus selesai sebelum waktu duhur,” ujar Pramono Anung. Jelaslah bahwa Ibu Mega ternyata sangat mendalam memperhitungkan hukum agama di bidang tata cara pemakaman.
Dan betul. Begitu Menteri Agama Suryadharma Ali membacakan doa, suara azan duhur terdengar bersahut-sahutan dari berbagai masjid di sekitar TMP. (*/c1)
===========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 80
TAHUN POLITIK YANG TIDAK HARUS FRUSTASI
MESKI tahun ini dinyatakan sebagai tahun politik, tampaknya, kita tetap harus bekerja keras. Kehebatan kita dalam mencapai pertumbuhan ekonomi selama delapan tahun terakhir sudah mulai dikejar oleh Filipina.
Dengan sangat mengejutkan pertumbuhan ekonomi negara itu mencapai rekornya pada kuartal pertama tahun ini: 7,8 persen. Tiba-tiba saja jauh di atas pertumbuhan ekonomi kita. Padahal, selama ini kita hanya bersaing dengan Tiongkok. Kita sama sekali tidak memperhitungkan Filipina.
Waktu saya tiba di Manila, Jumat pagi (30/5), semua pemberitaan di sana riuh dengan kejutan itu. Selama ini dengan tumbuh 6,5 persen (2012) kita sudah merasa yang tertinggi kedua setelah Tiongkok. Ternya-ta tanpa diduga Filipina sudah menyalip Indonesia. Bahkan, sebenarnya sejak tahun lalu. Pada 2012 Filipina ternyata tumbuh 6,7 persen, sudah di atas kita yang 6,5 persen.
Maka, ketika pagi itu saya mendampingi Utusan Khusus Presiden SBY, T.B. Silalahi, diterima Presiden Aquino di Istana Malacanang, kami lebih dulu mengucapkan selamat atas capaian tersebut. Apalagi, seperti yang dikemukakan teman lama saya, seorang pemimpin redaksi koran terbesar di Filipina, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa tersebut murni berkat leadership Presiden Aquino.
Begitu terpilih sebagai presiden tiga tahun lalu (2010), pertumbuhan ekonomi tahun berikutnya langsung naik menjadi 4,6 persen. Tahun berikutnya lagi menjadi 6,7 dan Q1 tahun ini 7,8 persen.
“Tapi, kami tumbuh tinggi baru tiga tahun terakhir,” ujar Menteri Keuangan Filipina Cesar V. Purisima yang bersama Menteri Perdagangan Gregory L. Domingo mendampingi Presiden Aqui-no. “Indonesia sudah mencapai pertumbuhan tinggi delapan tahun berturut-turut,” tambahnya sambil merendah.
Memang belum tentu pertumbuhan ekonomi Filipina yang melebihi kita itu akan berkelanjutan seperti di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden SBY. Tapi, sungguh menarik melihat kenyataan bahwa Filipina bisa menyalip Indonesia. Padahal, keruwetan politiknya luar biasa. Hubungan pusat dan daerahnya juga “ampun-ampun”. Keamanannya apalagi. Ekonomi dunia yang lagi lesu juga tidak menjadikannya alasan untuk tidak tumbuh tinggi.
Tentu saya memanfaatkan pertemuan itu untuk menanyakan kunci-kunci utama pertumbuhan tersebut. Presiden Aquino “dengan sosok yang tinggi langsing, dengan dada yang lebar dan gerak-geriknya yang gesit” mengatakan sangat mengutamakan infrastruktur ekonomi. Banyak infrastruktur dibangun untuk mengatasi sumbatan gerak ekonomi.
Memang, saya lihat, tantangan ke depan masih berat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu bisa saja justru memperparah kesenjangan ekonomi di sana yang selama ini sudah parah. Bisa jadi pertumbuhan tinggi itu lebih banyak dibuat oleh penguasa ekonomi di sana yang dimainkan oleh hanya sekitar 30 konglomerat utama.
Itulah juga yang dikhawatirkan pemerintah Filipina sendiri. Untungnya, Presiden Aquino yang sudah kaya raya sejak dari sono-nya dan memang ahli waris salah satu kerajaan bisnis terbesar di sana, dikenal sangat populis. Rakyat kecil menyukainya karena programnya yang justru pror-akyat. Beliau sendiri tidak perlu memikirkan anak-anak karena sampai usianya yang 53 tahun ini tetap membujang.
Presiden Aquino masih akan berkuasa tiga tahun lagi. Masih banyak yang bisa dicapai. Apalagi, dalam pemilu sela bulan lalu calon-calon senator dari partainya menambah mayoritas kubunya di parlemen maupun di senat. Di Filipina masa jabatan presiden adalah enam tahun dan hanya boleh satu periode.
Kegesitan beliau juga terlihat dari keputusannya yang cepat pagi itu. Begitu mendapat penjelasan mengenai kemampuan BUMN Indonesia, Presiden Aquino minta kepada dua menterinya untuk sudah bisa memberikan pilihan yang bisa dikerjasamakan sebelum saya meninggalkan Manila keesokan harinya. “Besok pagi-pagi saja adakan pertemuan yang lebih rinci,” perintah Presiden Aquino kepada kedua menterinya. Akhirnya diputuskan rapat antara kami dan dua menteri itu diadakan pukul 06.30 sebelum saya menuju bandara.
Dalam rapat itulah BUMN Indonesia mendapat kesempatan untuk bekerja sama di bidang perkebunan sawit, energi, infrastruktur, dan perbankan, terutama pengembangan bank syariah di Filipina. Indonesia yang di bidang politik telah lama ikut berperan penting menyelesaikan perdamaian di wilayah muslim Filipina Selatan sebaiknya memang meneruskannya di bidang ekonomi. Apalagi, di saat ekonomi Filipina bangkit seperti sekarang ini.
Filipina memang pernah lebih maju daripada Indonesia. Sampai awal 1980-an, negeri itu masih di atas Indonesia. Banyak orang Indonesia di masa itu menjadikan Filipina sebagai tujuan wisata. Keberhasilan ekonomi Orde Baru dan kemerosotan ekonomi Filipina akibat UU Darurat Presiden Ferdinand Marcos menjadikan Indonesia jauh lebih maju daripada Filipina. Apalagi, setelah sembuh dari krisis moneter pada 1998, ekonomi Indonesia melejit sangat pesat. Lebih-lebih selama delapan tahun terakhir, di bawah Presiden SBY ekonomi Indonesia tumbuh di atas enam persen secara berturut-turut.
Apakah perkembangan terakhir di Filipina itu pertanda kebangkitan kembali Filipina? Ataukah hanya akan seperti Vietnam yang pernah tiba-tiba melejit, tapi kemudian menurun kembali?
Sebaliknya, apakah Indonesia tetap bisa tumbuh di atas enam persen atau lebih tinggi lagi?
Ternyata, ada baiknya apa yang terjadi di Filipina kita perhatikan. Negara itu juga negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 8.000. Juga sering kena bencana: mulai gempa bumi sampai taifun. Hubungan pusat-daerahnya juga ruwet. Bahkan, politiknya lebih rumit. Maka, pejabat yang sering mengeluhkan politik sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi sebaiknya menengok ke Filipina agar tidak mudah frustrasi.
Politik dinasti, misalnya, luar biasa dominannya. Di sana banyak sekali wali kota yang wakil wali kotanya anaknya sendiri atau adik kandungnya. Atau wali kota yang habis masa jabatan-nya (sudah tiga periode dengan setiap periode tiga tahun) digantikan oleh istri atau adik atau anak. Demikian juga gubernur. Sama seperti itu. Filipina dengan penduduk 90 juta memiliki 80 provinsi dan 1.400 kota.
Mungkin juga hanya di Filipina ada seorang presiden yang masuk penjara karena korupsi, dan setelah keluar dari penjara menjadi capres lagi. Bahkan, setelah gagal jadi presiden lagi dia langsung ikut pemilihan wali kota dan berhasil menang tipis. Itulah bintang film Joseph Estrada yang bulan lalu terpilih sebagai wali kota Manila.
Maka, sungguh menarik negara dengan politik yang seperti itu bisa tumbuh 7,8 persen. Kita bisa lebih optimistis bahwa pada tahun politik pun asal tetap kerja, kerja, kerja, bisa tetap memper-tahankan pertumbuhan kita. (*)
================================================================================
MANUFACTURING HOPE 79
AGAR OS TIDAK IKUT PT KURANG SUKSES BERSAMA
Seluruh direksi BUMN dapat tambahan tugas baru yang sangat rumit: memperbaiki sistem alih daya atau outsourcing (OS). Langkah ini dilakukan sambil menunggu apa yang akan dibahas dan diputuskan panitia kerja (panja) Komisi IX DPR.
Sesuai dengan hasil rapat kerja Komisi IX DPR dengan menteri tenaga kerja dan transmigrasi serta menteri BUMN dua bulan lalu, komisi IX memutuskan untuk membentuk panja guna membahas seluruh sistem ketenagakerjaan di BUMN.
Saya merasa beruntung pernah “disekolahkan” menteri BUMN sebelum saya, Pak Mustafa Abubakar, untuk menjadi Dirut PLN, sebuah BUMN yang juga banyak menggunakan OS. Dengan demikian, saya tidak perlu lagi mempelajari apa yang sebenarnya terjadi.
Bahkan, waktu itu saya merencanakan untuk mengurus OS pada tahun ketiga masa jabatan saya di PLN. Sayangnya, belum lagi genap dua tahun, saya sudah harus meninggalkan PLN.
Saya tidak sekadar merencanakan, tapi juga sudah memikirkan detailnya: problem apa saja yang terjadi, bagaimana memperbaikinya, dan bagaimana caranya praktis sudah matang di otak saya. Waktu itu benar-benar tinggal melaksanakan.
Mengapa tidak dilaksanakan di tahun pertama? Ada dua alasan.
Pertama, problem utama PLN waktu itu (krisis listrik dan antre listrik) harus diselesaikan dulu. Kedua, saya belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Justru ketika seluruh karyawan dan OS all-out membenahi PLN itulah saya tahu: oh… ini persoalannya!
Persoalan utama OS, sepanjang yang saya rasakan, adalah perasaan gelisah akan ketidakpastian apakah tahun depan masih dipakai lagi atau tidak. Tentu soal besar-kecilnya gaji juga masalah, namun yang utama adalah ketidakpastian itu.
Persoalan lainnya adalah status. Mereka menginginkan status kekaryawanan yang jelas. Tidak sekadar menjadi tenaga cabutan. Tentu OS juga menginginkan jadi karyawan perusahaan induk, tapi yang lebih utama adalah status kekaryawanan itu, di mana pun tempatnya.
Perusahaan OS juga tidak bisa disalahkan begitu saja. Mereka tidak mau mengangkat OS sebagai karyawan tetap perusahaan lantaran ini: kontrak kerja perusahaan itu dengan BUMN hanya berlaku satu tahun. Kalau OS diangkat sebagai karyawan tetap, padahal tahun depan kontrak kerja outsourcing di sebuah perusahaan tidak diperpanjang, perusahaan OS tersebut mengalami kesulitan.
Maka, BUMN akan melakukan perbaikan sistem yang mendasar seperti ini. Pertama, tender untuk perusahaan OS akan diubah. Syarat-syarat tender pun akan diperketat. Misalnya, perusahaan OS baru boleh ikut tender kalau memiliki sistem penggajian yang baik, memiliki sistem kekaryawanan yang menjamin status karyawan, memiliki sistem jaminan kesehatan dan sosial, serta memiliki sistem jenjang karir.
Kedua, masa kontrak kerja akan diperpanjang. Tidak hanya setahun-setahun, tapi langsung lima tahun dan bisa diperpanjang lagi lima tahun dan lima tahun lagi. Selama ini ada ketidaklogisan yang mendasar. Tiap tahun ikut tender itu menimbulkan biaya yang mestinya bisa untuk memperbaiki gaji karyawan. Tender tiap tahun juga menimbulkan suasana banting-bantingan di antara peserta tender yang pada akhirnya menekan gaji karyawan.
Tiap tahun tender itu juga menimbulkan kelucuan yang mengharukan: mereka, yang tahun ini bekerja untuk PT Sukses Sendiri, tahun depan ditransfer ramai-ramai ke PT Kurang Sukses Bersama. Ini karena pemenang tendernya belum menyiapkan tenaga kerja yang harus langsung terampil di suatu pekerjaan hari itu juga.
Pedoman-pedoman pokok seperti itulah yang kini lagi dibahas detailnya di masing-masing BUMN. Tentu ada direksi yang beranggapan bahwa biaya yang dikeluarkan BUMN akan bertambah besar. Ini bisa benar, bisa juga tidak.
Semua berpulang pada kecanggihan manajemen masing-masing. Bisa saja dengan sistem baru itu beban kerja terbagi lebih produktif sehingga tenaga yang diperlukan ternyata tidak sebanyak yang lama, tapi dengan kualitas yang lebih baik. Tingkat kecanggihan manajemenlah yang menentukan.
Tentu saya juga tahu banyak BUMN yang karena mewarisi masa lalu yang berat mengakibatkan pemikiran ketenagakerjaannya tersedot ke sana. Misalnya, ada BUMN yang terancam harus membayar gaji pensiunannya lebih besar daripada membayar gaji karyawan yang sedang bekerja.
Direksi sebuah BUMN juga harus memikirkan pensiunannya meski itu tidak ada dalam deskripsi job-nya. Ini yang tidak terjadi di swasta. Sistem kekaryawanan yang khusus di masa lalu menjadi bom waktu yang dahsyat sekarang ini.
Dengan sistem OS yang baru itu, direksi BUMN juga terpaksa akan mengevaluasi cara kerja karyawan tetap. Selama ini tenaga OS sering merasa diperlakukan tidak adil: mereka melihat sendiri betapa banyak karyawan tetap yang kerjanya malas-malasan dengan gaji yang jauh lebih besar. Mereka merasa ditekan untuk bekerja lebih keras guna meringankan pekerjaan pegawai tetap itu dengan gaji yang jauh lebih kecil.
Banyak karyawan BUMN yang tidak mengira bahwa mereka diamati OS. Padahal, di pojok-pojok halaman mereka sering membicarakan kinerja karyawan tetap yang mereka lihat setiap saat.
Lebih dari itu, semangat membicarakan UMR/UMP dan OS ini semoga tidak menimbulkan anggapan bahwa kita sudah menyelesaikan persoalan.Jumlah guru madrasah yang gajinya lillahi taala juga luar biasa banyaknya. Apalagi jumlah mereka yang belum bekerja.(*)
==========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 78
BANTAL EMAS DARI NEGARA TROPIS
DURIAN montong lagi ditanam secara massal di PTPN VIIIJawa Barat. Saat ini sudah tertanam 250 hektare (ha) dan akhir tahun nanti sudah menjadi 1.500 ha. Tiap tahun jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 3.000 ha. Maka, tiga tahun lagi tidak perlu impor bantal emas itu (montong dalam bahasa Thailand berarti bantal emas).
Manggis jenis wanayasa saat ini juga sudah tertanam sebanyak 250 ha. Seperti juga si bantal emas, akhir tahun ini sudah akan mencapai 1.500 hektare. Dadi Sunardi, Dirut PTPN VIII, memilih jenis wanayasa karena buahnya yang tidak terlalu besar. Pasar internasional tidak menyukai manggis yang terlalu besar. Dengan ukuran yang kecil-kecil, begitu manggis dibuka, isinya bisa dikorek dengan sendok teh.
Sambil menunggu pohon-pohon buah tropis tersebut tinggi, Dadi menanam pisang dan pepaya di sela-selanya. Tidak ayal, PTPN VIIIkini sudah menghasilkan berkontainer-kontainer pepaya dan pisang.
Itu menggambarkan bahwa apa yang dicetuskan tahun lalu di Kementerian BUMN kini sudah mulai menjadi kenyataan. Selama ini kawasan tersebut dipaksa ditanami teh. Padahal, ketinggiannya tidak sampai 400 meter di atas permukaan laut. Dulu Belanda hanya mau menanam teh di lahan yang ketinggiannya di atas 600 meter. Tapi, entah bagaimana di zaman Orde Baru lalu, lahan-lahan PTPN VIII yang di bawah 400 meter pun ditanami teh. Akibatnya, PTPN VIII selalu mengalami kerugian ratusan miliar rupiah dari lahan yang ditanami teh secara paksa ini.
Hampir saja saya memutuskan untuk menanam sorgum di lahan-lahan tersebut. Agar PTPN VIII terhindar dari kerugian. Bahkan, keputusan sudah dibuat. Untungnya, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Herry Suhardiyanto segera datang ke Kementerian BUMN bersama para ahli IPB. Rombongan ini membawa ide perlunya penanaman buah tropis secara besar-besaran dengan sistem korporasi.
Saya langsung menerima ide tersebut. Saking senangnya, saya sampai memukul meja keras-keras hari itu. Sampai-sampai Pak Rektor dan para ahli itu kaget. “Ini baru IPB!” teriak saya sambil memukul meja saat itu.
Saya baru sadar bahwa Indonesia sebagai negara tropis ternyata kurang memperhatikan kemampuannya menghasilkan buah tropis. Buah tropis lebih banyak dihasilkan pekarangan-pekarangan rumah. Saking kecilnya produksi buah tropis, sampai-sampai kita menyebutnya sebagai barang yang eksotis. Dan kita bangga dengan sebutan itu. Padahal, dengan gelar eksotis, berarti jumlahnya sangat sedikit.
Itulah sebabnya mengapa kita diserbu buah impor besar-besaran. Ketua Ikatan Alumni IPB Dr Said Didu menyebutkan, impor buah kita mencapai Rp 17 triliun setahun. Belum lagi bicara potensi yang bisa kita ekspor mengingat negara seperti Tiongkok, yang berpenduduk 1,3 miliar orang, tidak bisa memproduksi buah tropis.
Sebagai negara empat musim, Tiongkok hanya bisa memproduksi jenis buah-buah tertentu. Akan sangat lebar peluang kita untuk mengekspor buah tropis ke Tiongkok. Dengan demikian, banjirnya buah dari Tiongkok akan kita imbangi dengan banjirnya buah tropis di Tiongkok.
PTPN XII di Jatim juga sudah memulai. Pisang, pepaya, melon emas, dan makadamianya sudah mulai menghasilkan. Singgih Irwan Basri, Dirut PTPN XII, mengatakan akan terus menanam buah tropis di lahannya yang mencapai 60.000 ha. Di samping menanam sorgum di tanah-tanah marginalnya. Tahun ini tanaman sorgumnya sudah bisa mencapai 3.000 ha. Irwan juga bergerak cepat sehingga soal sorgum dan tanaman buah tropis yang baru digagas tahun lalu sudah mulai terlaksana di lapangan.
Pengalaman seorang praktisi di Jateng, Pratomo, tanaman buah tropis benar-benar harus digalakkan di Indonesia. Setelah terjun ke buah tropis sejak lima tahun lalu, Pratomo menyimpulkan, tiap ha tanahnya menghasilkan di atas Rp 100 juta per tahun. Tidak ada yang di bawah Rp 100 juta. Bandingkan dengan hasil tanaman tebu, padi, dan palawija.
Di antara tanaman-tanaman buah tropis itu, menurut Pratomo, buah naga yang hasilnya paling besar. Bisa mencapai Rp 150 juta per ha per tahun. Durian menduduki ranking kedua dengan Rp 130 juta per ha per tahun. Kelengkeng, seperti jenis itoh, bisa menghasilkan Rp 120 juta per ha per tahun. Bandingkan dengan karet yang hanya sekitar Rp 20 juta per ha per tahun.
Syaratnya, tanaman buah tropis tersebut ditanam dengan sistem yang benar, dipupuk dengan benar, dan dirawat dengan benar. Bukan dibiarkan tumbuh apa adanya seperti pohon buah milik perorangan yang ada di pekarangan-pekarangan. Kelengkeng itoh, misalnya, satu pohon bisa menghasilkan 150 kg. Buahnya kesat, kadar manisnya mencapai 22, dan tidak mudah berubah cokelat.
Salah satu bentuk perawatan yang diperlukan adalah memperbaiki sistem pengairannya. Terutama untuk musim kemarau. Pratomo selalu membuat kolam di puncak bukit. Kolam itu dilapisi membran. Di musim hujan, kolam seluas 40 x 60 meter tersebut menampung air hujan. Air itulah yang dialirkan melalui pipa-pipa kecil ke pohon-pohon di sekitarnya tanpa biaya pompa. Karena kolamnya berada di lokasi paling tinggi. Setiap kolam bisa mengairi 20 ha tanaman buah tropis selama musim kemarau.
Pekan lalu IPB mengadakan acara besar untuk menandai dimulainya gerakan menanam buah tropis dengan sistem korporasi ini. Di situ diadakan pameran buah tropis yang menyajikan penemuan-penemuan varietas baru. BUMN akan menangkap semua pemikiran dan penemuan yang ditelurkan IPB itu. Revolusi oranye bisa dimulai IPB. Setelah PTPN VIII dan PTPN XII, yang lain pun, termasuk yang di Sumut dan Jateng, segera mengikutinya.
Indonesia adalah negara tropis yang sangat besar. Harus menjadi penghasil buah tropis yang terbesar pula. Dalam waktu yang tidak terlalu lama. (*)
=========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 77
MENGHIDUPKAN KEMBALI EKONOMI PANTAI BARAT
ERNIE Djohan angkat telepon. “Saya harus hadir,” ujarnya kepada General Manager Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Dalsaf Usman begitu mendengar pelabuhan itu akan mengadakan perhelatan besar: peresmian pelabuhan peti kemas, pekan lalu.
“Saya itu “pemilik” Teluk Bayur. Masak gak diundang?” gurau penyanyi yang lahir pada 1951 tersebut.
Dalsaf tidak hanya mengundang penyanyi Teluk Bayur itu, bahkan juga memintanya untuk menandai peresmian tersebut dengan cara mencelupkan dua telapak tangannya ke adonan semen sebagai prasasti.
“Waktu Teluk Bayur saya nyanyikan, sama sekali tidak disangka kalau lagu itu akan top. Apalagi bisa membuat saya menjadi penyanyi Indonesia pertama yang memperoleh piringan emas,” kata Ernie di atas panggung.
Saya juga tidak menyangka bahwa Pelabuhan Teluk Bayur bisa dimodernisasikan seperti sekarang ini. Di masa lalu pelabuhan ini terkenal dengan pelayanannya yang buruk. Kapal harus antre dua minggu. Apalagi waktu kawasan itu terkena gempa. Kapal-kapal barang kalah total dengan kapal yang membawa bantuan darurat. Padahal, gempanya beberapa kali. Peralatan PLTU baru yang sangat besar (2 x 100 mW) di Teluk Sirih, sekitar satu jam dari Teluk Bayur, misalnya, pernah tertahan berbulan-bulan karena kapalnya tidak bisa merapat di Teluk Bayur.
Banyak yang berpendapat bahwa Teluk Bayur baru bisa baik kalau dilakukan investasi triliunan rupiah. Tidak bisa kalau tidak dibangun dermaga yang baru. Tapi R.J. Lino, Dirut Indonesia Port Corporation (IPC) “nama baru PT Pelindo II (Persero)” yang membawahkan Teluk Bayur, berpendapat lain.
Dia yakin Teluk Bayur bisa teratasi secara total kalau modernisasi peralatan dan manajemen dilakukan. Waktunya juga bisa lebih cepat karena dua hal: tidak perlu membangun dermaga baru dan tidak perlu antre anggaran APBN. IPC bisa mengusahakan dana sendiri sekitar Rp 800 miliar. Tahun ini semuanya selesai.
Gubernur Sumbar Prof Dr Irwan Prayitno, yang sejak awal mendesak BUMN untuk mengatasi Teluk Bayur, meresmikan modernisasi itu. Saya bersama Ernie Djohan, tokoh Sumbar Azwar Anas, R.J. Lino, dan empat operator crane pelabuhan mendampinginya.
Perubahannya memang drastis. Kini kapal sama sekali tidak perlu antre untuk masuk Teluk Bayur. “Zero waiting time,” ujar Lino. Kapan saja kapal datang langsung bisa merapat. Inilah contoh penyelesaian masalah besar dengan biaya yang tidak terlalu besar: modernisasi manajemen dan peralatan. Semula banyak pengusaha yang meragukan.
Hari itu saya ajak tiga pengusaha dari Jakarta untuk membuktikannya. Begitu melihat peresmian tersebut, mereka langsung memutuskan: ekspor cangkang sawit ke Eropa langsung dari Teluk Bayur.
Begitulah. Kalau berita gembira ini diketahui para pengusaha, mereka akan mengirim kapal ke Teluk Bayur tanpa ketakutan kapalnya didenda karena terlalu lama menunggu. Arus barang dari dan ke Sumbar akan meningkat drastis. Ekonomi akan tumbuh lebih cepat.
Selama ini peran pantai barat Sumatera memang meredup. Kian digeser oleh pantai timur seperti Riau. Ekonomi pantai barat Sumatera terus digeser pantai timur. Kini pantai barat bisa kembali bergairah.
Apalagi, Pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu, juga sedang dibenahi habis-habisan. Sudah bertahun-tahun pelabuhan itu praktis mati. Hanya tongkang dan kapal kecil yang bisa masuk. “Pintu masuk” ke pelabuhan itu tertutup pasir. Perdebatan terlalu lama untuk mengatasinya: dikeruk atau dibuatkan breakwater. Tepatnya breaksand. Pola ombak di situ memang mengakibatkan pasir akan selalu datang ke “pintu masuk” Pelabuhan Pulau Baai.
Lino, yang juga membawahkan Pulau Baai, bukan tipe orang yang banyak omong dan banyak mikir. Dia tipe orang yang langsung berbuat. Dia keruk “pintu masuk” itu. Toh, hanya selebar 300 meter dengan panjang sekitar 2 km. Pasir hasil kerukannya pun bisa dia manfaatkan untuk urukan bagian-bagian rawa di kawasan pelabuhan. Sekaligus menyiapkan lahan yang luas untuk penataan kawasan pelabuhan itu.
Lino juga membangun pelabuhan curah yang baru yang bisa mencapai kedalaman 14 meter. Berarti awal tahun depan kapal-kapal besar sudah bisa masuk Bengkulu. Kalau pelabuhan baru itu selesai akhir tahun ini, giliran pelabuhan lamanya diperbarui sistem dan peralatannya. Kini pun dengan pengerukan “pintu masuknya” yang sudah selesai, perusahaan pelayaran seperti Meratus sudah berani membawa kontainer ke Bengkulu.
Saya langsung menelepon pemilik Meratus untuk mengucapkan terima kasih atas kepeloporannya menghidupkan Pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu.
Pulau Baai sangat potensial dikembangkan. Pelabuhan ini seperti dikelilingi “cincin” daratan yang berfungsi sebagai penahan ombak dari segala sisi. Kalau salah satu bagian dari “cincin” itu tidak dikeruk, rasanya cincin tersebut akan terbentuk dengan sempurna sehingga pelabuhan itu hanya akan jadi sebuah danau besar yang terkurung.
Dengan posisi pelabuhan seperti itu, Pulau Baai menjadi pelabuhan yang amat tenang. Kapal bisa bongkar muat kapan saja, di musim apa saja. Ini yang akan membuat pelabuhan tersebut memiliki keunggulan. Kelemahannya itu tadi, “pintu masuk”-nya harus selalu dikeruk. Sampai kelak ditemukan cara lain yang lebih permanen.
Maka, di samping Teluk Bayur, Pelabuhan Pulau Baai ikut memperkuat ekonomi pantai barat Sumatera. Mobil-mobil untuk Bengkulu yang selama ini dikirim melalui darat dan ikut memadati penyeberangan Merak-Bakauheni kini sudah bisa dikirim langsung melalui Pulau Baai. Batu bara dan minyak sawit dari sekitar Bengkulu juga sudah bisa keluar dari Pulau Baai. Tahun depan, dengan selesainya pelabuhan besar, Pulau Baai akan sangat ramai.
“Sekarang saja sudah kelihatan hidup. Sudah banyak kapal yang bersandar di sini,” ujar Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah yang mendampingi saya naik kapal melihat wilayah “pintu masuk” yang baru selesai dikeruk itu.
Akankah pantai barat Sumatera akan memasuki era baru lagi setelah lama ditinggalkan pantai timur? Insya Allah begitu. Di sisi bawah ada Pulau Baai. Di tengah ada Teluk Bayur. Tinggal sisi atas yang masih harus menunggu pembenahan di Sibolga dan Meulaboh.
Zaman dulu, pantai barat Sumatera adalah urat nadi utama. Lalu digeser pantai timur seiring den-gan kian terbukanya Selat Malaka. Juga kian majunya ekonomi pantai timur setelah ekonomi kelapa sawit mendominasi. Ke depan, ketika ukuran kapal kian besar dan Selat Malaka kian rawan, bisa jadi pantai barat Sumatera kembali memegang peran utamanya. (*)
==========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 76
DUA CALON DIRUT YANG SERBA MIRIPNYA
BARU kali ini saya mengalami kesulitan untuk memilih orang: siapa yang akan menjadi direktur utama (Dirut) PT Aneka Tambang (Persero) Tbk menggantikan Alwinsyah Lubis, yang karena sudah dua periode tidak bisa diangkat lagi. Itulah ketentuan yang berlaku di UU BUMN.
Biasanya dua minggu sebelum RUPS sudah bisa tergambar siapa yang akan jadi Dirut sebuah perusahaan BUMN. Tapi, dalam kasus PT Antam (Aneka Tambang), sampai malam menjelang RUPS belum bisa saya putuskan. Bahkan sampai pagi harinya, ketika RUPS tinggal empat jam lagi, saya belum juga bisa memutuskan.
Penyebabnya sederhana: ada dua orang calon yang benar-benar sama hebatnya: Tato Miraza dan Winardi. Keduanya sama-sama orang dalam. Sama-sama sudah duduk sebagai direktur di Antam. Prestasinya juga sama-sama menonjol. Integritasnya juga sama baiknya. Keduanya juga belum berumur 50 tahun. Dan keduanya juga sama-sama lulusan ITB dari fakultas yang sama: teknik metalurgi.
Akhirnya saya menyerahkan kepada Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Industri Primer Muhammad Zamkhani untuk memilih salah satu. Saya akan menyetujui siapa pun di antara keduanya yang dipilih Zamkhani. Tapi, Zamkhani juga “menyerah”.
Saat saya harus mulai senam pagi di Monas Senin lalu, pikiran saya terbelah ke persoalan itu. Akhirnya, di tengah-tengah senam, pukul 05.45 saya telepon Pak Zamkhani. Saya minta kedua kandidat menemui saya pukul 07.00, atau hanya dua jam sebelum RUPS.
”Anda berdua ini kok begitu hebat-hebat, sampai saya bingung memilih siapa di antara Anda,” kata saya kepada mereka. “Kalian berdua ini benar-benar seimbang. Bagaimana kalau diundi saja?” tanya saya. Keduanya tertawa. “Ini ada koin di kantong saya,” tambah saya.
Lantas saya kemukakan misi Antam ke depan. Juga apa yang sudah mereka lakukan selama ini dan harus dilakukan nanti. “Atau kalian suit saja,” tambah saya.
“Bapak saja yang pilih,” ujar Tato. “Betul. Kami ikut saja,” sahut Winardi.
Lalu saya jawab, “Saya khawatir, kalau saya yang memilih, salah satu dari kalian akan kecewa,” kata saya.
“Tidak, Pak. Semua ini demi perusahaan,” ujar Tato. “Kami sudah sepakat saling mendukung,” ucap Winardi.
Saya pun lega. Saya sempat khawatir, kalau Tato yang terpilih, Winardi akan keluar dari Antam. Begitu juga sebaliknya. Dua orang yang sama hebat memang tidak baik berada dalam satu tim. Tapi, kalau salah satunya harus meninggalkan Antam, BUMN akan sangat kehilangan. Padahal, Antam baru kehilangan satu kader terbaiknya: seorang manajer keuangan yang rencananya dijadikan direktur keuangan, baik oleh Winardi maupun oleh Tato. Manajer itu keburu diambil Pak Jokowi untuk menjadi direktur di perusahaan MRT milik Pemprov DKI.
Dua orang calon Dirut Antam tersebut akhirnya sepakat, siapa pun yang akan terpilih sebagai Dirut, yang tidak terpilih bakal jadi Dirut salah satu anak perusahaan. Biarpun anak, anak pe-rusahaan Antam itu ukurannya segajah bengkak: puluhan triliun bisnisnya. Maklum, usaha tambang itu sangat padat modal.
Apalagi, PT Antam lagi mengembangkan usaha melalui anak perusahaannya yang gajah-gajah: nikel di Buli (Halmahera) yang nilai investasinya sekitar Rp 15 triliun dan aluminium di Kalbar dengan investasi sekitar Rp 5 triliun. Yang di Kalbar, yang akan menghasilkan chemical grade alumina, sudah akan uji produksi akhir tahun ini. Ke depan masih satu lagi yang harus dibangun di Kalbar, yakni pabrik smelter grade alumina yang dikhususkan untuk menyediakan bahan baku bagi PT Inalum di Asahan, Sumatera Utara. Akhir tahun ini PT Inalum sudah akan jadi BUMN.
Dengan gambaran seperti itu, siapa pun yang akan jadi Dirut Antam menjadi lebih plong. Maka, saat keduanya pamit meninggalkan ruangan saya untuk menuju tempat RUPS, saya pun merenung sejenak: siapa yang akan ditetapkan sebagai Dirut Antam dalam RUPS satu jam lagi? Pak Zamkhani sudah menyiapkan dokumen untuk keduanya. Siapa pun yang dipilih, dokumennya tinggal ditandatangani. Jadilah Tato Miraza terpilih sebagai Dirut. Dia tiga tahun lebih muda daripada Winardi.
Ke depan perjuangan Antam memang tidak ringan. Harga komoditas tambang yang fluktuatif sangat mendebarkan. Terutama nikel. Untung tiga tambang emasnya sangat baik.
Direksi baru Antam juga punya pekerjaan yang berat menyangkut pengamanan lahan-lahan tambang yang diserobot berbagai pihak. Termasuk oleh elite politik lokal untuk diberikan izinnya ke perusahaan-perusahaan antah-berantah. Ini memerlukan kerja lapangan yang gigih.
Bukan hanya Antam yang mengidap persoalan penjarahan lahan tambang seperti itu. PT Timah (Persero) Tbk, BUMN yang beroperasi di Bangka Belitung itu, lebih “meminjam lagu capres Rhoma Irama” TER LA LU. PT Timah yang secara resmi memiliki lahan tambang 520.000 ha (darat dan laut) hanya bisa mengekspor sebanyak 28.000 ton tahun lalu. Sedangkan perusa-haan-perusahaan lain yang sama sekali tidak punya lahan tambang bisa mengekspor 70.000 ton.
Begitu gemasnya direksi baru PT Timah itu, sampai-sampai Dirutnya, Sukrisno, memelihara kumis lebih tebal saat ini dengan jenggot yang tidak serapi waktu masih jadi Dirut PT Bukit Asam dulu. Tato Miraza, Dirut PT Antam (Persero) Tbk yang baru, saya lihat tidak berkumis. Entah tahun depan! (*)
======================================================================================
MANUFACTURING HOPE 75
FOKUS BARU UNTUK SELA-SELA HUTAN JATI
Sudah dimulai: penanaman porang secara masal untuk meningkatkan penghasilan petani di sekitar hutan jati. Lokasinya di Mrico Kecut, kawasan hutan yang terletak antara Kota Blora dan Cepu.
Sabtu pagi lalu, lebih 1.000 orang berkumpul di tengah hutan jati tersebut. Mereka terdiri dari 120 kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan 10 orang. Ketua kelompoknya adalah karyawan Perhutani yang sudah dididik bagaimana menanam porang yang benar.
Perum Perhutani, BUMN yang mengelola hutan jati di seluruh Jawa dan Madura, memang memiliki program untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di sekitar hutan. Terutama untuk memanfaatkan tanah di sela-sela pohon jati.
Berbagai tanaman sudah dicoba: jagung, empon-empon, ketela, jarak, dan banyak lagi. Tapi hasilnya sangat minim. Para petani tetap melakukan itu mengingat sesedikit apa pun hasilnya tetap lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Mengingat luasnya hutan jati milik Perhutani, tetap saja harus ditemukan cara terbaik untuk memanfaatkannya. Daripada di sela-sela pohon jati itu hanya ditumbuhi rumput liar. Di Kabupaten Blora sendiri, seperti dikemukakan Bupati Blora saat itu, hampir separo (49%) wilayah kabupaten itu adalah hutan jati Perhutani.
Setelah setahun diskusi dan evaluasi dilakukan, jatuhlah kesimpulan: tanaman porang adalah tanaman yang paling tinggi nilai ekonominya. Satu hektar bisa menghasilkan Rp 30 juta per tahun. Ini berdasarkan pengalaman para petani porang di hutan jati Nganjuk, Jatim. Padahal satu petani bisa saja menanam porang sampai tiga hektar.
Bahkan di Nganjuk itu, petani porangnya sudah menjadi juragan kecil-kecilan: mempekerjakan buruh panen dari wilayah lain. Ini karena kian lama hasil porangnya kian banyak dan petani tidak sanggup lagi memanennya sendiri.
Masalahnya: untuk penanaman pertama, hasilnya baru bisa dipanen dua tahun kemudian. Selama menunggu dua tahun itulah yang perlu dipikirkan petani dapat hasil dari mana. Sedang tanaman jagung bisa panen dalam waktu empat bulan.
Tim Perhutani, seperti dikemukakan Dirutnya, Bambang Sukmananto, akhirnya menemukan cara ini: bagi hasil. Petani, seperti di hutan Mrico Kecut tadi, melakukan penanam terus-menerus setiap hari. Mereka akan dibayar sesuai dengan luasan tanaman yang mereka kerjakan. Kian rajin mereka menanam kian besar bayarannya.
Tiap bulan, petani akan mendapat bayaran sekitar Rp 700.000. Bisa lebih besar kalau rajin dan bisa turun kalau malas. Selama dua tahun menunggu, mereka hidup dari bayaran tersebut. Saat panen tiba, mereka mendapat bagian separo dari hasil porangnya.
Porang (sejenis umbi-umbian suweg) relatif mudah penanganannya. Tidak banyak hama dan tidak perlu perawatan yang berat. Cukup hanya membersihkan rumputnya. Bayaran Rp 700.000 per bulan itu memang kecil, tapi jam kerja mereka juga tidak panjang. Mereka bekerja hanya empat jam sehari. Sisa jam kerjanya bisa tetap untuk mencari penghasilan lainnya.
Perhutani juga akan mendirikan pabrik porang di Blora. Tahun depan pabrik itu mulai dikerjakan, sehingga di tahun 2015, saat panen porang pertama dilakukan pabriknya sudah berdiri. Bupati Blora sangat bersuka cita. Inilah industri pertama yang akan berdiri sepanjang sejarah Kabupaten Blora modern.
Bagi Perhutani mendirikan pabrik porang tidak lagi sulit. Perhutani sudah mulai berpengalaman. Sudah setahun ini memiliki pabrik tepung porang kecil-kecilan di Pare, Kediri. Kapasitasnya memang baru 500 ton per hari tapi hasil usahanya sangat baik.
Tepung porangnya memenuhi standar internasional. Pembelinya sampai antre. Terutama dari Tiongkok dan Jepang. Tepung porang memang menjadi bahan baku kue, kosmetik, dan obat-obatan. Praktis, pasar tepung porang tidak terbatas.
Karena baru ada satu pabrik tepung porang, maka pasar luar negeri tidak sabar. Seorang pengusaha dari Malaysia dan beberapa pedagang dari Tiongkok terus datang ke Indonesia: ingin investasi di porang. Saya sudah minta kepada Perhutani untuk tidak membuka pintu dulu. Masih terlalu banyak petani kita yang perlu ditolong.
Mesin-mesinnya pun bisa dibuat di dalam negeri. Seperti mesin yang di Pare itu buatan Sidoarjo, Jatim. “Sudah setahun ini tidak pernah rewel,” ujar Pak Kasim pimpinan pabrik porang di Pare itu. Bahkan Kasim bisa mengoperasikan pabriknya setahun penuh tanpa berhenti. Padahal, menurut perencanaannya dulu, pabrik itu akan mirip pabrik gula: hanya bekerja enam bulan setahun.
Memanfaatkan sela-sela tanaman jati di hutan yang berjuta-juta hektar luasnya itu akan terus menjadi fokus Perhutani. Bahkan, bisa jadi, hasil tanaman selanya ini bisa lebih besar dari hasil hutan jatinya. Ini mengingat jati baru bisa dipanen setelah 20 atau 30 tahun. Saya bertekad kabupaten Blora yang miskin bisa menjadi penghasil porang terbesar di dunia.
Ini akan melengkapi identitas Blora yang selama ini lebih dikenal sebagai tempat kelahiran tokoh-tokoh besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Benny Murdani, dan tentu wartawan pertama Indonesia: sang pemula, Adisuryo!, (*)
==========================================================================================
MANUFACTURING HOPE 74
SIRATAL MUSTAQIM UNTUK TIGA JUTA GULA
SUDAH pasti kita tidak akan bisa swasembada daging di tahun 2014. Persoalan masih begitu banyak. Bahkan, road map menuju sana pun ternyata salah. Baiknya kita susun road map baru yang lebih realistis, tidak ABS dan tidak asbun.
Bagaimana dengan gula? Idem dito. Tidak mungkinlah tahun depan swasembada gula. Tidak ada tanda-tanda siratal mustaqim menuju ke sana. Saya belum pernah tahu adakah road map itu. Pernahkah disusun, dibahas, diusulkan, dan kemudian disepakati. Mungkin saja ada, hanya saya yang tidak mengikuti pembahasannya. Saya kan baru 1,5 tahun berada di kabinet.
Tapi, dari pengalaman 1,5 tahun menggeluti pabrik gula BUMN, saya berkesimpulan tidak mungkin swasembada gula bisa dicapai tahun depan. Tidak ada logikanya. Tidak ada tanda-tandanya.
Kebutuhan gula kita 5,7 juta ton setahun. BUMN dengan 52 pabrik gulanya memproduksi 1,6 juta ton tahun lalu. Itu sudah naik drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan itu diperoleh dengan kerja keras di segala lini. Tahun ini kerja keras itu ditingkatkan lagi. Tapi, maksimal hanya akan meningkat sampai 1,9 juta ton.
Pabrik-pabrik gula swasta memproduksi satu juta ton. Dengan demikian, BUMN dan swasta hanya mampu menyediakan gula maksimum 2,9 juta ton. Jelas masih ada kekurangan 3 juta ton. Itulah yang harus diimpor. Baik dalam bentuk gula pasir/cair untuk industri makanan/minuman maupun dalam bentuk raw sugar.
Pernah ada semacam road map lama: perusahaan-perusahaan yang diberi izin impor raw sugar harus membangun pabrik gula. Impor itu dimaksudkan untuk sementara. Keuntungan impor raw sugar bisa untuk modal membangun pabrik gula baru. Dengan demikian, kekurangan gula teratasi, harganya terkendali, inflasi tidak melonjak, dan modal untuk bikin pabrik gula baru bisa didapat.
Tapi, semua itu hanya di atas kertas. Kenikmatan impor raw sugar ternyata telah memabukkan siapa saja. Orang mabuk bisa lupa jalan menuju pulang, apalagi jalan menuju swasembada. Dua tahun telah lewat. Tiga tahun berlalu. Empat tahun tidak ada kabar. Lima tahun sunyi. Enam tahun lupa.
Pernah pula ada ide revitalisasi pabrik gula BUMN. Begitu gencarnya ide itu, sampai-sampai diyakini itulah obat kuat satu-satunya. Memang pabrik-pabrik gula BUMN sudah pada tua. Otot-ototnya sudah kendur dan syahwatnya melemah. Tidak ada jalan lain kecuali mesin-mesinnya diganti dengan yang baru, besar, dan modern.
Saya percaya revitalisasi sangat penting. Saya percaya mengganti mesin-mesin lama dengan yang baru mampu menaikkan produksi. Tapi, saya tidak percaya bahwa itu satu-satunya obat kuat. Saya lebih percaya pada pembenahan manajemennya, perbaikan sistem sumber daya manusianya, dan terutama moralitasnya.
Naiknya produksi gula tahun lalu sepenuhnya bukan karena ada mesin-mesin baru. Tapi, karena manusia-manusia pabrik gulanya berubah total: sistemnya dan perilakunya. Dengan “manusia baru” di pabrik gula, terbukti beberapa pabrik gula BUMN di Jawa sudah berhasil mengalahkan produktivitas pabrik gula swasta. Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri milik PTPN X dan Pabrik Gula Krebet Baru di Malang milik PT RNI tahun lalu mulai bisa mengalahkan swasta. Padahal, di dua pabrik gula itu tidak dilakukan revitalisasi mesin-mesinnya. Tidak ada mesin baru di situ.
Saya sangat yakin, tanpa mengubah manusianya, mesin-mesin baru pun akan cepat tua.
Tahun ini seluruh manajemen pabrik gula BUMN bertekad bikin rekor yang baru lagi. Tidak hanya produktivitas, tapi juga performa fisik pabriknya. Artis Widyawati, di umurnya saat ini, masih begitu cantiknya. Saya juga minta pabrik-pabrik gula BUMN bisa ikut jejak Widyawati.
Bulan depan saya akan kembali melakukan safari ke pabrik-pabrik gula itu. Ingin melihat persiapan musim giling tahun ini yang akan dimulai akhir Mei atau awal Juni. Kalau perlu, saya akan minta Mbak Widyawati untuk ikut menyemangati bahwa usia boleh tua, tapi penampilan dan semangat harus tetap muda!
Saya berkesimpulan, revitalisasi memang perlu, tapi belum sekarang. Kalau dana memang ada, lebih baik membangun pabrik baru. Dalam lima tahun ke depan, kita harus menambah pabrik baru untuk 3 juta ton. Berarti perlu membangun sepuluh pabrik baru. Yang semuanya harus berukuran raksasa.
BUMN dan swasta berkumpul. Kita petakan di mana saja sepuluh pabrik itu harus dibangun. Jelas tidak bisa lagi di Jawa. Kecuali satu pabrik gula baru yang dibangun PTPN XII di Glenmore, Banyuwangi. Tahun ini pabrik itu akan mulai dibangun.
Tidak mungkin membangun pabrik gula baru di Jawa karena kita berkepentingan swasembada beras. Insya Allah tahun ini. Kita juga tidak mungkin bikin pabrik gula baru di Kalimantan. Terbukti tidak cocok. Pabrik gula baru di Pelaihari, Kalsel, kini jadi onggokan besi tua.
Kelihatannya tinggal Lampung, Sultra, Pulau Buru, Sumba Barat/Barat Daya, dan Pulau Seram yang masih mungkin. Kita akan bicara dengan swasta: seberapa besar kemampuan swasta untuk ekspansi. Baru sisanya BUMN. Kita bagi tugas dengan dukungan aturan pemerintah yang lebih tegas dan lebih jelas.
Tanpa semua itu, lebih baik kita jangan bicara swasembada. Lebih baik kita bicara mengapa Mbah Subur tidak memiliki tubuh yang subur. (*)
=============================================================================================
MANUFACTURING HOPE 73
BURON YANG MENGHASILKAN PANJA
Telah lahir: Panja Ketenagakerjaan BUMN di Komisi IX DPR RI. Itulah kesimpulan rapat kerja Komisi IX DPR dengan menteri tenaga kerja dan transmigrasi serta menteri BUMN tanggal 10 April lalu.
Saya senang dengan lahirnya panja itu. Dengan panja, pembahasan masalah ketenagakerjaan di BUMN akan sangat mendalam. Panja tentu akan mendengarkan banyak pihak yang pantas didengar: tokoh-tokoh serikat pekerja, manajemen BUMN yang rugi, BUMN kecil, BUMN besar, BUMN yang mempraktikkan sistem ketenagakerjaan yang baik dan yang kurang baik, serta banyak pihak lagi.
DPR, khususnya komisi IX, tentu lembaga yang sangat kritis yang bisa menyerap berbagai realitas di lapangan. Baik realitas tenaga kerja yang harus kian sejahtera maupun realitas perusahaan yang harus dijaga pertumbuhan dan sustainability-nya.
Saya sendiri menyesal sempat terlalu lama jadi “buron” komisi IX. Ternyata komisi itu sangat dinamis. Anggota-anggotanya mengesankan. Banyak dokternya (saya lupa bahwa komisi IX adalah komisi yang juga mengurus kesehatan), intelektualnya, dan begitu banyak wanitanya: cantik-cantik dan cerdas-cerdas.
Ada Wakil Ketua Nova Riyanti Yusuf yang dokter ahli kesehatan jiwa, ada Karolin Margret Natasa yang juga dokter, ada Chusnunia Chalim yang ustadah, dan banyak lagi. Dan jangan lupa ketuanya sendiri: Ribka Tjiptaning yang juga dokter. Bahkan, ada dokter Dinajani Mahdi yang bergelar profesor, doktor, dan enam gelar mentereng lain.
Tentu saya tahu apa yang harus dibahas hari itu: outsourcing atau alih daya. Ketika saya menjadi Dirut PLN, saya kaget: begitu banyak karyawan outsourcing-nya. Ke mana-mana, ke seluruh Indonesia, saya bertemu dan bergaul dengan mereka.
Saya tahu apa yang mereka alami: Gaji jauh lebih kecil (jika dibandingkan dengan karyawan tetap), tidak jelas berapa lama akan bekerja di situ (karena bisa saja tahun berikutnya kontraknya tidak diperpanjang), dan yang paling utama mereka merasa diperlakukan tidak adil: Mereka merasa bekerja lebih keras daripada karyawan tetap, tapi gajinya jauh lebih kecil.
Tahun pertama di PLN, saya sudah langsung bisa merumuskan tiga hal strategis itu. Saya merencanakan untuk dicarikan jalan keluar di tahun ketiga masa jabatan saya. Tahun pertama, saya harus memprioritaskan program mengatasi krisis listrik di seluruh Indonesia.
Tahun kedua, saya harus mengatasi daftar tunggu yang jumlahnya jutaan. Sampai-sampai harus dua kali melakukan program “sehari satu juta sambungan”. Itu sekaligus mengatasi problem percaloan yang sudah mendarah-mendaging. Tahun ketiga, rencana saya, menyelesaikan outsourcing dan melahirkan mobil listrik.
Tidak disangka-sangka saya harus meninggalkan PLN sebelum genap dua tahun menjabat Dirut. Saya harus menjadi menteri meski sudah berusaha untuk bisa tetap di PLN setahun lagi.
Waktu itu saya ingin ada perbaikan sistem tender untuk perusahaan alih daya. Jangan mempertandingkan harga murah, tapi kualitas pekerjaan. Bahkan, gaji minimal sudah harus dipersyaratkan dalam dokumen tender.
Saya juga selalu mengajak karyawan tetap untuk bekerja lebih keras. “Jangan sampai teman-teman outsourcing mengatakan karyawan tetap itu gajinya besar, tapi tidak mau kerja keras,” kata saya.
Kini dengan dibentuknya Panja Ketenagakerjaan BUMN oleh komisi IX, soal-soal itu akan bisa didalami lebih komprehensif. Sistem ketenagakerjaan di BUMN memang tidak seragam. Bergantung tiap-tiap BUMN. Apalagi, BUMN itu memang aneka ria: Bidang usahanya sangat luas. Industri bajanya tidak bisa disamakan dengan industri perbankan, penerbangan, perkebunan, dan seterusnya. Masing-masing mempunyai karakteristiknya sendiri.
Sambil menunggu hasil Panja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR, semua BUMN harus menyiapkan perubahan-perubahan yang mungkin harus terjadi. Tentu tidak tahun ini. Sebab, sistem anggarannya sudah tidak memungkinkan untuk direvisi. Lebih baik dan lebih siap kalau disiapkan untuk dimulai tahun depan.
Semua persoalan, semua pengalaman, dan semua pemikiran harus disiapkan untuk kelancaran kerja panja komisi IX. Inilah tahun kerja keras para direktur SDM di tiap-tiap BUMN. Kalau perlu, kurangi sedikit fasilitas direksi untuk yang satu ini.
Tapi, saya juga bisa membayangkan sulitnya BUMN-BUMN kecil yang masih serbasulit. Jangankan memikirkan itu, karyawan tetapnya sendiri saja masih jauh dari sejahtera. Bahkan, ada BUMN yang baru tahun lalu bisa membayar karyawan tetapnya dengan gaji tetap.
Itulah realitas perusahaan: Yang besar sulit dengan kebesarannya, yang kecil sulit dengan kekecilannya, dan yang sulit kian sulit dengan kesulitannya.
Paling enak adalah orang yang bisa menikmati segala kesulitan itu.(*)
==========================================================================
MANUFACTURING HOPE 72
KULIAH TANAM PADI DI UNIVERSITAS SAWAH BARU
“Lapor Pak, hari ini tadi panen pertama.”
“Lho, kok cepat?” jawab saya.
“Kan sudah 102 hari,” jawab Dirut PT Sang Hyang Seri (Persero) Dr Upik Rosalina Wasrin.
“Kok saya tidak diundang?” tanya saya lagi.
“Kan baru coba-coba. Tidak sampai lima hektare,” jawab Upik lagi.
“Biarpun hanya lima hektare, kan bersejarah,” kata saya.
“Sebentar lagi kan panen yang lebih luas,” jawab alumnus IPB dan Universitas Paul Sabatier, Toulouse, Prancis, itu.
“Hasilnya berapa ton per hektare?” tanya saya lagi.
“5,25 ton, Pak,” jawabnya.
Begitulah. Sawah baru yang dibuka BUMN di Ketapang, Kalbar, sudah mulai panen. Sekarang pun tiap hari masih panen. Di sawah baru itu tiap hari memang dilakukan penanaman padi sehingga hampir tiap hari juga bisa panen.
Panen pertama ini adalah hasil penanaman yang dilakukan ramai-ramai oleh para direksi BUMN yang secara bersama-sama bertekad all-out membantu peningkatan produksi beras nasional.
Kini, di Ketapang, rata-rata setiap hari dilakukan penanaman padi 15 ha. Sampai minggu ini sudah lebih 500 ha sawah baru tercipta di sana. Sampai akhir Juni nanti sudah harus 1.000 ha. Begitulah terus-menerus dilakukan hingga akhirnya nanti mencapai 100.000 ha.
Banyak sekali suka-duka menciptakan sawah baru di Ketapang ini. Sejak awal, berbagai kesulitan itu memang sudah dibayangkan. Bahkan, Dirut PT SHS saat itu, Kaharuddin, menyatakan produksi pertama sawah baru itu nanti maksimal hanya 4 ton. Memang begitulah teorinya. Maka, ketika hasil panen pertama itu mencapai 5,25 ton, sawah baru ini memberikan hope yang baik.
Panen pertama itu pun dilakukan lima hari lebih cepat daripada seharusnya. Ada gelagat hama ulat grayak akan menyerang. Daripada dipanen ulat, pimpinan SHS di Ketapang, Kusmiyanto, memutuskan segera memanennya. “Waktu itu berminggu-minggu tidak ada hujan. Sawah mengering. Sungai di dekat situ lagi surut. Maka, muncullah ulat grayak,” ujar Kusmiyanto.
Munculnya hama ulat grayak memang sudah diperkirakan. Lahan yang selama ini dibiarkan tidak ditanami pasti dihuni berbagai renik beserta telurnya. Ketika dibuat sawah, pada dasarnya telur-telur itu masih ada di situ. Hanya, tidak bisa menetas karena tergenang air.
“Begitu berhari-hari tidak ada air, menetaslah,” ujar Kusmiyanto yang alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang itu.
Pengalaman baru yang terbesar dari “universitas sawah baru” ini adalah dalam menata air. Bulan pertama pembukaan sawah baru seperti tidak ada persoalan. Pembukaan lahannya, pengolahan tanahnya, penanamannya, lancar-lancar saja. Maklum, waktu itu musim hujan.
Begitu tidak ada lagi hujan, ketahuanlah berbagai macam kekurangannya. Tata air untuk perencanaan 500 ha tentu beda dengan untuk perencanaan ribuan hektare. Di sinilah diskusi, solusi, dan action terus dilakukan.
Dari pengalaman bulan pertama dan kedua itulah penyempurnaan dilakukan. Hasilnya terlihat dari kian cepatnya pertambahan pencetakan sawah baru. Bulan pertama, satu hari rata-rata hanya bisa mencetak 7 ha sawah baru. Sekarang pencetakan dengan alat-alat modern itu sudah bisa 15 ha per hari. Tiga bulan lagi direncanakan bisa 50 ha per hari.
Kian lama kian banyak pelajaran yang bisa diambil. Saya sudah minta kepada Kusmiyanto untuk mendokumentasikan semua persoalan yang muncul, jalannya diskusi, dan penyelesaian masalah yang diambil. Semua itu akan menjadi dokumen penting untuk program pencetakan sawah baru di masa depan.
Penerapan berbagai teknologi pun dicoba di Ketapang. Berbagai jenis benih ditanam, diamati, dan dilihat perkembangannya. Demikian juga berbagai macam pupuk. Termasuk pupuk dan benih dari PT Batantekno (Persero) hasil kerja sama dengan Batan dan BPPT. Benih padi Si Genuk yang diradiasi nuklir juga segera dicoba seluas 10 ha di Ketapang. Digabung dengan pupuk cair hasil kerja sama mereka.
Si Genuk sudah dicoba di lahan SHS di Sukamandi, Jawa Barat, dan siap panen minggu ini. Di sini nama benih itu bermutasi menjadi Si Denok. Lahannya bersebelahan dengan lahan benih Ciherang. Secara kasat mata sudah terlihat beda.
Saya melihat perbedaan itu saat meninjaunya. Waktu itu, padinya mulai agak menguning. ”Yang Si Denok terlihat menggarehal,” ujar seorang staf PT SHS yang hanya bisa menggambarkannya dalam istilah Sunda.
Sawah baru di Ketapang itu direncanakan ditanami padi dua kali setahun. Setelah panen pertama itu, sawah tersebut akan ditanami padi lagi, tapi jenis gogo. Ini mengantisipasi kesulitan air di musim kemarau. Toh, hasilnya juga tidak banyak berbeda. Setelah gogo, barulah lahan akan ditanami jagung.
Sebenarnya, saya minta ditanami kedelai, sekalian untuk ikut mengatasi kekurangan kedelai, tapi tidak ada yang cukup pede melakukannya. Saya mengalah. Saya tahu kedelai memang jenis tanaman untuk iklim subtropis. Perlu persiapan khusus untuk ditanam di Ketapang.
Fokus pemikiran tim Ketapang saat ini masih bagaimana mencetak sawah baru yang sekalian harus bisa memecahkan segala hambatannya.
Sawah baru ini, kalau berhasil, akan memaksa PT SHS untuk berubah total. Sudah bertahun-tahun BUMN ini tidak memiliki landasan bisnis yang kuat. Bisnis utamanya menyediakan benih, tetapi kemampuan menyediakan benih sendiri tidak sampai 5 persen dari kebutuhan benih nasional.
Akibatnya, SHS harus bekerja sama dengan begitu banyak penangkar benih. Dengan segala permainannya. SHS tidak memiliki margin yang cukup untuk bisa mengembangkan dirinya menjadi tulang punggung penyedia benih unggul nasional. Bahkan, SHS terlibat pola gali lubang-tutup lubang yang lama-lama lebih dalam lubangnya daripada tutupnya.
Kini begitu banyak BUMN yang mendukung SHS menyukseskan pencetakan sawah baru itu. Bukan saja untuk kecukupan pangan nasional, tapi juga untuk masa depan SHS sendiri yang harus kukuh.
PT Pertani (Persero), BUMN bidang pertanian lainnya, juga tidak lebih kuat daripada SHS. Landasan bisnisnya juga rapuh. Gali lubang-tutup lubang, tumpang tindih pula.
Tahun ini PT Pertani baru mulai memiliki dasar bisnis yang nyata: spesialis di bidang pascapanen. Tidak akan tumpang-tindih dengan PT SHS dan Perum Bulog. Bahkan, ketiganya akan bisa bersinergi untuk secara tuntas membantu persoalan petani di segala lini.
Di hulu, BUMN membantu produksi beras melalui program “yarnen”, bayar kalau sudah panen. Petani yang tidak memiliki kemampuan mengadakan benih unggul dan pupuk dibantu BUMN. Agar hasil panennya lebih besar. Bantuan itu dikembalikan saat panen. Tahun ini program yarnen, bagian dari Gerakan Peningkatan Produksi Pertanian Berbasis Korporasi (GP3K) BUMN, harus mencapai 2,6 juta hektare.
Di hilir, ada Bulog yang menampung seberapa besar pun hasil panen. Tahun lalu Bulog sudah membuktikan diri mampu mencapai prestasi terbaiknya. Tahun ini Dirut Bulog Soetarto Alimuso bertekad untuk lebih baik lagi.
Hulu-hilirnya sudah mulai bergerak. Tapi, tengah-tengahnya masih bolong. Penanganan gabahnnya masih belum mendapat perhatian. Bagaimana petani harus merontokkan gabah, mengeringkan, dan menggilingnya, masih belum ada BUMN yang menerjuninya.
PT Pertani lah yang akan menjadi spesialis di tengah-tengah ini. Caranya: mengadakan mesin-mesin pengering gabah. Syaratnya: mesin itu tidak boleh menggunakan bahan bakar minyak. Tahun ini PT Pertani membangun 100 pabrik pengering dengan bahan bakar sekam padi.
Selama ini, memang sudah banyak mesin pengering gabah di Bulog, tapi semuanya menggunakan solar. Mahalnya bukan main. Akhirnya tragis: nganggur semua!(*)
=========================
MANUFACTURING HOPE 71
MEMBUAT PERTAMINA TAKM DIEJEK SEPANJANG MASA
HAMPIR saja saya merasa bahagia yang berkepanjangan. Yakni, ketika mengetahui bahwa laba PT Pertamina (Persero) berhasil mencapai Rp 25 triliun. Itulah laba terbesar dalam sejarah Pertamina. Juga laba terbesar di lingkungan BUMN. Bahkan, laba terbesar yang bisa dicapai sebuah perusahaan apa pun di Indonesia sepanjang 2012.
Saya pun minta agar Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengumumkannya. Agar capaian yang hebat itu bisa membuat masyarakat bangga pada Pertamina. Setidaknya bisa mengurangi ejekan sinis masyarakat kepada Pertamina. Maka, pada laporan keuangan kepada publik bulan lalu, disertakanlah judul ini: Pertamina berhasil memperoleh laba terbesar dalam sejarahnya.
Melalui Twitter (@iskan_dahlan) saya pun ikut membagi kebahagiaan itu. Tentu saya ingin memberikan penghargaan kepada jajaran Pertamina. Berita gembira itu juga saya manfaatkan untuk kampanye menumbuhkan harapan umum. Manufacturing hope. Yakni, bahwa perbaikan dan kerja keras yang dilakukan jajaran Pertamina sudah mulai memberikan hasil nyata. Ini berarti kalau perbaikan, efisiensi, dan kerja keras terus dilakukan, hasilnya akan lebih hebat lagi.
Saya ingin ada satu harapan untuk dunia Twitter, khususnya yang terkait dengan politik, yang terlalu didominasi pesimisme dan putus harapan. Pesimisme perorangan adalah hak, tapi pesimisme masal bisa membawa kehancuran.
Saya pun segera membayangkan bahwa masyarakat akan ikut bahagia mengikuti twit perkembangan terbaru di Pertamina itu. Dan, saya akan menggunakan kebahagiaan masyarakat tersebut untuk terus memacu kinerja manajemen Pertamina. Misalnya, lifting minyak yang harus naik untuk menjadikan Pertamina perusahaan minyak kelas regional.
Sekarang ini Pertamina baru bisa menghasilkan 500 ribu barel minyak per hari. Jauh dari kelas perusahaan minyak tingkat ASEAN sekali pun. Karena itu, tahun ini Pertamina membentuk Brigade 300K. Mereka terdiri atas anak-anak muda Pertamina yang umurnya maksimum 29 tahun.
Brigade ini bertugas menambah produksi minyak Pertamina 300 ribu barel lagi per hari. Inilah brigade yang akan membuat produksi total Pertamina menjadi 800 ribu barel. Target itu pun harus tercapai akhir tahun depan. Di dalamnya dihitung produksi energi geotermal yang disetarakan dengan minyak.
Tiap bulan saya mengikuti perkembangan Brigade 300K ini. Termasuk ikut mencarikan jalan keluar kalau terjadi hambatan di luar Pertamina. Misalnya, bagaimana Pertamina bisa menjual geotermalnya ke PLN dengan cepat. Kesepakatan pun segera dicapai: sembilan lokasi geotermal milik Pertamina yang skalanya besar-besar itu bisa segera dikerjakan.
Tapi, semua itu belum cukup. Harapan masyarakat terhadap Pertamina memang sangat besar. Pengumuman mengenai besarnya laba yang berhasil dicapai Pertamina itu, misalnya, ternyata belum bisa membahagiakan masyarakat. Mereka menginginkan Pertamina jauh lebih hebat. Mereka tidak mempersoalkan laba, omzet, dan sebangsanya. Masyarakat menginginkan Pertamina yang membanggakan.
Masyarakat ternyata langsung membandingkannya dengan Petronas, Malaysia.
“Laba Petronas Rp 160 triliun!” ujar follower Twitter saya.
Saya pun tersadar dari lamunan kebahagiaan. Terbangun. Kebahagiaan saya akan prestasi Pertamina itu ternyata hanya berlangsung kurang dari lima menit. Padahal, semula saya mengira kebahagiaan itu akan berlangsung setahun penuh. Lalu disambung dengan kebahagiaan berikutnya manakala melihat hasil kerja jajaran Pertamina 2013.
Ternyata hukum kebahagiaan tidak seperti itu. Bahagia itu bisa naik dan tiba-tiba bisa anjlok. Kebahagiaan saya itu langsung lenyap saat membaca twit pembandingan antara laba Pertamina dan laba Petronas.
Itu persis seperti kebahagiaan seorang pembina sepak bola di Indonesia. Setidaknya seperti yang saya alami selama memimpin Persebaya dulu. Begitu peluit panjang berbunyi dan Persebaya menang, bahagianya bukan main. Tapi, kebahagiaan itu hanya berlangsung sekitar lima menit. Begitu keluar dari garis lapangan, para wartawan langsung mengerubung dengan pertanyaan yang mengakhiri kebahagiaan itu: berapa juta bonus yang akan diberikan kepada setiap pemain. Maka, kebahagiaan pun langsung beralih ke bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar bonus saat itu juga.
Begitu pula soal kebahagiaan Pertamina ini. Begitu kicauan mengenai laba Petronas tersebut saya baca, hati saya langsung terbakar. Saya benar-benar gelisah. Pikiran saya dipenuhi pertanyaan ini: bagaimana cara mengejar Petronas. Sudah lama masyarakat tidak bisa menerima kalau Pertamina sampai kalah dari Petronas. Apalagi kalahnya telak.
Ketika berada di Rumah Sakit Tianjin untuk check-up rutin tahunan pekan lalu, saya memiliki waktu merenung lebih panjang. Saya utak-atik berbagai kemungkinan untuk bisa mengejar Petronas. Saya browsing di internet. Saya pelajari angka-angka. Kekalahan Pertamina atas Petronas itu ternyata sudah sangat lama. Sudah lebih 30 tahun. Grafiknya pun kian memburuk.
Tapi, apa yang bisa diperbuat? Sungguh tidak mudah menemukan jalannya. Padahal, soal kekalahan Pertamina ini sudah bukan lagi soal kekalahan sebuah perusahaan biasa. Ini sudah menyangkut harga diri negara dan bangsa. Ini sudah soal Merah Putih. Pertamina sudah menjadi lambang negara.
Di bidang sawit kita sudah bisa mengejar Malaysia. Garuda Indonesia sudah mengalahkan Malaysia Airlines. Semen dan pupuk kita sudah jauh di depannya. Di bidang pelabuhan kita sedang mengejarnya dengan proyek PT Indonesia Port Corporation (Pelindo II) yang insya Allah pasti bisa.
Tapi, kita belum bisa menemukan jalan untuk Pertamina. Program-program Pertamina yang ada sekarang memang ambisius, tapi baru bisa membuat Pertamina masuk ke jajaran perusahaan minyak kelas regional. Masih jauh dari prestasi Petronas.
Memang ada jalan pintas. Bahkan, sangat cepat. Semacam jalan tol di Jerman. Maksudnya, jalan tol yang tidak pakai bayar. Dengan jalan ini Pertamina bisa mengalahkan Petronas hanya dalam waktu empat tahun. Setidaknya bisa membuatnya sejajar dengan Petronas. Tapi, saat saya menulis naskah ini, di sebuah ruang check-up Rumah Sakit Tianjin, saya terpikir akan kesulitan-kesulitannya: “jalan tol” itu bukan milik Pertamina. “Jalan tol” itu milik perusahaan luar negeri yang akan habis izinnya pada 2017: Blok Mahakam.
Saya pun minta Dirut Pertamina Karen Agustiawan membuat kalkulasi ini: seandainya Blok Mahakam kembali sepenuhnya ke negara, dan negara menyerahkannya ke Pertamina, berapa laba Pertamina pada 2018? Dan tahun-tahun berikutnya?
Dengan cepat jawaban Karen masuk ke HP saya: Rp 171 triliun.
Saya tidak tergiur dengan angka itu. Saya lebih tergiur pada bayangan betapa bangganya kita memiliki Pertamina yang tidak lagi diejek-ejek sepanjang masa. (*)
=================================
MANUFACTURING HOPE 70
Bedol-bedolan untuk Rusun Kemayoran
SAYA ajak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mojok sebentar. Itu terjadi saat kami menunggu kedatangan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan meresmikan dimulainya proyek terbesar dalam sejarah BUMN di bidang pelabuhan Jumat sore lalu.
Kami pun bisik-bisik agar tidak menarik perhatian orang sekitar. Di situ, di ruang tunggu direksi PT Indonesia Port Corporation, nama baru PT Pelindo II (Persero) Tanjung Priok, saya bisikkan ide tentang fungsi rumah susun untuk perbaikan perkampungan kumuh di Jakarta. Ide itu sebenarnya sudah saya pidatokan saat peletakan batu pertama pembangunan rumah susun Perumnas di Kemayoran sehari sebelumnya.
Sebelum upacara itu, saya mampir dulu ke rumah susun yang sudah lebih dulu berdiri di sebelahnya. Itulah dua tower rumah susun 18 lantai yang dibangun BUMN Perum Perumnas di awal pemerintahan SBY-JK.
Rusun itu awalnya dirancang sebagai awal dari program pembangunan 1.000 tower rumah susun di seluruh Indonesia. Tapi, pelaksanaannya tidak mulus. Perizinan yang waktu itu dijanjikan serba- Ferrari ternyata seperti Tucuxi. Berhenti sama sekali.
Namun, dengan semangat Jokowi yang berjanji memperlancar segala perizinan, saya minta Perumnas untuk kembali membangun tower-tower rumah susunnya. Kalau bisa, tekad saya, rumah susun Perumnas ini menjadi rumah susun pertama yang menjadi kenyataan di era Jokowi ini. Untuk membuktikan benarkah birokrasi di DKI sudah berubah.
Dalam kunjungan ke lantai 17 rumah susun Kemayoran itu, saya merasakan seperti berada di sebuah apartemen yang enak. Lokasi rumah susun tersebut sungguh istimewa. Pemandangan sisi utaranya adalah Laut Jawa yang biru. Pemandangan arah sebaliknya adalah lapangan golf yang indah.
Dalam hati, saya berkata: pantas penghuni rumah susun ini terlihat sangat sejahtera. Rupanya, yang masuk rumah susun di Kemayoran ini adalah mereka yang pendapatannya sudah relatif baik. Buktinya terlihat dari fasilitas yang mereka miliki di kamar masing-masing.
Saya pun berkesimpulan pola penghunian rumah susun seperti ini tidak akan bisa memperbaiki perkampungan Jakarta yang padat dan kumuh. Yang masuk rumah susun ini bukanlah mereka yang berasal dari perkampungan yang sangat miskin. Penghuni rumah susun seperti ini adalah mereka yang minimal sudah punya tabungan Rp 15 juta (untuk membayar uang muka).
Akibatnya, rumah susun bisa saja terus tumbuh, tapi perkampungan padat dan kumuh tidak bisa berkurang.
Inilah yang saya bisikkan ke Jokowi. “Ayo kita ubah cara berpikir seperti itu,” bisik saya. Caranya: rumah susun yang pemancangan tiang pertamanya saya lakukan Kamis lalu itu tidak lagi disiapkan untuk mereka yang mendaftar. Tapi untuk menampung “bedol RT” atau “bedol RW”.
Saya bisikkan: Kita cari satu atau dua RT daerah padat dan miskin. Kalau seluruh warga RT yang sangat miskin itu sepakat boyongan serentak bersama-sama ke rumah susun yang hebat itu, maka merekalah yang harus ditampung.
Mereka tidak perlu membayar uang muka (karena memang tidak akan punya). Namun, mereka harus menyerahkan lokasi satu atau dua RT tersebut ke BUMN. Di lokasi yang ditinggalkan tersebut (katakanlah luasnya satu atau dua hektare) dibangun rumah susun 18 lantai oleh BUMN.
Kalau rumah susun di lokasi bekas “bedol RT” tersebut sudah berdiri, kita cari lagi satu atau dua RT yang juga mau “bedol RT”. Di lokasi bekas “bedol RT” tersebut dibangun lagi rumah susun oleh BUMN. Begitu seterusnya. Bergulir tidak henti. Sampai tidak ada lagi RT atau RW kumuh di DKI.
Dengan demikian, rumah susun yang dibangun akan bisa ikut menyelesaikan masalah lingkungan kawasan kumuh.
“Setuju!” jawab Jokowi.
“Hanya Pak Jokowi yang bisa merayu warga untuk mau bedol RT. Saya tidak punya kewenangan,” kata saya.
“Saya yakin bisa. Banyak yang akan mau,” jawab Jokowi.
Begitulah. Hasil mojok kami berdua sangat konkret.
Sayang sekali rumah susun yang dibangun dengan mahal tidak bisa ikut memperbaiki lingkungan kumuh di Jakarta. Saya pun lantas minta kepada direksi Perumnas untuk melaksanakan ide ini. Tidak boleh lagi menjual rumah susun itu hanya kepada yang mampu membayar uang muka.
Rumah susun ini sungguh murah. Sebab, biayanya ditanggung oleh BUMN. Dalam waktu dua tahun, harga rumah susun ini sudah akan naik lima kali lipat di pasar bebas. Lokasinya begitu strategis. Bangunannya begitu bagus. Pemandangan sekitarnya begitu indah.
Tidak ada salahnya sekali-sekali warga yang sangat miskin mendapat haknya untuk berada di lingkungan yang lebih baik. Bahkan, kali ini biarlah golongan yang miskin itu yang akan mendapat gain yang amat besar itu.
Saya tahu bahwa ide seperti ini bisa saja akan mendapat penolakan dari jajaran internal Perumnas sendiri. Secara bisnis, ide seperti ini memang kurang menarik. Tapi, karena dana pembangunan rumah susun ini dari BUMN (bukan hanya dari Perumnas yang juga BUMN), maka saya minta kali ini berbeda.
Saya juga tahu, sebagian penolakan itu berlatar belakangan khusus: model “bedol RT” seperti itu tidak memberikan peluang untuk ngobyek.
Dirut Perum Perumnas Himawan Arief Sugoto saya minta untuk terus melakukan koordinasi dengan Pemprov DKI. Di atas kertas ide seperti ini kelihatannya mudah, tapi di lapangan bisa jadi seperti mbah-mbah.
Ada dua terobosan lagi yang saya jadikan pembicaraan saat mojok dengan Jokowi sore itu. Di bidang transportasi dan penanggulangan banjir. Dua-duanya disetujui dan akan kami laksanakan bersama secara cepat. Namun, rumah susun Kemayoran akan kami jadikan model dulu.
Saya ingin melihat apakah dalam tiga bulan nanti sudah bisa ditemukan satu atau dua RT yang mau “bedol” ke rumah susun Kemayoran.
Rumah susun itu akan terdiri atas dua tower. Saya sudah minta kontraktor BUMN, PT Hutama Karya, untuk menyelesaikannya dalam waktu sembilan bulan. Dirut Hutama Karya Tri Widjajanto Joedosastro sanggup. Ini berarti RT yang siap “bedol” ke rumah susun Kemayoran sudah harus ditemukan dalam waktu tiga bulan ke depan.
Saya tahu soal rumah susun menjadi salah satu janji kampanye Jokowi dulu. Untuk rumah susun yang sudah ada pun, masih banyak persoalan. Sayangnya, tidak banyak yang bisa dibantu oleh BUMN. Kecuali satu: keinginan Jokowi agar rumah susun bisa dialiri gas untuk dapur-dapur mereka.
Dirut BUMN yang menangani gas, PT PGN (Persero) Tbk, Hendi Priyo Santoso, sudah sanggup. Tentu, ada syaratnya, bahwa perizinan di bidang pembangunan jaringan pipa gas bisa dipermudah. Selama ini Hendi sering mengeluh sulitnya mendapatkan izin perluasan jaringan gas di Jakarta.
Kini, dengan permintaan Jokowi itu, tidak ada jalan lain kecuali jaringan pipa gas memang harus diperluas di Jakarta. Pak Jokowi pun menyanggupi percepatan perizinan itu.
Dan, rupanya, Jokowi betul-betul bergerak cepat. Dua hari setelah pembicaraan itu, justru staf Pemprov DKI yang menelepon Hendi untuk mengambil izin yang sudah bertahun-tahun nyangkut di sana.
Tentu, saya juga ingin tower pertama yang dibangun Perumnas di saat saya menjadi menteri BUMN tersebut ada plusnya. Misalnya, sejak saat dirancang sudah sekalian disiapkan jaringan internet ke seluruh kamarnya. Dengan demikian, masyarakat miskin yang menjadi penghuni rumah susun itu nanti bisa menyiapkan anak-anak mereka menjadi generasi baru yang akan memutus mata rantai kemiskinan mereka.
Itu tidak sulit. Begitulah cara Tiongkok menyiapkan rumah susun untuk masyarakat miskin mereka. Rumah susun tidak hanya dipergunakan untuk mengubah wajah perkampungan, tapi juga untuk memutus rantai kemiskinan dan ketertinggalan.
Saya ingat Jokowi pernah melakukan “bedol kaki lima” yang amat terkenal di Solo. Saya ingin tahu gaya kemeriahan Jokowi dalam melakukan “bedol RT” di Betawi! (*)
==================
MANUFACTURING HOPE 68
Tahun Dag-dig-dug Tidak Hanya untuk Politisi
MENINGGALNYA beberapa orang sakit yang tidak mendapatkan kamar di rumah sakit Jakarta menjadi salah satu topik diskusi dies natalis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia awal bulan ini.
Sejak diberlakukannya Kartu Jakarta Sehat (KJS), jumlah orang yang datang ke rumah
SAKIT memang meningkat tiga kali lipat. “Ibaratnya, digigit nyamuk pun sekarang masuk rumah sakit,” ujar seorang dokter di forum itu. “Akibatnya, yang sakit sungguhan tidak kebagian tempat,” tambahnya.
Saya mencatat seluruh pemikiran para dokter hari itu. Sebab, PT Askes (Persero) yang sekarang masih di bawah Kementerian BUMN harus bisa menyiapkan diri untuk menyambut era baru: Mulai 1 Januari 2014 keperluan kesehatan 86 juta orang miskin harus dilayani secara gratis. Pertanyaan besarnya: Siapkah Askes?
Dirut PT Askes yang baru, Dr dr Fachmi Idris, beserta seluruh jajarannya hari-hari ini berkonsentrasi penuh untuk mempersiapkan semua itu. Waktu tidak banyak lagi. Internal masih punya banyak masalah yang harus diselesaikan: bagaimana status pegawai Askes nanti setelah Askes bukan lagi BUMN, bagaimana jenjang karirnya, dan seterusnya.
Sambil memikirkan nasib diri sendiri itu, Askes harus memikirkan wujud pelayanannya nanti: bagaimana agar semua pemilik kartu sehat bisa terlayani, bagaimana agar rumah sakit bisa dibayar tepat waktu, bagaimana para dokter bisa tenang dalam bekerja.
Kesimpulan hari itu jelas: Kalau semua orang sakit diperbolehkan langsung masuk rumah sakit, akan banyak kasus orang meninggal dunia karena tidak kebagian kamar. Dan lagi, kata para dokter hari itu, tidak semua penyakit harus diatasi di rumah sakit. Banyak penyakit yang sudah bisa ditangani di tingkat puskesmas.
Bahkan, para dokter punya cita-cita yang besar: Banyak orang yang sebenarnya tidak perlu sakit kalau ada dokter yang khusus mencegah terjadinya penyakit di masyarakat.
Kalau pengaturan itu tidak jalan, bisa-bisa judul berita di sebuah surat kabar pekan lalu benar-benar akan terjadi: KJS membuat politisi dapat nama, membuat dokter kehilangan nama.
Untuk mencegah agar tidak semua orang sakit langsung datang ke rumah sakit, tidak ada jalan lain kecuali dikeluarkan aturan ini: Semua orang sakit harus ke puskesmas. Kecuali yang gawat darurat. Puskesmaslah yang akan menilai pasien tersebut cukup diobati di situ atau harus dirujuk ke rumah sakit.
Demikian pula sebaliknya. Rumah sakit hanya mau menerima pasien yang membawa surat pengantar dari puskesmas. Kecuali yang gawat darurat.
Direksi Askes sudah sepakat dengan gubernur DKI, Pak Jokowi, untuk melakukan uji coba sistem tersebut. Bulan depan sudah dimulai. Jakarta akan jadi pelopornya. Apalagi, puskesmas-puskesmas di Jakarta sudah cukup memadai.
Di Jakarta, puskesmas tidak hanya ada di tingkat kecamatan. Di satu kecamatan bisa ada lima puskesmas.
Setelah diskusi di FK UI itu, saya bersama Dr Fachmi Idris mengunjungi beberapa puskesmas di Jakarta. Juga melihat apa yang terjadi di salah satu rumah sakit di Jakarta yang sangat padat. Askes akan membangun sistem link online yang menghubungkan puskesmas dengan seluruh rumah sakit di Jakarta.
Pasien yang datang ke puskesmas dan harus dirujuk ke rumah sakit akan dirujuk secara online. Bahkan, di sistem itu sudah bisa dilacak di rumah sakit mana pasien tersebut harus ditangani. Di puskesmas itu bisa dilihat rumah sakit mana saja yang masih memiliki kamar yang kosong.
Dengan demikian, tidak terjadi pasien keliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang semuanya penuh.
Ada waktu sembilan bulan untuk mencoba sistem tersebut. Kesalahan dan kekeliruan bisa dikoreksi segera. Kalaupun sistem itu gagal, sudah harus diketahui sebelum 1 Januari 2014. Kita juga belum tahu seberapa masyarakat bisa menerima kalau diharuskan ke puskesmas dulu.
“Dalam praktik, ada pemegang KJS yang tidak dapat kamar, lalu bertanya apakah ada kamar VIP. Setelah diberi tahu betapa mahal kamar itu dan akan di luar pertanggungan KJS, pasien tersebut minta VIP dan mengatakan mampu membayarnya,” ujar seorang dokter di diskusi itu.
Salah satu puskesmas yang saya kunjungi hari itu, Puskesmas Gambir, sebenarnya sudah bukan seperti puskesmas yang saya kenal dulu. Besar dan lengkap. Hanya, tidak ada kamar untuk opname rawat inap.
Saya melongok toilet-toiletnya, juga cukup bersih. Lab untuk memeriksa darah pun ada. Merekam jantung juga ada. Klinik gigi juga lengkap. Bahkan sampai mampu merehabilitasi mantan pecandu narkoba. Lebih dari 100 mantan pecandu narkoba tiap hari datang ke situ untuk minum obat anti kecanduan.
Dokter Deuis Nurhayati, kepala Puskesmas Gambir, mengatakan siap menerima sistem online dengan rumah sakit. Juga siap bila ada aturan baru bahwa semua pasien di kawasan itu harus ke puskesmas dulu.
Coba kita monitor bersama bagaimana jalannya uji coba sistem baru di Jakarta itu. Kalau bisa jalan, sungguh keteraturan mulai bisa dilaksanakan di negara kita. Tentu masih harus dicari jalan lain untuk daerah yang puskesmasnya belum sebaik dan sebanyak di Jakarta. Tapi, direksi Askes juga akan melakukan uji coba yang sama di beberapa daerah.
Yang kelihatannya masih sulit adalah pelaksanaan cita-cita besar para dokter tersebut: mencegah orang sakit. Dana negara kelihatannya belum cukup. Jatah anggaran dari negara untuk meng-Askes-kan 86 juta orang itu baru sekitar Rp 15.000 per orang per bulan. Itu pun sudah menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 1,29 triliun setahun.
Kalau anggaran itu bisa dinaikkan menjadi Rp 25.000 per orang per bulan, sudah bisa dirancang akan ada sejumlah dokter yang tugasnya terus-menerus mengunjungi 86 juta orang tersebut justru sebelum mereka sakit.
Dengan demikian, puskesmas tidak akan kelebihan beban dan rumah sakit juga tidak penuh dengan pasien. Uang yang harus dikeluarkan negara memang lebih besar. Tapi, karena sakit bisa dicegah, pemborosan nasionalnya justru bisa dikurangi.
Meskipun mungkin negara belum bisa memenuhi keinginan itu tahun ini, ide tersebut tidak boleh dikubur. Suatu saat nanti pasti bisa dilaksanakan.
Bagi politisi, tahun ini adalah tahun politik. Banyak politikus yang dag-dig-dug bisa masuk daftar caleg atau tidak. Bagi dokter, tahun ini adalah tahun mempersiapkan era baru sistem pelayanan kesehatan. Juga dag-dig-dug.
Dan bagi PT Askes, tahun ini adalah tahun kerja keras menyiapkan sistem baru. Tidak kalah dag-dig-dugnya.
Ada perekam jantung di Puskesmas Gambir untuk tiga-tiganya. (*)
=========================
MANUFACTURING HOPE 68
Kelas MBA Besar dari Mandiri-Ciputra
Saya terharu panjang pada Minggu lalu di Hongkong. Bahagia. Juga bangga. Dan ikut bergelora.
Lebih dari 500 tenaga kerja wanita (TKW) hari itu menyelesaikan pendidikan entrepreneurship tiga jenjang selama 18 minggu. Sebuah pendidikan yang metode dan pelaksanaannya dilakukan oleh Pusat Entrepreneurship Universitas Ciputra dengan dukungan pembiayaan penuh dari Bank Mandiri.
Mereka tidak hanya diberi pengetahuan bisnis, tapi “dan yang utama” juga dibangkitkan harga dirinya, dimunculkan kemampuan usahanya, dan dihidupkan rasa percaya dirinya.
Mereka juga terus dilatih menuliskan mimpi, mengemukakan mimpi, dan merencanakan untuk melaksanakan mimpi mereka. Mimpi itu harus ditulis dengan amat pendek, ditempel di dinding, dilihat sebelum tidur. Setiap hari. Dan boleh diubah.
Mereka juga dilatih mengemukakan ide dalam pidato tiga menit di depan umum. Di depan kelas. Tidak boleh lebih dari tiga menit. Saya setuju. Pengusaha harus berani bicara, pandai bicara, tapi tidak boleh banyak bicara.
Ketika menyaksikan mereka tampil dengan penuh percaya diri (ada yang bicara dalam bahasa Mandarin, Canton, dan sebagian lagi dalam bahasa Inggris), saya angkat topi kepada para TKW itu. Juga kepada para instruktur yang sudah berhasil membuat mereka berubah.
Antonius Tanan, rektor Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, dan timnya rupanya tidak hanya telah mengajar, tapi lebih-lebih telah memotivasi mereka.
Antonius rupanya berhasil menemukan faktor utama untuk memotivasi mereka: keluarga. Semua wanita yang pergi ke Hongkong untuk menjadi TKW itu adalah mereka yang berjuang untuk keluarga.
Lebih dari dua pertiga yang ikut program itu berstatus ibu rumah tangga. Mereka meninggalkan anak yang masih kecil dan suami masing-masing. Hanya dorongan yang amat kuat untuk memperbaiki ekonomi keluargalah yang membuat mereka rela berpisah bertahun-tahun.
Tentu anak-anak mereka amat sedih karena tumbuh tanpa ibu. Anak-anak itu juga amat rindu pada kasih sayang ibunda. Kesedihan dan kerinduan anak-anak yang ditinggal di kampung itulah yang direkam dalam bentuk video dan diputar di depan kelas. Kelas bisnis itu hening. Lalu, terdengar isak tangis. Mereka menangis. Juga saya. Juga Dirut Bank Mandiri Zulkifli Zaini.
Tapi, di kelas itu Antonius tidak mau menimbulkan kesan bahwa mereka adalah ibu-ibu yang tega. Antonius lebih memberikan gambaran betapa sang ibu sebenarnya juga amat sedih meninggalkan anak-anak kecil mereka. Sang ibu meninggalkan anak-anak itu bukan karena tega, tapi justru demi anak itu sendiri. Demi masa depan mereka. Pendidikan mereka. Meninggalkan anak untuk anak itu sendiri.
Memang kenyataannya banyak ibu yang lantas bergantung pada penghasilan sebagai TKW. Selesai kontrak dua tahun, mereka balik lagi ke Hongkong dua tahun berikutnya. Berikutnya lagi. Begitu seterusnya hingga banyak yang sudah delapan tahun belum juga bisa kembali berkumpul dengan anak.
Bisnislah yang akan bisa membuat mereka kembali berkumpul dengan keluarga. Kerinduan akan keluarga itu harus jadi motivasi utama untuk memulai bisnis.
Ilmu diberikan. Cara disimulasikan. Jalan ditunjukkan. Tabungan ada. Kemampuan dimunculkan. Percaya diri sudah tinggi. Tekad sudah membaja.
Terutama tekad untuk kumpul keluarga.
Melihat semua itu, hari itu saya putuskan tidak jadi pidato. Tidak jadi mengajar. Pidato sudah tidak akan penting lagi. Mereka sudah begitu siap memulai bisnis di kampung masing-masing. Saya hanya menyampaikan keyakinan bahwa mereka bisa.
Dalam bisnis, yang paling sulit adalah memulainya. Sedang mereka sudah sangat siap memulai. Yang juga sulit adalah mengubah sikap dari seorang penganggur atau seorang pekerja menjadi seorang pengusaha. Sedang mereka sudah siap berubah.
Orang yang sulit berubah akan sulit jadi pengusaha. Padahal, mereka adalah orang-orang yang sudah membuktikan bahwa diri mereka pernah membuat perubahan besar dalam hidup masing-masing. Yakni, waktu mereka memutuskan berani meninggalkan kampung halaman untuk pergi ke Hongkong.
Itu adalah sebuah perubahan yang amat besar yang pernah mereka buat. Itu modal penting untuk perubahan berikutnya: dari pekerja ke calon juragan pekerja.
Waktu saya tamat madrasah aliyah (SMA) dan memutuskan meninggalkan kampung halaman di pelosok desa di Magetan untuk merantau ke Kaltim, itulah perubahan terbesar dalam hidup saya. Waktu memutuskan itu, rasanya dunia seperti mau kiamat. Gelap dan kalut. Putuslah semua akar kehidupan. Apalagi harus meninggalkan Aishah.
Padahal, para TKW itu tidak sekadar ke Kaltim yang hanya beda provinsi, melainkan ke negara orang lain dengan bahasa dan budaya yang amat berbeda.
Program Bank Mandiri itu sudah berlangsung tiga angkatan. Berarti sudah 1.500 TKW yang sudah dan siap berubah jadi pengusaha. Lulusan angkatan pertama yang kini sudah jadi pengusaha sapi perah dan resto lesehan di Purwokerto, Kartilah, ditampilkan sebagai role model. Dia juga membawa anaknya yang kini sudah SMA, yang dulu bertahun-tahun ditinggalkannya.
“Waktu saya kembali dari Hongkong, mengakhiri status sebagai TKW, saya tidak langsung pulang,” ujar Kartilah dengan gaya yang sudah benar-benar pengusaha. “Saya langsung ke pasar sapi. Beli sapi,” katanya.
“Kalau pulang dulu, bisa-bisa tertarik beli-beli yang lain dan gagal jadi pengusaha,” tambah Kartilah. Itu menandakan kuatnya motivasi untuk menjadi pengusaha.
Salah seorang peserta program itu, yang juga sudah siap berbisnis di Malang, punya permintaan ke Bank Mandiri: agar ada pendidikan serupa untuk para suami mereka di kampung. Dia khawatir usaha mereka tidak lancar hanya karena suami tidak mendukung.
Program Bank Mandiri tersebut sangat membanggakan. Begitu intensifnya program bisnis itu, sampai-sampai saya merasa tidak sedang di tengah-tengah TKW. Saya lebih merasa sedang dalam kelas MBA yang besar!
“Kami akan lanjutkan program ini,” ujar Zulkifli Zaini. Tepuk tangan bergemuruh.
Bank Mandiri, yang juga memiliki program besar Wirausaha Muda Mandiri untuk mahasiswa, akan terus diberkahi oleh Yang Mahakuasa. Kini labanya mencapai rekor terbesar dalam sejarah Bank Mandiri: Rp 15,5 triliun. (*)
==================================================================
MANUFACTURING HOPE 67
Problem Pedet di Lobi Hotel
HARGA jual pedet (anak sapi) Rp 5 juta per ekor. Untuk menghasilkan satu pedet, seorang peternak menghabiskan uang Rp 9 juta.
Jelaslah: Mana ada petani yang mau memproduksi pedet. Kalau toh di desa-desa kini masih ada orang yang memelihara sapi, itu karena mereka tidak menghitung biaya pakan dan biaya tenaga kerja.
Dua tahun lamanya menghasilkan satu pedet. Dua tahun lamanya petani bekerja mencari rumput serta menjaga dan memandikan sapi, hasilnya sebuah kerugian Rp 4 juta per pedet.
Itulah akar paling dalam mengapa kita kekurangan sapi dan akhirnya harus impor daging sapi setiap tahun. Kesimpulan itu saya peroleh ketika saya mengundang profesor dan ahli peternakan dari berbagai perguruan tinggi pekan lalu: UGM, Undip, Unsoed, Unhas, Universitas Jambi, dan Universitas Udayana. Juga pakar dari LIPI.
Di forum itu juga saya undang praktisi peternak sapi, lembaga-lembaga riset, dan pejabat Kementerian Pertanian.
Dengan kesimpulan itu, saya harus mengakui bahwa program yang saya canangkan tahun lalu belum menjadi senjata pamungkas untuk mengatasi kekurangan daging sapi. Tapi, tanpa program itu, saya tidak akan bisa belajar banyak mengenai inti persoalan selama ini.
Orang memang perlu kebentur tebing untuk bisa belajar yang mendasar. BUMN benar-benar kebentur tebing ketika mencanangkan program Sasa (sapi-sawit) tahun lalu.
Waktu itu saya setengah memaksa agar perusahaan-perusahaan perkebunan sawit milik BUMN ikut memelihara sapi. Membantu program Kementerian Pertanian. Saya minta setidaknya 100.000 sapi digemukkan di perkebunan sawit di Sumatera.
Selama ini, yang saya tahu, peternak sapi kurang bergairah karena harga pakan yang mahal. Problem makanan ternak yang mahal itu teratasi di perkebunan sawit karena sapi bisa diberi makan daun sawit. Gratis.
Setelah program Sasa itu mulai dijalankan, barulah ketahuan: Ada problem yang lebih mendasar. Sulit mencari pedet yang akan digemukkan di kebun-kebun sawit itu.
Semula saya mengira teman-teman BUMN perkebunan merasa setengah hati. Merasa dipaksa. Merasa diberi beban tambahan. Tapi, saya tidak peduli dengan perasaan itu. Yang jelas, saya kecewa, mengapa program 100.000 sapi itu hanya mencapai 20.000.
Tapi, saya harus realistis. Ternyata bukan karena mereka setengah hati. Ternyata karena tidak mudah mencari anak sapi. Membeli 100.000 pedet, biarpun punya uang, ibarat mencari penari gangnam di kalangan penari dangdut.
Bahkan, membeli hanya 20.000 pedet itu pun sudah dianggap mengguncangkan. Harga pasar pedet naik. Peternak kecil yang berbisnis penggemukan sapi merasa dirugikan.
Maka para ahli yang hadir dalam diskusi itu; di antaranya Prof Syamsuddin Hasan (Unhas); Prof Damriyasa (Udayana); Prof Priyo Bintoro dan Prof Sunarso (Undip); Prof Ali Agus (UGM); Dr Ahmad Shodiq (Unsoed); Dr Saitul Fakhri (Universitas Jambi); serta Dr Bess Tiesnamurti, Prof Syamsul Bahri, Prof Kusuma Dwiyanto, dan Ir Abu Bakar (keempatnya dari Kementan); sepakat minta BUMN tidak hanya fokus menggemukkan sapi, tapi juga memproduksi pedet.
Para praktisi peternakan sapi dari berbagai daerah yang hadir juga menyuarakan hal sama. Yang diharapkan bukan BUMN yang membeli pedet peternak, tapi peternak membeli pedet dari BUMN.
Memang juga banyak data yang dipersoalkan hari itu. Terutama data jumlah sapi yang selama ini dianggap benar: 14 juta. Kalau angka itu benar, mestinya impor daging tidak diperlukan lagi.
Demikian juga data produksi dan penyaluran sperma beku untuk perkawinan/pembuahan buatan. Kalau benar data yang terpublikasikan selama ini, mestinya tidak akan kekurangan pedet. Kalaupun perkawinan buatan itu hanya berhasil 60 persennya (teorinya sampai 80 persen), mestinya ada 1,5 juta pedet yang lahir setiap tahun.
Dari diskusi yang intensif tersebut, BUMN harus mau bekerja lebih keras, lebih njelimet, lebih mendasar, dan lebih susah: memproduksi pedet dari kebun-kebun sawit. Dengan menggunakan daun sawit yang gratis, biaya “membuat” satu pedet yang mestinya Rp 9 juta per ekor itu bisa ditekan menjadi Rp 4 juta per ekor.
BUMN juga harus lebih sabar. Kalau menggemukkan sapi sudah bisa menjualnya enam bulan kemudian, memproduksi pedet baru bisa menghasilkan setelah dua tahun.
Ternyata begitu sulit mengurus sapi. Lebih enak kalau tinggal makan dagingnya.
Lebih enak lagi kalau tanpa susah-susah bisa dapat komisi Rp 5.000 per kg daging yang diimpor!
Tidak perlu susah, tidak perlu mencium bau sapi, tidak perlu mencari rumput, tidak perlu mikir. Cukup dengan bekerja di lobi hotel dan di kamar hotel, hasilnya langsung nyata!
“Peternak lobi hotel” seperti itu akan terus tumbuh subur. Impor daging sangat menguntungkan. Harga daging di luar negeri sangat murah. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pernah mengatakan, harga daging di Singapura hanya Rp 45.000 per kg. Bandingkan dengan harga di Jakarta yang Rp 90.000 per kg. Padahal, daging di Singapura itu juga daging impor.
Proses perizinan untuk suatu perdagangan yang menghasilkan laba yang begitu besar tentu tidak sehat. Karena itu, dalam diskusi tersebut kembali dibicarakan ide Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed Hasan Putro ini: Perusahaan yang diberi izin impor daging harus menggunakan sebagian labanya untuk memproduksi pedet di dalam negeri. Entah dengan impor pedet atau impor sapi betina produktif.
Atau dibalik: Perusahaan-perusahaan/koperasi /kelompok tani yang selama ini “berkorban” rugi Rp 4 juta per pedet itulah yang diberi izin untuk impor daging!
Setiap persoalan ada jalan keluarnya. Setiap masalah ada hikmahnya. Tapi, beternak sapi di lobi hotel jelas melanggar sunnatullah yang nyata! (*)
==========================
MANUFACTURING HOPE 66
Simpul-Simpul Terlalu yang Akan Berhadiah
PARA pimpinan PT Jasa Marga (Persero) Tbk belakangan harus memeras otak lebih keras. Dua tugas khusus amat mendesak untuk dicarikan jalan keluar: mengatasi kemacetan di jalan tol dan mengubah sistem pembayaran di pintu-pintu tol.
Begitu khususnya, sampai-sampai hampir seminggu sekali saya tagih kemajuannya.
Diinvestarisasi di titik mana saja kemacetan itu terjadi dengan parahnya. Ada dua jenis kemacetan. Yang bisa diselesaikan cepat dengan langkah yang sederhana dan yang harus melalui jalan yang panjang. Maka, fokus diberikan kepada yang bisa cepat-cepat dilakukan.
Misalnya, kemacetan di jalan layang Tomang dari arah Kebon Jeruk. Ternyata, banyak lubang di ketinggian yang sulit dijangkau itu. Aneh juga, di ketinggian seperti itu bisa banyak lubangnya. Akibatnya, semua kendaraan melakukan pengereman mendadak. Macet.
Sudah berbulan-bulan lubang-lubang tersebut tidak tertangani karena tidak adanya laporan. Malam itu juga, Kamis malam lalu, semua lubang tersebut ditutup.
Tapi, untuk mengatasi kemacetan yang parah dari arah Kebon Jeruk ke Tomang setiap pagi (dan sebaliknya setiap sore), persoalannya lebih rumit. Memang ada hope, tapi harus menunggu selesainya jalan tol ruas Ulujami–Kebon Jeruk. Jalan tol itu sudah selesai dibangun, kecuali yang 2,3 km yang tersendat oleh urusan tanah.
Saya akan menemui Pak Jokowi untuk minta bantuan beliau. Bukan saya tidak mau turun tangan, tapi urusannya memang hanya bisa diselesaikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Apalagi, pemilik jalan tol Ulujami–Kebon Jeruk itu adalah perusahaan daerah DKI (40 persen) dan Jasa Marga (60 persen). Semoga gubernur baru bisa lebih bikin gol daripada pejabat sebe-lumnya.
Yang juga parah adalah sumbatan di Halim. Kendaraan yang semula mengalir deras, empat lajur dari arah Bekasi ke Semanggi, tiba-tiba menyempit tinggal satu lajur di Halim. Bisa dibayangkan betapa macetnya.
Semula dianggap tidak akan ditemukan jalan keluar untuk persoalan itu. Tidak mungkin menambah ruas di situ. Tidak ada lahan. Sebelah jalur tersebut sudah berupa jalan raya arteri yang lalu lintasnya juga padat. Tidak mungkin jalan arteri itu ditutup untuk perluasan jalan tol.
Tapi, sumbatan di Halim itu benar-benar ♫♫t.e.r.l.a.l.u!♫♫. Karena itu, saya minta terus dipikirkan. Sampai-sampai, sejumlah staf Jasa Marga hanya bertugas duduk di atas bukit kecil di dekat sumbatan itu berhari-hari. Untuk menemukan inspirasi cara apa yang bisa ditempuh.
Akhirnya ditemukan! Bukit di dekat tempat mencari inspirasi itu dikepras. Dibikinkan turap agar tidak longsor. Lalu dibuat jalan baru sepanjang 600 meter. Jalan baru itulah yang disiap-kan untuk menjadi jalan arteri pengganti. Sedangkan jalan arteri yang asli ’’diminta’’ untuk dijadikan lajur tambahan jalan tol.
Inspirasi itu langsung diwujudkan. Siang-malam pengeprasan bukit dan pembuatan jalan arteri dikerjakan. Dalam tiga bulan sudah jadi. Saya sangat menghargai kesigapan Jasa Marga di sini. Juga ide briliannya. Minggu lalu jalur baru tersebut sudah bisa digunakan.
Kini kendaraan dari empat lajur dari arah Bekasi yang semula menjadi satu lajur sudah bisa menjadi dua lajur. Agak lega. Sementara. Derasnya pertambahan kendaraan yang masuk jalan tol akan membuat kelegaan itu tidak akan lama.
Dari arah Cibubur menuju Semanggi juga menyebalkan. Tapi, hanya perubahan kecil yang bisa dilakukan: pemasangan rubber cone untuk mendisiplinkan kendaraan. Selama ini lajur kendaraan dari arah Cibubur menuju Semanggi sering ’’diserobot’’ truk dari arah Cibubur menuju Priok. Dengan pemasangan rubber cone baru itu (juga sudah berfungsi seminggu yang lalu), kesesakan menuju Semanggi berkurang.
Hanya berkurang. Tetap sesak napas tapi sudah berkurang. Sudah berkurang tapi tetap sesak napas. Bahkan, yang ke arah Priok justru lebih sesak.
Hope untuk jalur dari arah Cibubur itu baru datang setahun lagi. Menunggu berfungsinya jalan tol dari Kawasan Berikat Nusantara (KBN) ke Tanjung Priok. Jalan tol baru tersebut sekarang sedang dikerjakan. Pekerjaan lagi dikebut. Tapi, tetap tidak bisa seperti sulapan.
Tahun depan, kalau jalan tol KBN–Priok itu selesai, truk-truk dari arah Cibubur tidak boleh lagi melewati Cawang. Kendaraan-kendaraan besar tersebut dari arah Cibubur harus belok ke Cikunir menuju jalan tol baru itu.
Kalau Anda ke Priok dan melihat pekerjaan jalan tol dengan tiang-tiang penyangga yang amat tinggi, itulah jalan yang saya maksud. ’’Ini bisa mengurangi arus kendaraan dari Cibubur menuju Cawang sampai 30 persen,’’ kata Adityawarman, Dirut Jasa Marga.
Titik menyesakkan lain yang juga sulit ditemukan hope-nya adalah kemacetan dari arah Cawang menuju Kuningan. Saya tagih terus. Kapan ide brilian di ruas itu bisa ditemukan.
’’Sebetulnya ada ide yang cespleng,’’ ujar Adityawarman, orang Palembang yang suka bicara bahasa Jawa tersebut. Apa itu” ’’Pintu masuk tol di dekat Bukopin (dari arah Cawang) itu ditutup,’’ ungkapnya.
Jalan tolnya pasti bisa lebih longgar, tapi jalan arterinya akan kian padat. Persoalannya bukan di situ. Menutup pintu tol harus izin sampai ke tingkat presiden. Dan lagi, masyarakat sekitar Cawang yang ingin masuk tol menjadi harus sabar sampai setelah Kuningan.
Saya minta, ide itu jangan dimatikan. Kalau memang tidak ada lagi ide yang lebih brilian, apa salahnya kalau izin penutupan tersebut diurus. Tapi, memang harus dipertimbangkan baik-baik. Kalau perlu libatkan masyarakat. Bahkan, Jasa Marga boleh saja mengadakan lomba terbuka. Siapa pun yang bisa menyumbangkan ide brilian untuk penyelesaian kemacetan itu akan diberi hadiah yang besar. Khusus untuk jalan tol. Bukan jalan umum. Jalan umum di luar wewenang BUMN.
Kita menyadari, tiap titik kemacetan memerlukan ide segar. Satu orang bisa saja menyumbangkan ide untuk mengatasi kemacetan di beberapa titik sekaligus. Jasa Marga menyediakan hadiah. Tiap satu ide yang bisa diterapkan akan mendapat hadiah Rp 100 juta.
Sekali lagi, syaratnya, bisa dilaksanakan. Bukan ide yang tidak bisa dilaksanakan. Harus sekelas ide di Halim tadi. Tunggu pengumumannya dari Jasa Marga.
Intinya, sesulit apa pun persoalan kita, kita tidak boleh menyerah. Termasuk, kesulitan memperbaiki sistem di gerbang tol. Setelah enam bulan tidak henti-hentinya saya tagih, akhirnya ditemukan sistem perbaikan itu.
Tanggal 6 Maret bulan depan, sistem pass-through yang benar-benar pass-through mulai difungsikan. Di tiga gerbang tol ke arah Cengkareng dulu. Yang lain-lain menyusul.
Selama ini, pemilik mobil yang sudah memasang alat pass-through pun tetap harus menghentikan mobilnya di pintu tol. Menunggu bunyi ’’tiiiiiit…’’. Baru palang pintunya membuka.
Padahal, di negara-negara lain, yang namanya pass-through, ya tidak perlu mobilnya berhenti dulu! Ini yang beberapa kali saya nilai sebagai sistem yang primitif.
Mengatasinya ternyata tidak sederhana. Itu karena menyangkut kontrak antara dua perusahaan. Untung dua-duanya BUMN: Jasa Marga dan Bank Mandiri. Maka, saya tugaskan pejabat tinggi Kementerian BUMN, Dr Ir Irnanda Laksanawan, untuk mengoordinasikan dan mencarikan terobosan.
Irnanda lantas melibatkan BUMN yang lain, PT Telkom dan PT LEN Industri. Berhasil. Setelah pemasangan di tiga titik tanggal 6 Maret nanti, akan terus dilakukan langkah yang sama di pintu-pintu tol yang lain. Dengan demikian, kita tidak malu lagi: masak membuat pintu tol seperti di luar negeri saja tidak bisa.
Memang masih ada persoalan: harga alat yang harus dipasang di dalam mobil itu masih terlalu mahal (menurut banyak orang): Rp 650.000. Akibatnya, masih sedikit kendaraan yang mau memasang peralatan pass-through. Itulah yang saya minta untuk dicarikan jalan keluarnya. Salah satunya dengan cara memproduksinya di dalam negeri. PT LEN sudah sanggup mengerjakannya. Alhamdulillah.
Dan saya tidak perlu lagi melempar kursi. (*)
MANUFACTURING HOPE 65
Membersihkan Gorong-Gorong Buntu di Otak
SAMBIL mengambil pisau bedah, Dokter Terawan mulai menyanyikan lagu kesukaannya, “ Di Doa Ibuku”. Suaranya pelan, tapi sudah memenuhi ruang operasi itu.
Saya berbaring di depannya, di sebuah ruang operasi di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Jumat pagi lalu. Peralatan operasi sudah disiapkan dengan rapi. Para perawat juga sudah berada di posisi masing-masing.
Sebenarnya saya tidak dalam keadaan sakit. Juga tidak punya keluhan apa pun. Hanya, saya memang sudah lama ingin melakukan ini: cuci otak. Sejak masih jadi direktur utama Perusahaan Listrik Negara dulu. Ke-inginan itu tertunda terus oleh kesibukan yang padat, terutama setelah menjadi menteri BUMN. Bahkan, keinginan untuk coba-coba melakukan stem cell pun tertunda sampai sekarang.
Mencoba merasakan cuci otak ini bisa dianggap penting, bisa juga tidak. Saya ingin mencobanya karena ini merupakan metode baru untuk membersihkan saluran-saluran darah di otak. Agar terhindar dari bahaya stroke atau perdarahan di otak. Dua bencana itu biasanya datang tiba-tiba. Kadang tanpa gejala apa-apa. Dan bisa menimpa siapa saja.
Saya tahu, metode cuci otak Dokter Terawan ini masih kontroversial. Pendapat kalangan dokter masih terbelah. Masih banyak dokter yang belum bisa menerimanya sebagai bagian dari medical treatment.
Pengobatan model Dokter Terawan, ahli radiologi yang berumur 48 tahun, yang berpartner dengan Dokter Tugas, ahli saraf yang berumur 49 tahun, ini masih terus dipersoalkan. Dia masih sering “diadili” di rapat-rapat profesi kedokteran.
Saya terus mengikuti perkembangan pro-kontra itu. Termasuk ingin tahu sendiri secara langsung seperti apa cuci otak itu. Dengan cara menjalaninya. Kesempatan itu pernah datang, tapi beberapa kali tertunda. Sebab, ada pasien yang lebih mendesak untuk ditangani. Sebagai orang sehat, saya harus mengalah.
Kamis malam lalu kesempatan itu datang lagi. Seusai sidang kabinet di istana, saya langsung masuk RSPAD Gatot Subroto. Berbagai pemeriksaan awal dilakukan malam itu: periksa darah, jantung, paru-paru, dan MRI. Dan yang juga penting dilakukan Dokter Tugas adalah ini: pemetaan saraf otak.
Beberapa tes dilakukan. Untuk mengetahui kondisi saraf maupun fungsi otak.
Keesokan harinya, pagi-pagi, saya sudah bisa menjalani cuci otak di ruang operasi. Saya sudah tahu apa yang akan terjadi karena dua minggu sebelumnya istri saya sudah lebih dulu menjalaninya. Saat itu saya menyaksikan dari layar komputer.
Cuci otak ini dimulai dengan irisan pisau di pangkal paha. Saat mengambil pisau, seperti biasa, adalah saat dimu-lainya Dokter Terawan menyanyikan lagu kesukaannya, Di Doa Ibuku.
Perhatian saya pun terbelah: mendengarkan lagu itu atau siap-siap merasakan torehan pisau ke pangkal paha yang tidak dibius. Tiba-tiba Dokter Terawan mengeraskan suaranya yang memang merdu. Saya pun kian memperhatikan lagu itu.
Saat puncak perhatian saya ke lagu itulah, rupanya Dokter Terawan menorehkan pisaunya. Tipuan itu berhasil membuat rasa sakit hanya melintas sekilas.
Dan Dokter Terawan terus menyanyi:
Di waktu masih kecil
Gembira dan senang
Tiada duka kukenang
Di sore hari nan sepi
Ibuku berlutut
Sujud berdoa
Kudengar namaku disebut
Di doa ibuku
Sebuah lagu yang isinya kurang lebih saya alami sendiri saat saya masih kecil, sebelum ibu saya meninggal saat saya berumur 10 tahun. Otomatis perhatian saya ke lagu itu. Itulah cara Dokter Terawan membius pasiennya.
Saya jadi teringat saat memasuki ruang operasi menjelang ganti hati enam tahun lalu di RS Tianjin, Tiongkok. Ruang operasi dibuat ingar-bingar oleh lagu rock yang lagi top-topnya saat itu di sana: Mei Fei Se Wu, yang berarti bulu mata menari-nari. Sebelum lagu berbahasa Mandarin itu berakhir, saya sudah tidak ingat apa-apa lagi: Saya dimatikan selama 13 jam.
Demikian juga Dokter Terawan. Sambil terus menyanyikan Di Doa Ibuku, dia mulai memasukkan kateter dari luka di pangkal paha itu. Lalu mendorongnya menuju otak. Kateter pun terlihat memasuki otak kanan. “Sebentar lagi akan ada rasa seperti mint,” ujar Terawan.
Benar. Di otak dan mulut saya terasa pyar yang lembut disertai rasa Mentos yang ringan.
Itulah rasa yang ditimbulkan oleh cairan pembasuh yang disemprotkan ke saluran darah di otak.
“Rasa itu muncul karena sensasi saja,” katanya.
Hampir setiap dua detik terasa lagi sensasi yang sama. Berarti Dokter Terawan menyemprotkan lagi cairan pembasuh lewat lubang di dalam kateter itu. Saya mulai menghitung berapa pyar yang akan saya rasakan. Kateter itu terus menjelajah bagian-bagian otak sebelah kanan. Pyar, pyar, pyar. Lembut. Mint. Ternyata sampai 16 kali.
Begitu dokter mengatakan pembersihan otak kanan sudah selesai, saya melirik jam. Kira-kira delapan menit.
Kateter lantas ditarik. Ganti diarahkan ke otak kiri. Rasa pyar-mint yang sama terjadi lagi. Saya tidak menghitung. Perhatian saya beralih ke pertanyaan yang akan saya ajukan seusai cuci otak nanti: Mengapa dimulainya dari otak kanan?
Usai mengerjakan semua itu, Terawan menjawab. “Karena terjadi penyumbatan di otak kiri Bapak,” katanya.
Hah! Penyumbatan? Di otak kiri? Mengapa selama ini tidak terasa? Mengapa tidak ada gejala apa-apa? Menga-pa saya seperti orang sehat 100 persen?
Dokter Terawan, kolonel TNI-AD yang lulusan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta dengan spesialisasi radiologi dari Universitas Airlangga Surabaya itu, lantas menunjuk ke layar komputer. “Lihat sebelum dan sesudahnya,” ujar Terawan.
Sebelum diadakan pencucian, satu cabang saluran darah ke otak kiri tidak tampak di layar. “Mestinya bentuk sal-uran darah itu seperti lambang Mercy. Tapi, ini tinggal seperti lambang Lexus,” katanya.
Setiap orang ternyata memiliki lambang Mercy di otaknya. “Nah, setelah yang buntu itu dijebol, lambang Mercy-nya sudah kembali,” katanya sambil menunjuk layar sebelahnya. Jelas sekali bedanya.
Karena saluran yang buntu itu, beban gorong-gorong di otak kanan terlalu berat. “Lama-lama bisa terjadi pembengkakan dan pecah,” katanya. “Lalu terjadilah perdarahan di otak,” tambahnya.
Alhamdulillah. Puji Tuhan. Saya pun langsung teringat Pak Sumaryanto Widayatin, deputi menteri BUMN bidang infrastruktur dan logistik yang hebat itu. Yang juga ketua alumni ITB itu. Yang idenya banyak itu. Yang terobosan birokrasinya tajam itu. Sudah hampir setahun terbaring tanpa bisa bicara dan hanya sedikit bisa menggerakkan anggota badan.
Saluran darah ke otaknya pecah justru di tengah tidurnya menjelang dini hari. Saya sungguh menyesal tidak menyarankannya ke Terawan sebelum itu. Penyesalan panjang yang tidak berguna. Kini, setelah perawatan yang panjang oleh istrinya yang hebat, Pak Sum memang terlihat kian segar dan pikirannya tetap hidup bergairah, tapi masih perlu banyak waktu untuk bisa bicara.
Setelah cuci otak ini berhasil membersihkan gorong-gorong yang buntu, saya kembali ke kamar. Kaki tidak boleh bergerak selama tiga jam. Tapi, sore itu saya sudah bisa terbang ke Surabaya. Untuk merayakan Imlek bersama masyarakat Tionghoa dan besoknya mengadakan khataman Alquran bersama para hufadz di rumah saya.
Tiap hari Dokter Terawan sibuk dengan antrean yang panjang. Ada yang karena sakit, ada juga yang karena ingin tetap sehat.
Bagi yang cito, akan langsung ditangani. Tapi, bagi yang sehat, antrenya sudah mencapai tiga bulan. Sebab, hanya sekitar 15 orang yang bisa ditangani setiap hari. Lebih dari itu, bisa-bisa Terawan sendiri yang akan mengalami perdarahan di otaknya.
Belum diterimanya metode itu oleh dunia kedokteran di seluruh dunia membuat gerak Terawan terbatas. Misalnya tidak bisa secara terbuka mengajarkan ilmunya itu ke dokter-dokter lain agar antrean tidak terlalu panjang. Sampai hari ini, baru dialah satu-satunya di dunia yang bisa melakukan cara itu.
Kalau profesi dokter tidak segera bisa menerima metode itu, jangan-jangan Persatuan Insinyur Indonesia yang akan segera mengakuinya. Anggap saja Terawan ahli membersihkan gorong-gorong yang buntu. Hanya, gorong-gorong itu letaknya tidak di Bundaran HI. (*)
MANUFACTURING HOPE 64
Meninggalkan Eksotisme, Menuju Kekuatan Tropikal
KETIKA buah impor dari RRT membanjiri pasar Indonesia, apa yang harus kita perbuat? Mencegah saja dengan cara melarang atau mengenakan bea masuk yang tinggi tentu tidak cukup. Apalagi, ada ketentuan internasional yang tidak sembarangan bisa dilanggar.
Mengimbau agar tidak menyajikan buah impor memang baik, tapi juga belum cukup. Bersumpah untuk tidak makan buah impor seperti yang dilakukan dengan gagah berani oleh Bupati Kulonprogo yang dokter itu memang heroik, tapi juga masih perlu jutaan hero lainnya.
Apa yang bisa dilakukan BUMN? Sebagai korporasi besar, BUMN bisa membantu banyak. Melalui aksi-aksi korporasi yang nyata. Misalnya terjun ke agrobuah secara besar-besaran dengan pendekatan korporasi.
Indonesia sebenarnya tidak perlu bersaing frontal dengan Tiongkok. Terutama di bidang buah. Dua negara besar itu bisa ambil posisi saling isi dan saling melengkapi. Tiongkok dengan empat musimnya memiliki kelemahan pokok: tidak mungkin bisa memproduksi buah tropis. Sebaliknya, Indonesia, negara tropis yang terbesar di dunia, bisa menghasilkan buah tropis seberapa banyak pun.
Maka, ketika Indonesia menjadi pasar buah impor dari Tiongkok, pada dasarnya yang masuk ke Indonesia adalah sebatas buah nontropis: apel, anggur, jeruk, pir, dan seterusnya. Seharusnya kita juga bisa menjadikan Tiongkok sebagai pasar yang besar untuk buah-buah tropis dari Indonesia: pisang, manggis, durian, avokad, dan seterusnya. Tiongkok tidak mampu menghasilkan jenis buah-buah tersebut.
Sayangnya, kita hanya bisa marah melihat kenyataan membanjirnya buah impor. Padahal, sebenarnya kita bisa berbuat banyak tanpa harus marah.
Kadang kita sudah sangat bangga dengan menyebutkan bahwa kita memiliki kekayaan buah-buah tropis yang eksotis. Gelar eksotis itu memang memabukkan, tapi juga membelenggu. Dengan gelar eksotis, berarti kita akan mempertahankan jumlahnya yang terbatas. Ibarat menjual daerah wisata, ini adalah wisata penyelaman. Menarik, tapi terbatas. Tidak bisa masal.
Maka, memasalkan buah tropis adalah kunci penting untuk bisa membalas menyerbu Tiongkok. Kita tidak bisa menyerbu Tiongkok dengan gelar eksotis itu.
Suatu saat saya mengunjungi pasar induk yang raksasa di Guangzhou. Saya masuk ke zona buah-buahan di pasar induk itu. Saya mencari di blok mana ada manggis. Saya mengelilingi berblok-blok pasar induk itu. Saya mengamati ratusan kontainer yang penuh berbagai buah Thailand di situ. Saya tidak menemukan manggis dan buah dari Indonesia lainnya.
Setelah berjam-jam di situ, saya baru menemukan manggis yang hampir saja tidak kelihatan karena hanya satu peti kayu kecil. Saya bolak-balik peti itu. Betul. Manggis Indonesia. Saya temukan pengirimnya: Denpasar, Bali.
Saya juga sudah mengunjungi pasar induk di Qingdao, Shandong. Juga di Tianjin. Sama. Tidak ada buah tropis dari Indonesia.
Pengalaman itu terus terbayang memenuhi pikiran saya. Maka, ketika saya diangkat menjadi menteri BUMN, saya terus memikirkan apa yang bisa diperbuat. Sampai suatu ketika saya mendapat tamu istimewa: Rektor IPB Prof Dr Herry Suhardiyanto MSc dan serombongan doktor dari kampus di Bogor itu.
Pak Rektor mengajukan ide buah tropis. Wow! Ini dia! Tumbu ketemu tutup!
Langsung saya ceritakan pengalaman saya itu. Hari itu juga keputusan diambil: BUMN bekerja sama dengan IPB mengembangkan buah tropis besar-besaran.
Ahli-ahli IPB dan Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB Prof Dr Ir Sobir MSi menyusun konsep ilmiah dan kajian pelaksanaannya. Termasuk memilih buah tropis apa saja yang akan dikembangkan.
Saya minta fokus saja pada tiga atau empat jenis buah dulu. Jangan menanam semua jenis sehingga kehilangan fokus.
Setelah tiga kali pertemuan, disepakati mengembangkan tiga jenis dulu: manggis, durian, dan pisang. IPB sudah memiliki ahli manggis yang cukup kuat di bawah koordinasi Dr Ir Sobir. Tim Dr Sobir itu sudah menyiapkan jenis-jenis manggis unggulan. Juga durian unggulan.
Tahun ini juga pengembangan buah tropis berbasis korporasi itu harus sudah dimulai. Lokasi awalnya di Jawa Barat di bawah PTPN VIII. Saat tim IPB menyiapkan kajian, direksi PTPN VIII di bawah pimpinan Dirut-nya, Ir Dadi Sunardi, menyiapkan lahannya.
Penanaman buah tropis itu tidak akan tanggung-tanggung. Tanaman manggisnya akan mencapai 3.000 hektare (ha). Duriannya juga 3.000 ha. Pisangnya kurang lebih sama.
Kalau program itu nanti berhasil, inilah perkebunan khas Indonesia, konsep Indonesia, dan untuk kepentingan Indonesia. Semua perkebunan yang ada selama ini adalah konsep Belanda, oleh Belanda, dan untuk Belanda: teh, gula, sawit, karet, tembakau na-oogst. Belanda tidak mewariskan perkebunan buah tropis untuk kita.
Kian tahun perkebunan buah tropis tersebut harus kian besar. Juga kian luas jangkauannya. Mulai Medan sampai Papua. Dengan demikian, pasokannya kian panjang.
Menurut ahli dari IPB, ketika wilayah Medan memasuki masa panen, kebun di Sumsel baru berbuah dan kebun di Jawa baru berbunga. Medan habis panen, Sulawesi baru kuncup. Begitulah. Berputar hampir sepanjang tahun. Panjangnya wilayah Indonesia bisa membuat masa panennya pun panjang.
Teman-teman di PTPN VIII kini lagi kerja keras menyiapkan sebuah perubahan besar. Dari hanya mengelola teh dan karet, kini harus ahli juga menanam manggis, durian, dan pisang.
Bagi IPB, ini juga bersejarah! Menemukan model dan jenis perkebunan khas Indonesia demi Indonesia! Karena itu, IPB akan me-launching program itu dalam sebuah acara besar di Bogor.
Saatnya negara tropis memiliki kekuatan buah tropikalnya! Lupakan kebanggaan eksotisnya! Nikmati kekuatan serbunya! (*)
MANUFACTURING HOPE 63
Ada Thabrani di Gracilaria, Ada Hamzah di Cottonii
BREBES, malam Minggu, pukul 22.00. Para petani rumput laut di Desa Randu Sanga masih bersila di halaman rumah tokoh masyarakat setempat. Laki-laki dan perempuan. Tua dan muda. Resminya, mereka menghadiri acara rutin keagamaan yang disebut Pengajian Padang Bulan. Saya pikir akan ada pemilik merek “Padang Bulan” Emha Ainun Nadjib di situ. Ternyata nama padang bulan sudah begitu generiknya.
Inilah pengajian yang tema pokok bahasannya adalah rumput laut. Bukan ditinjau dari segi agama, tapi bagaimana rumput laut menyejahterakan seluruh masyarakat Desa Randu Sanga yang dulu dikenal sebagai desa nelayan yang miskin.
Ada dua jenis rumput laut. Yang di Brebes ini, sebagaimana juga yang ada di daerah-daerah sebelahnya seperti Cirebon dan Indramayu, rumput lautnya disebut gracilaria. Bentuknya lebih kecil seperti rumput jepang dan kegunaan utamanya untuk agar-agar. Pasarnya sangat luas. Berapa pun akan terserap.
Dulu para petani tambak di Randu Sanga hanya mengandalkan hidupnya dari memelihara bandeng dan udang. Panennya hanya enam bulan sekali. Kalau penyakit ikan lagi datang, sangat menderita. Tidak bisa panen.
Untung, ada orang bernama Thabrani di Randu Sanga. Pendidikannya S-2 dan kini mengejar gelar doktor. Dia mendapat ilmu bahwa tambak tersebut bisa ditumpang sari dengan rumput laut jenis gracilaria. Dia sendiri, dari warisan orang tuanya, memiliki 15 ha tambak.
Saat itu Thabrani baru terkena musibah. Udangnya terkena penyakit dan panennya gagal total. Mulailah dia tergerak untuk memikirkan rumput laut. Dia tebar benih rumput laut. Hidup. Berkembang. Seluruh tambaknya penuh dengan rumput laut.
Hasilnya di luar dugaannya: Berkat rumput laut itu, bandengnya lebih cepat besar dan tidak terkena penyakit. Demikian juga udangnya. Dalam waktu yang sama bandengnya bisa tumbuh dua kali lipat lebih cepat.
Rumput lautnya sendiri bisa dipanen tiap dua bulan. Dijemur. Sampai mencapai tingkat kekeringan 16 persen. Dijual. Banyak pabrik agar-agar yang membelinya.
Dengan demikian, Thabrani dapat uang tiap dua bulan. Tidak lagi hanya punya uang tiap enam bulan. Dengan tambak yang sama, hasilnya menjadi berlipat.
Dua tahun lamanya Thabrani sendirian. Tidak ada tetangga yang mau mengikuti jejaknya. Padahal, Thabrani sudah berusaha merayu mereka. Kebiasaan turun-temurun memang sulit diubah.
Tapi, Thabrani tipe pejuang yang gigih. Dia tidak henti-henti mengajak petani lain mengikuti jejaknya. Bahkan, untuk meyakinkan mereka, Thabrani menjamin akan membeli rumput laut yang mereka hasilkan. Jaminan seperti itu yang kelak, di tahun 2012, membuat dia dikenal sebagai pengepul rumput laut terbesar.
Setelah ada jaminan itu, barulah satu per satu tetangganya tertarik. Kini, lima tahun kemudian, seluruh tambak di Randu Sanga sudah menjadi tambak three in one: bandeng, udang, dan rumput laut. “Bahkan, hasil rumput lautnya lebih besar dari hasil bandeng ditambah udang sekalipun,” ujar Thabrani.
Thabrani melangkah lebih jauh. Tiga tahun lalu dia mendirikan sekolah menengah kejuruan rumput laut. Dia ingin penduduk desanya menanam rumput laut dengan ilmu pengetahuan. Malam Minggu kemarin itu saya diajak Thabrani menghadiri pengajian tersebut. Tapi, sebenarnya sayalah yang harus belajar di situ. Apalagi, Thabrani tidak berkeberatan kalau semangatnya itu ditularkan juga ke petani-petani tambak di seluruh pantai utara Jawa. Di pusat-pusat nelayan yang miskin.
Thabrani senang sekali melihat warganya kian sejahtera. Dia pun membuat gerobak pengangkut rumput laut yang bisa dijalankan di sela-sela tambak. Malam itu dia berbagi gerobak ke banyak petambak di situ gerobak yang dia beri nama DI 99. Bahkan, saking senangnya, malam itu Thabrani dalam fungsinya sebagai pengumpul rumput laut mengumumkan kepada warganya akan meningkatkan harga rumput laut dari Rp 4.000 per kg menjadi Rp 4.500 per kg.
Tentu itulah pengajian yang paling menyenangkan warga Randu Sanga. Ilmu-ilmu rumput laut dibeberkan malam itu. Apalagi, ada bonus kenaikan harga. Untung, ada Ki Dalang Enthus Susmono yang datang bersama saya. Di akhir acara Enthus memberikan tausiah agama. Enthus ternyata sangat piawai, tidak hanya dalam memainkan wayang, tapi juga sebagai pendakwah.
Kabar baik rupanya tidak hanya untuk petani rumput laut jenis gracilaria. Petani rumput laut jenis cottonii pun sebaiknya juga membaca kabar ini: Hamzah, anak muda dari Lawang, Jawa Timur, sudah berhasil mendirikan pabrik pengolah rumput laut cottonii menjadi karagenan. Yakni, tepung rumput laut yang kegunaannya bukan untuk agar-agar, tapi untuk kosmetik, bahan odol, kapsul obat, kue, bakso, dan seterusnya.
Kue-kue Jepang yang begitu lembut dan tidak bisa mengeras itu menggunakan tepung karagenan. Odol yang menggunakan karagenan tidak akan bisa kering meskipun tutupnya terbuka. Bakso yang menggunakan tepung karagenan memiliki kekenyalan yang sempurna.
Selama ini Indonesia hanya bisa mengekspor rumput laut jenis cottonii itu. Lalu, Indonesia mengimpor karagenan besar-besaran. Kenyataan itulah yang menggundahgulanakan pikiran Hamzah. Sebagai sarjana teknik mesin yang tidak henti-henti berpikir, Hamzah bertekad menciptakan mesin yang bisa mengubah rumput laut menjadi karagenan. Pabrik pembuat karagenan itu menggunakan banyak prinsip: kimia, fisika, mekanis, hidraulis, dan elektronik.
Setahun yang lalu, ketika saya menemui Hamzah, dia belum yakin apakah penemuannya akan berhasil. Tapi, saya terus mendorongnya untuk tidak menyerah. Dia minta waktu satu tahun untuk membuktikannya. Sebenarnya, seperti biasa, saya tidak sabar. Tapi, saya memaklumi tingkat kesulitannya. Apalagi, itu mesin yang terkait dengan makanan. Harus memenuhi kriteria dan standar yang lebih tinggi. Dan itu mesin pertama yang dilahirkan di Indonesia oleh anak muda Indonesia.
Saya terus berkomunikasi dengan Hamzah. Saya terus memonitor perkembangannya. Akhirnya saya dapat kabar baik. Minggu lalu uji coba pabriknya di Pasuruan dan berhasil. Benar-benar bisa menghasilkan karagenan. Dengan mutu yang tidak kalah dengan karagenan impor. Bahkan sedikit lebih baik.
Pabriknya memang kecil. Hanya bisa mengolah rumput laut jenis cottonii sebanyak 5 ton sehari. Tapi, 5 ton adalah jumlah yang sudah bisa dipakai untuk menampung hasil rumput laut satu kabupaten. Misalnya Kabupaten Bulukumba di Sulsel.
Rumput laut jenis cottonii, sebagaimana rumput laut di Brebes, memang pilihan yang tepat untuk meningkatkan pendapatan para nelayan yang umumnya miskin. Lebih-lebih kalau lagi musim tertentu, ketika mereka tidak bisa melaut. Bank BRI kini telah membina nelayan rumput laut cottonii di Bulukumba, tapi ya baru sebatas untuk dijual ke pedagang.
Kini, dengan penemuan teknologi oleh putra bangsa kita yang bernama Hamzah itu, rumput laut kian mendapat muara di hilirnya. Pembinaan untuk nelayan rumput laut kini bisa lebih dimasalkan, termasuk oleh BUMN. Inilah senjata untuk mengentas kemiskinan di wilayah nelayan. Di samping mendapat hasil dari ikan, dalam waktu yang bersamaan nelayan juga mendapat uang dari rumput laut.
Sebagaimana yang saya lihat di Bulukumba, para nelayan di sana mulai bersemangat menanam rumput laut cottonii. Memang lebih rumit jika dibandingkan dengan rumput laut jenis gracilaria. Tapi, laut-laut tertentu memang hanya cocok untuk rumput laut tertentu. “Di sini, kalau seorang nelayan bisa menanam rumput laut 2.000 bentangan, sudah cukup untuk hidup dan menyekolahkan anak,” ujar seorang nelayan di Bulukumba.
Begitu banyak jalan untuk meningkatkan kehidupan. Mulai banyak pilihan yang tersedia di depan kita. Tinggal kapan kita harus terus kerja, kerja, kerja! (*)
MANUFACTURING HOPE 62
Dari Buli, Ria Berdikari Ingin Angkat Harga Diri
TIBA di lokasi ini saya diberi pilihan: naik jip atau sepeda motor trail. Hati ingin memilih trail, tapi otak mengatakan jangan. Udara lagi sangat panasnya. Matahari sangat teriknya.
Saya pun menunjuk mobil setengah tua yang rodanya cocok untuk off-road itu. “Tapi, harus saya yang nyetir,” ujar wanita muda berjilbab putih dan bercelana jins itu. “Di sini tidak ada tebing yang bisa ditabrak,” tambahnya.
Saya tahu wanita itu lagi menyindir saya yang suka mengemudikan mobil sendiri dan baru saja menabrakkan mobil listrik Tucuxi ke tebing terjal di Magetan.
Hari itu, Senin minggu lalu, saya memang ingin mengelilingi ranch besar milik BUMN yang sudah lama telantar. Yakni, lahan peternakan sapi seluas 6.000 ha milik PT Berdikari United Livestock (Buli), anak perusahaan PT Berdikari (Persero). Lokasinya di Desa Bila, tidak jauh dari Danau Tempe di Kabupaten Sidenreng Rappang (lazim disingkat Sidrap), Sulawesi Selatan.
Sudah lama ranch tersebut begitu-begitu saja. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan ranch yang ada di Sumba, yang luasnya juga sekitar 6.000 ha. PT Berdikari sudah lama tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan saja tidak bisa membantu program pemerintah di bidang peternakan, bahkan justru terlalu bergantung kepada pemerintah. Wajah PT Berdikari adalah wajah yang muram. Karena itu, awal tahun lalu direksinya diganti.
Sebagaimana juga di Sumba, sebenarnya ingin sekali saya bermalam di Bila. Tapi, ternyata tidak perlu. PT Buli sudah mulai bergerak dengan konsep yang jelas. Tanda-tanda kehidupan mulai tampak di daerah yang terletak sekitar lima jam naik mobil dari Makassar itu.
Wanita berjilbab putih itu dengan tangkas segera naik mobil dan men-gendalikan kemudi. Dialah Ir Ria Kusumaningrum, yang tahun lalu diangkat jadi direktur PT Buli. Ria adalah lulusan Fakultas Peternakan IPB tahun 2004.
Ria sangat tangkas mengemudi. Saya duduk di sebelahnya. Di kursi belakang duduk Dirut PT Berdikari Librato El Arif, yang hanya bisa tersenyum melihat percakapan tadi. Arif-lah yang mengangkat wanita muda tersebut menjadi direktur PT Buli yang waktu itu dalam keadaan sulit-sulitnya. Arif cukup jeli memilih orang. Dia tidak salah memilih Ria sebagai direktur untuk peternakan besar yang lagi sakit parah itu.
Sambil mengemudikan mobil di jalan off-road yang berjungkit-jungkit itu, Ria terus menceritakan apa yang sedang dan masih terus dia lakukan. “Di lahan ini akan kami buat ranch, bisa untuk 50.000 sapi,” ujar Ria dengan semangatnya. Ucapan itu kelihatannya mustahil terwujud. Terdengar seperti omong besar. Setahun lalu, ketika saya mulai mengkaji persoalan peternakan ini, tidak pernah ada pemikiran seperti itu.
Waktu itu yang sering diteorikan adalah: Lahan 6.000 ha maksimum hanya akan bisa dihuni 6.000 ekor sapi. Angka 50.000 yang disebut Ria jauh dari teori itu.
Konsep awal ranch Buli itu memang sama dengan yang ada di Sumba. Sapi dibiarkan hidup liar di padang gembalaan. Murah dan mudah. Tinggal memelihara beberapa kuda dan anjing untuk menggembalakannya. Tapi, ke-nyataannya sangat berbeda. Baik di Sumba maupun di Sidrap, cara seperti itu tidak bisa berkembang. Ada beberapa persoalan teknis. Misalnya soal bagaimana menjaga kualitas sapi. Untuk sapi yang dibiarkan liar, kualitas keunggulannya merosot. Sebab, terjadi perkawinan inses. Sering terjadi anak laki-laki yang sudah besar mengawini ibunya atau saudara kandungnya. Sulit mengawasinya.
Yang seperti itu tidak terjadi di luar negeri. Di sana sapi jantan yang tidak unggul langsung dikebiri. Itulah yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Masih ada pendapat yang mengatakan bahwa pengebirian seperti itu melang-gar ajaran agama tertentu.
Ria yang setelah lulus menekuni penelitian ternak tropik itu tidak mau meneruskan sistem peternakan liar seperti konsep tersebut. Itu sesuai dengan arahan direksi PT Berdikari dan hasil diskusi dengan para ahli dari Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar yang aktif membantu Ria di Buli.
Cara baru itu pun ditunjukkan kepada saya. Setelah mengunjungi instalasi pengolahan kompos dan makanan ternak, saya dibawa ke pinggir sebuah danau kecil yang ada di tengah-tengah ranch. Di situlah ada sebuah kandang yang terbuka. Yakni, hamparan rumput yang dipagari dengan kayu setinggi 1,5 meter yang dirangkai dengan kawat berduri. Luas kandang itu hanya sekitar 3.000 meter persegi. Tidak ada atapnya. Di dalam kandang itu (di Jawa lebih tepat disebut kombong) terdapat 150 sapi yang hidup mengelompok.
Uji coba sistem kombong itu sudah berlangsung empat bulan. Sapi tidak dibiarkan liar lagi meski juga tidak dimasukkan ke kandang. Uji coba tersebut sudah bisa disimpulkan: berhasil baik. Karena itu, sistem kombong akan dikembangkan. Ria sudah membangun 15 kombong. Tidak harus di dekat da-nau karena sarana untuk minum sapi bisa dibangun di tengah kombong.
Ke depan, Ria berencana membangun 500 kombong di lahan 6.000 ha itu. Fungsi tiap kombong akan dibedakan. Ada kombong untuk anak-anak sapi dengan umur tertentu. Satu kombong bisa dihuni 200 anak sapi. Lalu, ada kombong untuk sapi yang lebih besar yang sudah siap dihamili. Kombong seperti itu diisi 150 ekor sapi. Ditambah pejantan unggulan. Lalu, ada kombong untuk sapi besar yang hanya berisi 100 ekor.
Sapi-sapi yang sudah bunting dimasukkan ke kandang tertutup. Di situ di-siapkan sarana untuk melahirkan yang sehat. Juga disiapkan nutrisi yang lebih baik.
Ke depan, pagar kombong itu tidak lagi dibuat dari kayu kering. Pagar tersebut akan berupa pagar hidup. Ria sudah membuat pembibitan pohon jabung. Saya pun dibawa ke area pembibitan. Ada 400.000 bibit pohon jabung yang disiapkan. Saya percaya saja pada angka itu. Daripada diminta menghitung sendiri.
Bibit-bibit pohon jabung itulah yang akan ditanam rapat membentuk pagar hidup kombong. Pohon tersebut akan berdwifungsi: untuk pelindung sapi dan untuk dijual kayunya setelah berumur lima tahun. Juga ada fungsi menghemat: daripada beli kayu untuk pagar. Pohon jabung adalah pohon yang lekas bongsor yang kini lagi sangat happening di Jawa Barat.
Maka, setahun lagi sudah akan kelihatan bentuknya. Lahan 6.000 ha itu akan dibentuk menjadi kombong-kombong sapi. Tiap 10 ha satu kombong. Di setiap lahan 10 ha itu ditanami rumput gajah (2 ha) dan sorgum (3 ha). Di tengah-tengah tanaman rumput dan sorgum itulah kombong untuk kandang sapi. Fungsi rumput tidak lain untuk makanan sapi. Sedang fungsi sorgum untuk makanan manusianya dengan batang dan daun untuk sapinya.
Dengan demikian, akan ada blok-blok 10 ha di Buli yang tidak saja memudahkan pengawasannya, tapi juga bisa menampung lebih banyak sapi di dalamnya. Dengan metode itulah ranch di Bila bisa menampung 50.000 sapi.
Masyarakat sekitar peternakan akan dilibatkan. Kelompok-kelompok pe-ternakan di sekitarnya akan diberi kesempatan memiliki kombong seperti itu. Sapinya milik masyarakat dengan modal dari PKBL BUMN. Wakil bupati Sidrap yang ikut hadir hari itu akan mengajak warganya untuk ikut cara Buli tersebut. Inilah ranch model Buli, model Berdikari, model Ria. Berbeda dengan Australia atau Jawa.
Setahun lagi saya berjanji bertemu Ria di Bila. Dan akan bermalam di situ. Sambil menikmati makanan Sidrap yang enak-enak. Dan mengelilingi kombong-kombong pohon hidup yang sudah jadi.
Inilah roh baru PT Berdikari. Saya memang meminta Berdikari fokus menangani peternakan sapi. Tidak usah usaha macam-macam seperti di masa lalu, yang semuanya berantakan. Usaha asuransinya harus dilepas. Demikian juga usaha mebelnya. Fokus: sapi, sapi, dan sapi.
Negara lagi memerlukan peran BUMN seperti Berdikari. Indonesia terlalu besar mengimpor sapi. Tidak boleh Berdikari justru jadi benalu negeri. Terbukti, ketika fokus, “direksinya bisa menemukan jalan yang begitu hebat dan asli. Yang akan bisa ikut mengatasi kekurangan daging sapi di dalam negeri.”
Terlalu besar kita impor sapi. Menghabiskan devisa dan harga diri. (*)
MANUFACTURING HOPE 61
Taiso dan Amanat Pahlawan Seroja
“INI gara-gara BUMN,” ujar Perdana Menteri Kay Rala Xanana Gusmao. “Gara-gara banyak proyek ditangani BUMN, jarang hujan di sini,” tambahnya.
Saya baru tertawa lebar setelah Pak Xanana meneruskan kata-katanya. “Rupanya, mereka pada membawa pawang hujan ke sini. Agar proyeknya cepat selesai,” katanya. Setelah saya tertawa panjang, rupanya, beliau masih belum kehabisan stok humor. “Lain kali pawangnya harus lebih pintar ya. Yang dibuat tidak hujan cukup beberapa meter di lokasi proyek saja,” katanya.
BUMN, rupanya, sangat terkenal di Timor Leste, negeri yang baru beru¬mur 10 tahun sejak lepas dari Indone¬sia. Kini banyak sekali proyek infra¬struktur yang tender internasionalnya dimenangi BUMN seperti PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika dan PT PP (Persero) Tbk.
Sore itu, Kamis lalu, begitu menda¬rat di Dili dengan pesawat BUMN Merpati Nusantara, dan setelah diteri¬ma PM Xanana, saya langsung ke Ta¬man Makam Pahlawan Seroja. Di situ, saya merenungkan jasa dan pengor¬banan para pahlawan yang jumlahnya lebih dari 3.000 orang itu. Di situ, saya meneguhkan tekad bahwa pengorban¬an mereka tidak boleh sia-sia.
Tujuan mereka dulu adalah untuk membangun jajahan Portugal tersebut agar tidak terus-menerus menderita. Tujuan itu kini bisa diamanatkan un¬tuk diteruskan BUMN: ikut mem¬bangun Timor Leste secara ekonomi. Maka, teman-teman BUMN bertekad untuk terus aktif memenangi berbagai macam tender proyek di sana.
Tender jembatan besar menuju Bandara Komoro dimenangi Wika. Demikian juga beberapa proyek ja¬lan. Gedung baru kementerian keuan¬gan yang 12 lantai di dalam Kota Dili dimenangi PP. Nilai proyek tersebut mencapai Rp 250 miliar. PP juga ma¬sih mengikuti beberapa tender interna¬sional lainnya.
Pukul enam pagi, ketika matahari belum terbit, saya sudah berada di lo¬kasi proyek itu. Teman-teman PP yang masih sangat muda-muda berada di sana mempertaruhkan nama Indone¬sia. Mereka bekerja keras untuk me¬nyelesaikan proyek dengan kondisi yang amat berbeda dari di Indonesia. Hukumnya, adatnya, aturannya, kon¬traknya, dan seterusnya. Tapi, dari diskusi dengan para pimpinan proyek pagi itu, di bawah pimpinan Robin Hasiholan yang lulusan Fakultas Teknik Sipil USU Medan, saya mem¬peroleh kesan bahwa mereka sangat mampu.
Robin memang contoh sistem rek¬rutmen yang tepat di PP. Dia sudah “diijon” oleh PP sejak masih semester tujuh. Diberi beasiswa dan diamati sampai lulus. Setelah itu dimasukkan ke “Universitas PP” enam bulan, lalu diterjunkan ke proyek dengan supervi¬si seniornya. Kini dia sudah dipercaya menangani proyek penting di Dili.
Tentu banyak sekali kendala yang mereka hadapi. Namun, mereka bertekad untuk menguasai keadaan. Penguasaan itu amat penting untuk menentukan langkah di proyek-proyek berikutnya. Kemampuan menguasai keadaan itulah yang menjadi keung¬gulan teman-teman BUMN, sehing¬ga hampir selalu bisa mengalahkan peserta tender dari Portugal, Spanyol, Inggris, Jepang, dan Korea. “Saingan berat kami bukan mereka. Saingan be¬rat kami sesama BUMN,” ujar Robin.
Teman-teman Wika juga mengakui itu. “Pesaing terberat kami adalah sesama anak buah Bapak,” ujar teman dari Wika.
Setelah dari proyek PP, saya berun¬tung pagi itu bisa ikut senam Taiso bersama teman-teman Wika. Mereka memang mempunyai prosedur tetap, sebelum memulai pekerjaan, harus melakukan Taiso lebih dulu sekitar 10 menit.
Saya pun minta agar tidak menular¬kan kebiasaan nyogok untuk memenan¬gi tender di sana. Di dalam negeri pun, saya sudah menegaskan agar BUMN mengakhiri kebiasaan nyogok pada masa lalu. Tidak mendapatkan proyek dari APBN, ya sudah. Cari peluang lain. Karena itu, banyak BUMN yang kini mengembangkan proyek sendiri sebagai proyek investasi. Atau proyek sesama BUMN.
Bahkan, dengan berkembangnya proyek di luar negeri, andalan hanya mengejar proyek APBN bisa dikuran¬gi. BUMN sudah bertekad untuk ti¬dak ikut tender proyek APBN yang nilainya di bawah Rp 25 miliar. Biar¬lah proyek-proyek tersebut dikerjakan kontraktor swasta yang lebih kecil. Presiden SBY menyambut baik tekad BUMN tersebut sebagai upaya untuk pemerataan, sebagaimana dikemuka¬kan beliau dalam forum HIPMI di Bali beberapa waktu lalu.
“Di sini sama sekali tidak ada keper¬luan untuk nyogok, Pak,” ujar Robin Hasiholan. “Juga, tidak ada pungutan apa pun di luar kontrak,” tambahnya. Itu, kata dia, karena semua tender proyek besar di Timor Leste menggu¬nakan standar tender internasional.
Wika pun, yang kini amat bangga karena menjadi BUMN karya yang terbesar (tiga BUMN karya dijadikan satu pun belum bisa mengalahkan Wika), kian menonjol kemampuan¬nya. Teman-teman yang mengerjakan proyek di Timor Leste tersebut, misal¬nya, banyak yang alumnus proyek Al-jazair. Wika memang baru saja selesai mengerjakan proyek jalan tol sepan¬jang 400 km di Aljazair. Statusnya memang masih subkontraktor, tapi na¬manya sudah terkenal di sana.
Investasi reputasi itu membuah¬kan hasil. Wika tahun ini mulai men¬jadi kontraktor utama di sana dengan proyek hampir Rp 1 triliun. Yakni, proyek apartemen di Kota Constanti¬nople, kota kedua terbesar di Aljazair.
Wika juga sangat serius masuk ke proyek-proyek minyak dan gas yang sampai saat ini masih dikuasai kon¬traktor asing. Tahun lalu mulai di¬percaya beberapa perusahaan minyak asing di Indonesia untuk menjadi kon¬traktor EPC mereka.
Tentu saja saya ke Dili tidak hanya untuk itu. Yang utama adalah untuk menghadiri mulai beroperasinya lay¬anan telepon seluler dari BUMN di sana. PT Telkom (Persero) Tbk me¬lalui anak perusahaannya, PT Telkom Internasional (Telin), juga memenangi tender internasional untuk menangani telekomunikasi nirkabel di Timor Leste. Selama ini, layanan telepon se¬luler di Timor Leste ditangani perusa¬haan dari Portugal dan Australia.
Mulai minggu lalu, Telkom datang! Telkom membawa nama Telkomcel (menggunakan C) untuk membedakan dari Telkomsel yang ada di Indonesia. Nama pimpinan Telkomcel di sana pun diganti oleh teman-temannya menjadi Dedi Cuherman.
Sambutan untuk Telkomcel memang mendadak dahsyat. Hari pertama saja langsung terdaftar 23.000 pelanggan. Kehadiran Telkomcel di Timor Leste memang sudah lama dinanti. Di an¬taranya karena tarif telepon seluler di sana selama ini kelewat mahal untuk masyarakat setempat, apalagi kalau dibanding tarif di Indonesia.
Bagi Telkomcel, hari pertama 23.000 pelanggan itu sangat istimewa. Sebab, dengan tarif yang lebih ma¬hal dari di Indonesia (meski sudah jauh lebih murah dari operator lain di Timor Leste), jumlah pelanggan terse¬but sama nilainya dengan memiliki 75.000 pelanggan di Indonesia.
Direksi PT Telkom, di bawah pimpinan Dirut Arief Yahya, memang menunjukkan kemajuan yang besar. Laba Telkom Group naik lebih dari satu triliun rupiah pada 2012. Menjadi lebih dari Rp 12 triliun. Padahal, perusahaan telekomunikasi sedang berada dalam persaingan yang amat ketat. Terutama dalam banting-membanting tarif.
PT Telkom sendiri, yang tahun-tahun lalu rugi (bisa untung karena didongkrak anak perusahaannya, Tel¬komsel), tahun lalu sudah tidak rugi. Anak perusahaan kini tidak lagi selalu mengejek induknya. Dan harga saham Telkom terus melejit.
Tentu, saya juga mengunjungi te¬man-teman Merpati dan Bank Mandiri di Dili. Merpati amat populer di sana. Apalagi Bank Mandiri. Bukan main ramainya kantor Bank Mandiri di Dili. Nasabah yang antre sangat ban¬yak. Padahal sudah sore hari. Kalau pagi, kata nasabah di situ, ramainya tidak keru-keruan. Gedung tiga lan¬tai itu sangat sesak. Untung orang di sana terlalu mencintai Bank Mandiri, sehingga masih sabar menghadapi layanan seperti itu. Tentu perubahan harus segera dilakukan.
Bank Mandiri memang menjadi bank yang terbesar di Timor Leste. Memang ada dua lagi bank asing, tapi jauh tertinggal dari Bank Mandiri. Kalau dalam skala 1 sampai 10, Bank Mandiri di skala 10, sedangkan bank dari Australia di skala 6 dan bank dari Portugal di skala 5. Tapi, Bank Mandi¬ri tidak boleh lengah dan merasa besar sendiri. Bank-bank asing tersebut mu¬lai membuka kantor di distrik-distrik di luar Dili. Sedangkan Bank Mandiri tetap saja baru punya kantor di Dili.
Kini Bank Mandiri sudah punya te¬man Telkomcel. Keperluan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk membuka jaringan kantor di luar Dili akan lebih mudah. Karena itu, malam itu, dalam acara peresmian Telkomcel yang dihadiri Perdana Menteri Xa¬nana dan sejumlah menterinya, Bank Mandiri langsung mengikat kesepaka¬tan untuk bekerja sama di sana.
Sebagai bank yang posisinya sudah sangat besar dan begitu dicintai ma-syarakat di sana, tidak sulit bagi Bank Mandiri untuk membuat posisinya tetap sulit dikejar.
Itu artinya, amanat para pahlawan di TMP Seroja Dili akan bisa ditunaikan dengan baik oleh BUMN. (*)
MANUFACTURING HOPE 60
Mulai Pencurian Teknologi sampai Cara Mengemudi
Ini mirip dengan istilah “sengsara membawa nikmat”. Kecelakaan ini, meski menimbulkan keributan yang bising, benar-benar memberikan pelajaran yang berharga. Selama ini, secara ilmiah, memang terjadi perbedaan pandangan di antara lima putra petir yang menciptakan kendaraan/mobil listrik yang saya koordinasikan. Perbedaan pandangan seperti itu juga terjadi di luar negeri yang lagi sama-sama dikembangkan di seluruh dunia.
Ada yang berpandangan mobil listrik tidak perlu menggunakan gearbox. Untuk itu, power dari motor listrik langsung menggerakkan gardan/roda.
Tapi, ahli kita seperti Ir Dasep Ahmadi MSc (alumnus ITB) berpendapat mobil listrik harus menggunakan gearbox. Ricky Elson, putra Padang yang melahirkan 14 paten motor listrik di Jepang, termasuk golongan ini. Demikian juga Ravi Desai (alumnus Gujarat). Mereka setuju tidak harus pakai gearbox, tapi harus hanya untuk mobil dalam kota (city car).
Kecelakaan mobil Tucuxi (baca: tukusi, nama sejenis lumba-lumba) yang saya kemudikan di dataran tinggi Tawangmangu Sarangan Sabtu pekan lalu memberikan pelajaran yang sangat penting mengenai pilihan-pilihan tersebut.
Saya memang tidak ingin menyatukan pendapat mereka. Ilmuwan perlu diberi kebebasan untuk mewujudkan ambisi keilmuannya. Apalagi, saya menangkap sinyal bahwa para ahli kita itu memang ingin membuktikan kehebatan masing-masing. Saya sangat menghargai itu. Saya memilih bersikap memberikan otonomi yang luas kepada mereka.
Karena itu, ketika Kang Dasep menciptakan mobil AhmaDI dengan menggunakan gearbox, saya dukung penuh. Dana talangan langsung saya kirim. Ketika mobil hijau itu jadi kenyataan, saya langsung mencobanya.
Sebenarnya, pada awalnya saya dan Kang Dasep menanggung malu: Begitu tiba di Jalan Thamrin, Jakarta (dari Depok), mobil AhmaDI “mogok”. Media meliputnya dengan besar-besaran. Saya malu sekali. Tapi, saya minta Kang Dasep tidak menyerah. Setelah dianalisis, ternyata mobil itu tidak rusak, melainkan low batt. Indikator baterainya kurang sempurna sehingga “menipu”.
Minggu berikutnya kami berdua masih menanggung malu: Mobil listrik itu tidak kuat menaiki tanjakan. Padahal tidak terjal. Padahal perjalanan uji coba itu juga diliput langsung oleh media secara luas.
Sekali lagi saya minta Kang Dasep untuk tidak patah semangat.
Sebetulnya masih banyak “malu” yang lain. Tapi, biarlah itu hanya kami berdua yang merasakan.
Tiga bulan kemudian, ketika mobil AhmaDI kian sempurna, rasa malu itu berubah menjadi bangga. Putra bangsa kita bisa menciptakan mobil listrik. Saya pun mencobanya secara sungguh-sungguh. Saya mengemudikan mobil tersebut hampir setiap hari hingga mencapai 1.000 km. Kang Dasep sendiri, di luar 1.000 km yang saya lakukan, mencobanya dari Bandung ke Jakarta melalui Puncak. Tidak ada masalah sama sekali. Tanjakan yang terjal dan turunan yang curam dilewati dengan mudah. Kang Dasep dengan ketekunan dan kecerdasannya boleh dikata berhasil gemilang.
Setelah itu saya minta Kang Dasep membuat mobil listrik jenis yang lebih besar. Sebesar Alphard. Tiga bulan lagi insya Allah sudah bisa dilihat. Saya sudah setuju untuk membiayainya. Bahkan, saya juga sudah minta Kang Dasep untuk membuat bus listrik.
Seminggu setelah mobil AhmaDI selesai dicoba sampai 1.000 km, mobil Tucuxi bikinan Mas Danet Suryatama (alumnus USA) selesai dibuat. Saya pun bertekad mencobanya dengan sungguh-sungguh sampai 1.000 km.
Begitu tiba di Jakarta 19 Desember lalu, mobil Tucuxi (semula saya usul namanya Gundala, tapi Mas Danet memutuskan nama ini) saya coba dari Pancoran ke Bandara Soekarno-Hatta. Mas Danet mendampingi saya. Sepanjang perjalanan sekitar 30 km itu saya merasakan apa saja yang menjadi kelebihannya dan apa saja kekurangannya. Mobil tiba di Cengkareng dengan kebanggaan penuh: Mas Danet hebat! Hari pertama ini tidak membawa malu.
Kalau toh ada kekurangannya, hanya kami berdua yang tahu. Saya langsung menyampaikan kekurangan-kekurangan itu ke Mas Danet. Saya minta diperbaiki. Dua hari kemudian Tucuxi saya coba lagi di sekitar Stadion Utama Senayan. Dua jam lamanya. Tucuxi mengelilingi stadion berkali-kali. Beberapa wartawan secara bergantian ikut mencoba duduk di sebelah saya.
Semua yang menyaksikan terlihat bangga. Putra Indonesia ternyata hebat-hebat.
Beberapa kekurangan memang masih terasa. Tapi tidak mungkin diperbaiki di Jakarta. Maka, saya minta Tucuxi dibawa kembali ke Jogja. Mas Danet lantas menuduh saya melakukan pencurian teknologi. Saya tidak begitu jelas teknologi apa yang saya curi dan untuk apa.
Syukurlah, dalam keterangan pers terbarunya akhir pekan kemarin Mas Danet tidak lagi menyebut-nyebut soal pencurian teknologi. Yang dipersoalkan tinggal kesalahan cara saya mengemudi dan (menurut perasaannya) saya akan menyingkirkannya.
Setelah diperbaiki, mobil dicoba di sekitar Jogja. Tidak ada masalah. Termasuk sampai Kaliurang. Tapi, suasana sudah kurang nyaman akibat isu pencurian teknologi yang sudah meluas.
Saya sendiri saat itu lagi keliling hutan jati milik BUMN di Randublatung, Blora, dan Purwodadi. Saya sedang mendesain pola kemitraan antara Perum Perhutani dan masyarakat miskin sekitar hutan. Saya bermalam di Semarang. Karena mau pulang ke Magetan, saya harus lewat Solo. Karena itu, saya minta Tucuxi disiapkan di Solo untuk saya coba lewat medan yang berat.
Itu penting karena uji coba selama ini baru dilakukan di jalan yang datar. Sebagai mobil yang dibuat dengan biaya hampir Rp 3 miliar, mobil tersebut harus dicoba di daerah yang sulit. Terutama melewati jalan yang menanjak. Pikiran saya selalu: Bisakah mengatasi tanjakan? Apalagi sampai 1.300 meter seperti di Sarangan. Ricky Elson menemani saya.
Ternyata hebat sekali. Sepanjang jalan, saya terus memuji Mas Danet. Luar biasa. Tarikannya, power-nya, dan kemampuan menanjaknya hebat sekali. Demikian juga kemampuan baterainya.
Baru ketika jalan mulai menurun dengan sangat tajamnya, dengan belokan-belokan yang berliku, saya mulai waswas. Saya harus menginjak rem sekuat tenaga. Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi berbeda dengan AhmaDI. Saya tidak segera menyadari bahwa Tucuxi ciptaan Mas Danet itu tidak menggunakan gearbox. Untuk menahan laju Tucuxi, sepenuhnya hanya menggantungkan pada kekuatan rem. Tidak ada bantuan pengendalian dari gearbox!
Tentu saya mencoba untuk sesekali mengendurkan rem agar tidak overheated. Ini juga disinggung dalam keterangan pers terbaru Mas Danet. Tapi, setiap kali rem saya longgarkan, mobil langsung melaju. Padahal, jalan berkelok-kelok dengan jurang dalam di sisinya. Tentu saya tidak berani tidak menginjak rem kuat-kuat. Mungkin, seperti disebut Mas Danet, saya memang salah dalam cara mengemudi seperti itu.
Tapi, mengingat jurang-jurang yang dalam di kawasan itu, saya terus menginjak rem dengan kekuatan kaki sekuat-kuatnya. Untung, otot kaki saya lumayan kuat karena setiap hari senam satu jam di Monas. Tapi, bau menyengat akibat rem yang bekerja keras tak tertahankan. Saya memutuskan untuk berhenti. Sekalian mendinginkan rem. Penurunan tajam masih akan panjang dan berliku. Totalnya 15 km. Masih akan sampai di Ngerong.
Waktu berhenti ini, semua orang yang mengerumuni Tucuxi membicarakan bau yang menyengat itu. Lantas berfoto-foto di ketinggian lereng Gunung Lawu yang indah. Kabut tebal yang menyelimuti jalan dan dataran tinggi itu menambah keindahan pemandangan.
Seandainya waktu istirahat ini dibuat lama, sampai rem dingin, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi. Tapi, saya terikat janji dengan Dr Fachri Aly yang akan ke kampung saya sore itu. Dan malamnya kami masih akan salawatan Maulid Nabi dengan Habib Syekh dari Solo di kampung saya itu.
Kami pun segera berangkat lagi. Tucuxi kembali harus menuruni jalan yang curam dan berliku. Kami belum menyadari bahwa tanpa bantuan gearbox, rem akan bekerja sendirian terlalu keras. Kekuatan kaki saya sepenuhnya untuk menginjak rem sedalam-dalamnya. Bau menyengat kembali menusuk-nusuk hidung.
Ketika akhirnya berhasil mencapai Ngerong, saya pun lega. Tidak ada lagi penurunan yang curam dan berkelok. Jalan memang masih akan terus menurun, tapi sudah tidak ekstrem.
Justru di saat hati sudah lega itulah saya merasakan rem Tucuxi tidak lengket lagi. Mobil melaju di jalan yang menurun tanpa bisa dihambat oleh rem. Saya coba angkat rem tangan. Sama saja. Mobil kian kencang. Tidak terkendali. Saya sadar sepenuhnya. Maka, saya harus ambil keputusan cepat. Terlambat sedikit akan banyak memakan korban.
Saya segera memutuskan ini: Lebih baik saya sendiri yang menjadi korban. Saya lihat ada tebing terjal di kanan jalan. Mumpung tidak ada mobil dari arah berlawanan, saya banting setir mobil itu untuk menabrak tebing tersebut. Braaak! Mobil hancur. Tidak ada lagi atap di atas kepala saya. Tapi, saya tidak terpelanting. Saya tetap terduduk di belakang setir. Saya raba kepala saya: Tidak ada darah. Saya raba muka saya: Tidak ada luka. Saya gerakkan kaki-kaki saya: normal. Tidak ada yang terjepit.
Setelah mengucap syukur kepada Allah, saya kembali memuji Mas Danet. Konstruksi mobil ini tidak membuat saya mati terjepit atau menderita luka. Bahkan, tergores sedikit pun tidak. Padahal, seperti kata polisi, kaca-kaca mobil ini bukan kaca fiber yang kalau pecah berubah menjadi kristal. Kaca-kaca ini jenis kaca yang pecahnya membentuk segi tiga-segi tiga kecil. Allahu Akbar!
Saya pun memperoleh pelajaran luar biasa hebat: pentingnya fungsi gearbox. Karena itu, ke depan, masyarakat harus bisa memilih: beli mobil listrik yang pakai gearbox atau yang tidak pakai gearbox.
Mungkin saya akan menghadapi masalah hukum akibat pelanggaran saya ini. Itu akan saya jalani dengan seikhlas-ikhlasnya.
Tapi, pelajaran teknologi itu akan menyelamatkan banyak orang di masa depan. Saya akan jalani konsekuensi itu, tapi ilmu pengetahuan harus tetap berkembang. Tidak boleh terhenti karena kecelakaan itu.
Mobil listrik harus jaya!
Baik Kang Dasep yang menggunakan gearbox maupun Mas Danet yang tidak menggunakan gearbox sama-sama hebatnya. Sama-sama sudah membuktikan diri menjadi putra bangsa yang membanggakan. Tucuxi akan dikenang sepanjang sejarah mobil listrik di Indonesia.
Mas Danet akan terus saya dorong untuk proyek berikutnya. Tentu kalau dia terbuka untuk mendiskusikan teknologinya.
Yang penting putra-putra bangsa harus menguasai teknologi mobil listrik. Saya terbuka untuk putra-putra petir yang lain. Mari berlomba untuk kebaikan negeri. Mumpung negara-negara maju juga baru mulai melakukannya. Kesalahan masa lalu tidak boleh terulang. Kalau mobil listrik tidak kita siapkan sekarang, kita akan menyesal untuk kedua kalinya. Kelak, kalau dunia sudah berganti ke mobil listrik, jangan sampai kita kembali hanya jadi pasar mobil impor seperti sekarang ini!
Mobil listrik made in Indonesia harus berjaya! Sekaranglah saatnya Indonesia punya kesempatan bisa bersaing dengan negara maju!. (*)
MANUFACTURING HOPE 59
Lompatan dari Kegalauan Keri
LUPAKAN dulu soal kecelakaan di lereng Gunung Lawu Sabtu sore lalu. Meski mobil Tucuxi yang saya kemudikan hancur, saya baik-baik saja. Lecet sedikit pun tidak. Ketika bangun pagi Minggu kemarin memang badan terasa njarem dan ubun-ubun kemeng. Tapi, rasanya itu hanya karena dampak benturan yang hebat.
Minggu pagi itu saya sudah bisa ke Nganjuk, Jawa Timur, untuk bertemu masyarakat di hutan jati milik Perum Perhutani. Saya memang lagi belajar apa yang bisa saya lakukan untuk pengentasan kemiskinan di sekitar hutan. Sebelum kecelakaan itu saya keliling hutan di Randublatung, Blora, dan Purwodadi, Jawa Tengah, untuk mendalami persoalan masyarakat sekitar hutan.
Lupakan dulu kecelakaan itu. Memang begitu banyak pelajaran yang saya peroleh dari keputusan saya menabrakkan mobil listrik itu ke tebing, tapi sebaiknya kita bahas lain kali saja.
Lebih baik kali ini kita bicarakan apa yang akan hebat tahun ini.
Akan ada kejutan dari Universitas Padjadjaran, Bandung, khususnya dari fakultas farmasi. Di universitas itu baru saja ditemukan dua macam obat yang sangat penting bagi dunia: obat kolesterol dan diabetes!
Tim Unpad yang menemukan obat kolesterol dan diabetes pertama berbasis non-chemical itu dipimpin seorang ahli yang mumpuni, peneliti yang tangguh, doktor yang cumlaude, wanita yang sangat cantik bernama: Keri Lestari Dandan.
Tim Unpad sudah sepakat untuk bersama BUMN mewujudkan penemuan itu untuk Indonesia dan dunia.
Berita penemuan penting ini sudah menyebar luas ke kalangan farmasi dunia. Sejak itu Doktor Keri diincar banyak negara. Yang paling serius adalah Korea Selatan. Maklum, obat yang ditemukan Dr Keri bukan saja termasuk yang paling banyak diperlukan masyarakat, tapi juga yang pertama yang tidak menggunakan bahan kimia.
Mereka berebut mendapatkan hak paten dari Dr Keri. Memang sudah banyak beredar obat untuk dua jenis penyakit itu, namun semuanya berbasis kimia. Padahal, dunia kian menghindari yang serbakimia. Mulai obat kimia, makanan yang mengandung kimia, sampai kosmetik yang berkimia.
Obat temuan Dr Keri ini berbasis alami. Bahan bakunya buah pala. Hebatnya, Dr Keri tidak hanya bisa mengubah pala menjadi obat-obatan herbal, tapi sudah langsung memprosesnya sebagai obat fitofarmaka: obat tradisional dari bahan alam yang dapat disetarakan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Pemberiannya kepada pasien harus melalui resep dokter.
Biasanya bahan-bahan alami diolah sebatas untuk jamu atau herbal dan paling tinggi herbal terstandar. Tapi, Dr Keri menemukannya untuk obat fitofarmaka.
Mengingat uji klinis sudah dilakukan, disepakatilah 17 Agustus tahun ini sudah harus diproduksi. BUMN sudah menugasi PT Kimia Farma (Persero) Tbk untuk memproduksi dan memasarkannya. Direktur Utama Kimia Farma yang baru, Rusdi Rosman, yang juga lulusan Fakultas Farmasi Unpad, sudah menyanggupinya.
“Akan kami produksi di pabrik kami yang di Bandung,” ujar Rusdi. “Agar lebih dekat dengan Unpad,” tambahnya.
Tentu saya sangat bangga pada kerja sama BUMN dengan Unpad ini. Begitu gigihnya pihak luar negeri ingin mendapatkan penemuan ini. Tapi, Unpad dan Dr Keri tetap mempertahankannya untuk Merah Putih.
Kimia Farma kini memang sudah lebih kuat. Harus mampu mewujudkannya. Labanya pada 2012 sudah meningkat menjadi lebih dari Rp 200 miliar. “Memang, kalau temuan ini kami lepas, banyak yang memperebutkannya,” komentar Rusdi Rosman.
Obat antikolesterol adalah obat kedua yang paling banyak dibutuhkan masyarakat. Mencapai 15 persen. Sedangkan obat diabetes berada di urutan ketiga yang mencapai 12 persen. Urutan pertama adalah obat kanker, 18 persen.
Mengingat pasar obat-obatan di Indonesia sangat besar (mencapai Rp 50 triliun tahun ini), tentu kita tidak rela kalau pasar tersebut tersedot ke luar negeri. Pabrik-pabrik obat di dalam negeri, termasuk pabrik obat tradisional, harus berjuang mati-matian untuk merebutnya. Temuan Dr Keri adalah salah satu senjata penting untuk pertempuran itu.
Setelah sukses memproduksi temuan Dr Keri dalam bentuk fitofarmaka, Kimia Farma juga akan memproduksinya dalam bentuk herbal terstandar. Tapi, demi Indonesia, saya minta Kimia Farma memprioritaskan yang fitofarmaka dulu.
Kerja sama BUMN-Unpad tersebut bermula pada pertengahan tahun lalu. Waktu itu saya diminta memberikan keynote speech di acara besar di Fakultas Farmasi. Hari itu saya tidak mau memberikan pidato. Dari atas podium saya langsung saja menantang para farmasis yang hadir di aula besar itu: apa yang diinginkan dari saya.
Ternyata banyak yang angkat tangan. Dalam hati saya berpikir: lebih penting para farmasis itu bicara daripada saya yang pidato. Belum tentu saya bisa pidato bagus mengenai obat-obatan. Saya tidak tahu banyak bidang itu. Dan lagi, di zaman Twitter ini, siapa yang masih mau mendengarkan pidato?
Ternyata betul. Semua yang angkat tangan itu mengemukakan masalah yang penting di dunia pengobatan. Terutama menghadapi akan berlakunya BPJS: dokter galau, farmasis galau, rumah sakit galau, dan pedagang obat juga galau.
Termasuk para peneliti di universitas pun galau. Temuan-temuan mereka kurang mendapat perhatian.
Saat itu juga, I Gede Subawa, Dirut PT Askes (Persero) yang juga hadir, saya minta maju. Saya minta untuk dibentuk tim kecil antara BUMN bidang kesehatan dan ahli-ahli farmasi dari Unpad. Saya beri batas waktu dua minggu untuk merumuskan: apa yang bisa dilakukan bersama.
Kurang dari dua minggu Dr Keri dan tim dari Unpad ternyata sudah datang ke ruang kerja saya membawa konsep lengkap tentang apa yang harus dikerjakan. Saya juga menghadirkan para Dirut BUMN bidang kesehatan.
Ada Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman, Dirut PT Indofarma (Persero) Tbk Djakfaruddin Junus, Dirut PT Bio Farma (Persero) Iskandar, Dirut PT Phapros Tbk, anak perusahaan PT RNI (Persero), Erlangga Tri Putranto, dan Dirut Askes I Gede Subawa.
Mendengar paparan Dr Keri yang begitu hebat, saya langsung berunding dengan tim BUMN kesehatan tersebut. Saat itu juga kami putuskan penemuan Dr Keri tidak boleh lari ke luar negeri!
BUMN kesehatan mampu mewujudkan jerih payah tim Unpad ini menjadi kenyataan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Apalagi, uji klinik fase pertama sudah berhasil dilakukan. Uji klinik terakhir sudah hampir selesai, yang nadanya juga sangat positif.
Kami bertekad tidak perlu lagi impor obat kolesterol dan diabetes yang begitu besar. Bahkan, kita harus ekspor. Maka kami putuskan, Agustus tahun ini jadi tonggaknya! (*)
MANUFACTURING HOPE 58
Tahun 2013 yang Juga Tahun Permen
TAHUN 2013 bagi BUMN tetap saja tahun plus-minus. Harga sawit, karet, dan hasil tambang belum akan membaik. Perusahaan-perusahaan BUMN di sektor-sektor komoditas primer itu masih akan berat. Padahal, sektor tersebut sangat besar di BUMN. Tapi, begitulah komoditas: punya siklus naik-turunnya sendiri. Tapi, dibilang terlalu berat juga tidak. Hanya, tidak lagi bisa diandalkan untuk memupuk pundi-pundi dividen.
Yang masih akan terus hebat adalah sektor perbankan, industri semen, dan telekomunikasi. Program Bank Mandiri untuk menyatu dengan Taspen dan Pos Indonesia akan menandai perkembangan bank itu di tahun 2013. Bahkan kalau ada langkah lebih radikal dari itu pun akan didukung. Demikian juga Bank Rakyat Indonesia. Beberapa aksi korporasi besarnya akan dilakukan pada 2013. Dua bank tersebut memiliki dukungan teknologi yang sangat kuat.
Sektor telekomunikasi juga terus didorong untuk melakukan ekspansi, termasuk ke luar negeri. PT Telkom Indonesia dengan anak bongsornya, PT Telkomsel, kini memiliki kemampuan yang luar biasa untuk bisa diandalkan. Demikian juga industri semen. PT Semen Indonesia sudah resmi berdiri minggu lalu. Dengan demikian, PT Semen Gresik, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, dan PT Thang Long Vietnam kini menjadi anak perusahaan PT Semen Indonesia.
Di sektor layanan publik, tahun 2013 juga memiliki arti khusus. PT Pupuk Indonesia yang merupakan induk PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Sriwidjaja, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik melakukan perubahan besar di bidang sistem pendistribusian pupuk. PT Pupuk Indonesia melakukan rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk.
Tiap-tiap anak perusahaan mempunyai wilayah tanggung jawab sendiri-sendiri. Tidak seperti dulu, pupuk dari satu pabrik bisa ke daerah mana pun. Akhirnya terjadi saling serang, saling tumpang tindih, dan salah-menyalahkan. Dulu, bisa saja di suatu daerah pupuk berasal dari berbagai pabrik. Padahal, semua pabrik itu BUMN. Namun, dengan kendali holding sekarang ini, pembagian wilayah bisa dilakukan.
Di libur Natal pekan lalu saya melakukan pengecekan ke kios-kios pupuk di daerah Sleman. Saya sengaja berkunjung diam-diam, tidak memberi tahu lebih dulu dan tidak didampingi staf. Saya ingin mengecek langsung apakah rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk tersebut bisa berjalan baik. Mumpung hari-hari ini adalah hari-hari petani sangat memerlukan pupuk.
Hasil rayonisasi itu sangat baik. Tidak ada lagi penimbunan pupuk di satu daerah dan kekurangan pupuk di daerah lain. “Sekarang tidak ada lagi pupuk selundupan,” ujar pemilik kios pupuk di desa Krapyak, Sleman. Dia sendiri tidak berani menyelundupkan pupuknya ke desa lain. “Takut izin saya dicabut oleh Pupuk Indonesia,” katanya.
Saya sangat menghargai ide rayonisasi tanggung jawab penyaluran pupuk tersebut. Dengan rayonisasi itu, bisa diketahui dengan jelas siapa yang bersalah. Misalnya bila terjadi kelangkaan pupuk di suatu daerah. Para tengkulak yang selama ini mendapat keuntungan dari penimbunan pupuk memang akan kehilangan objekan.
PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) pada 2013 juga masih akan jadi sorotan. Bahkan, sorotan itu mungkin akan lebih keras. Sebab, di tahun 2013 PT KAI mulai melakukan pembenahan KRL di Jabodetabek. Di KRL itu, setiap perubahan akan menimbulkan kebisingan yang luar biasa.
Saya sangat terkesan dengan strategi pembenahan PT KAI itu. Dua tahun terakhir ini fokus pembenahan KAI diperuntukkan kereta api rute jauh. Bukan KRL. Memang KRL dibenahi juga, tapi tidak sehabis-habisan pembenahan kereta api jarak jauh. Mengapa? Begitulah memang strateginya. Bagi yang ingin belajar mengenai strategi manajemen baik juga diceritakan di sini.
Bagi manajemen yang biasa-biasa saja tentu akan langsung membenahi KRL dulu. Dengan membenahi KRL, direksinya akan cepat mendapat pujian dan terhindar dari segala caci maki. Tapi, direksi PT KAI tidak tergoda dan tidak tergiur oleh pikiran jangka pendek seperti itu. Direksi PT KAI memilih membenahi dulu rute jarak jauh. Memang caci maki terus bertubi-tubi dari pengguna jasa KRL, tapi direksi PT KAI teguh pendirian untuk tetap pada strateginya.
Alasannya sangat baik: Rute jarak jauh adalah sektor yang bisa dipakai untuk memupuk modal. Hasil rute itu bisa memperkuat keuangan perusahaan. Itu terbukti. Meski jumlah penumpang turun (karena tidak boleh lagi ada yang berdiri), penghasilan perusahaan naik. Dengan demikian, pelayanan juga bisa lebih baik: Semua penumpang mendapat tempat duduk.
Dengan modal itu, PT KAI kini lebih memiliki kekuatan untuk melakukan pembenahan KRL. Kereta api jarak jauh sudah tidak terlalu membebani pikiran direksinya. Tahun 2013 konsentrasi direksi bisa lebih fokus ke KRL.
Kalau yang dibenahi dulu adalah KRL, direksi akan memikul dua beban sekaligus. Pembenahan KRL tidak bisa memperkuat keuangan perusahaan. Akhirnya KRL sendiri tetap sulit dan rute jarak jauh juga tidak tertangani. Ini karena KRL, ditangani sebaik apa pun, tidak akan bisa menghasilkan modal yang besar bagi pembenahan seluruh rute kereta api Indonesia.
Maka, tahun 2013 adalah tahun bagi KRL: Stasiun-stasiun dibenahi, emplasemen ditambah, sinyal diperbaiki, kereta ditambah.
BUMN pangan juga harus bekerja keras di tahun 2013. PT Sang Hyang Seri (SHS) baru memulai proyek pencetakan sawah baru besar-besaran di Ketapang, Kalbar. PT Pertani akan berubah total dengan mulai berkonsentrasi pada pascapanen. Gudang-gudang Pertani akan dilengkapi dengan mesin pengering gabah secara besar-besaran. Dengan demikian, kehadiran PT Pertani benar-benar dirasakan oleh petani dan memiliki arti yang strategis.
PT Berdikari pada 2013 juga memulai kerja sesungguhnya untuk mengatasi kekurangan sapi di dalam negeri, baik sapi potong maupun sapi anakan. Dan PTPN XII akan habis-habisan memulai sejarah baru bagi Indonesia: menanam sorgum dalam jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah kita.
Sorgum itu akan ditangani dengan pendekatan sains modern bersama PT Batantek. Mulai bibitnya sampai soal pascapanennya. Kini sedang dirancang penanaman sorgum di Atambua, NTT, yang mengandalkan sains itu. Termasuk akan diproduksi “permen sorgum” untuk makanan ternak. “Permen” tersebut akan sangat mudah dikirim ke mana-mana untuk mempercepat penggemukan sapi.
Begitulah. Tahun 2013 adalah tahun kerja yang akan sangat menantang! Karena itu, seorang direksi BUMN mengusulkan agar angka 13 tidak perlu dipakai. Kita sebut saja tahun depan adalah tahun 2012-B!
MANUFACTURING HOPE 57
Kemauan 24 Karat Bersawah Baru di Ketapang
TELUR besar ini akhirnya menetas juga. Rencana BUMN membuka sawah baru secara besar-besaran akhirnya terwujud. Rencana itu memang sempat tertunda enam bulan, tapi itu semata-mata karena harus pindah lokasi. Terutama karena pengadaan lahan di Kalimantan Timur tidak bisa secepat yang diprogramkan.
Akhirnya, lokasi yang tepat ditemukan: di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Luasnya bisa sampai 80.000 ha yang kelak bisa bulat menjadi 100.000 ha.
Senin, 17 Desember, penanaman pertama padi di lokasi itu dimulai.
Inilah pembukaan sawah baru secara besar-besaran yang pertama di Indonesia dan dilakukan dengan sistem mekanisasi penuh. Mulai pengolahan tanah, penanaman, sampai ke panennya nanti.
Saya sempat termangu sebelum menerjunkan kaki telanjang ke sawah yang siap ditanami itu. Waktu remaja, saya memang pernah menjadi buruh ndaut dan menanam padi. Tapi, tidak begini. Waktu itu, saya harus menanam padi dengan menggunakan tangan yang dicelupkan ke tanah lumpur sambil berjalan mundur dengan badan membungkuk.
Tapi, Senin lalu sudah begitu berbeda. Menanam padi dengan mesin! Baru sekali ini saya melihat dan memegang mesin penanam padi yang disebut rice transplanter itu.
Ternyata mudah sekali dan sangat cepat. Tidak perlu belajar lama. Hanya dengan penjelasan beberapa kalimat, saya bisa langsung menjalankan mesin itu.
Penanaman tahap pertama ini akan mencapai 3.000 ha. Di 2013 yang segera tiba akan diteruskan menjadi 40.000 ha. Akhirnya, di 2014 bisa mencapai 100.000 ha. Untuk itu, BUMN akan mengusahakan dana sampai Rp 5 triliun.
Penanggung jawab proyek itu adalah salah satu BUMN pangan, PT Sang Hyang Seri (SHS). Dirutnya, Kaharuddin, sudah bertekad SHS yang selama ini hanya menangani benih harus menjadi BUMN pangan yang besar. Selama ini, PT SHS dan juga BUMN pangan lainnya seperti PT Pertani terlalu kecil untuk bisa diandalkan sebagai BUMN pangan bagi sebuah negara agraris yang sangat besar seperti Indonesia.
Dengan menggarap sawah baru ini, PT SHS mengalami transformasi besar-besaran. Kini SHS tidak hanya memikirkan benih, tapi sekaligus menanamnya. Tentu SHS tidak akan mampu menyiapkannya sendirian. Sebanyak “12 samurai” yang tergabung dalam Sinergi BUMN Peduli ikut mendorongnya dari belakang.
Ada yang membantu teknologi (seperti PT Batantekno dan PT Pupuk Indonesia), ada juga yang ambil bagian untuk land clearing dan penyiapan lahan (PT Hutama Karya, PT Brantas Abipraya), konsultan perencanaan dan pengawasan (PT Indra Karya dan PT Yodya Karya). Selama ini, BUMN karya itu dikenal ahli dalam merencanakan dan membuat infrastruktur jalan dan pengairan.
PT Brantas Abipraya sudah berpengalaman membuka sawah baru meski kecil-kecilan. “Kelas 1.000 hektaran,” ujar Bambang Esti Marsono, Dirut Brantas. Bahkan, “Indra Karya pernah membuat perencanaan sawah 16.000 ha di luar negeri. Yakni, di Papua Nugini,” kata Agus Widodo, Dirut Indra Karya.
Selebihnya, Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, PGN, Pertamina, PT Indonesia Port Corporation (IPC), dan beberapa BUMN lain mendukung dari sisi pendanaan.
Kekuatan para raksasa BUMN itulah yang akan diandalkan. Tak ayal, di sawah baru ini alat-alat berat seperti traktor, ekskavator, mesin-mesin bajak, dan mesin tanam terlihat di mana-mana. Tidak terlihat sama sekali, misalnya, kerbau atau sapi.
Sistem pembibitannya pun tidak lagi di tanah sawah. Bibitnya dibenihkan di baki-baki siap saji. Ketika berumur 15 hari, bibit itu sudah bisa dilepas dari bakinya untuk dimasukkan ke mesin tanam. Dalam waktu singkat, bibit sudah tertanam sekaligus empat-empat dalam barisan yang rapi.
Untuk sementara, proyek ini kami sebut “nonkapitalis farming”. Artinya, BUMN tidak membeli tanah itu dari rakyat. Tidak seperti kebun sawit. Tanahnya tetap dimiliki rakyat. BUMN hanya menjadi pekerja dan pemegang manajemennya. Yang akan menikmati hasilnya adalah para petani pemilik lahan.
Tanah-tanah di Ketapang itu selama ini praktis menganggur. Petani hanya menanam semampunya. Akibatnya, tanah-tanah di situ tidak produktif. Para petani pun tetap saja menjadi petani miskin. Itulah sebabnya, proyek ini juga dimaksudkan untuk sekalian membantu mengatasi kemiskinan di pedesaan.
Kebetulan Bupati Ketapang Drs Hendrikus MSi punya kebijakan bagus, yang seirama dengan sistem nonkapitalis farming-nya BUMN ini. “Kami tidak akan mau lagi memberikan izin untuk kebun sawit,” ujar Boyman Harus SH, wakil bupati Ketapang yang ikut hadir dalam acara tanam pertama sawah baru itu. “Kebun sawit hanya menyengsarakan rakyat kami,” tambahnya. “Program BUMN ini pas banget dengan kebijakan kami,” tambah Boyman.
Tiga bulan mendatang, saat panen pertama di sawah baru ini, kita akan tahu hasil yang sebenarnya. Semula hasil sawah baru ini diasumsikan tidak besar. Hanya sekitar 3 ton/ha. Begitulah doktrinnya. Sawah baru tidak bisa langsung produktif. Baru pada tahun-tahun berikutnya hasilnya bisa meningkat.
Namun, kami tidak menyerah pada teori lama seperti itu. Sains kami libatkan di proyek ini. Misalnya, diawali dengan menggunakan produk baru pupuk Indonesia, Kapurtan, untuk mengendalikan pH. Bahkan, PT Batantekno (Persero) dilibatkan untuk melakukan iradiasi nuklir pada benihnya. Kami berharap hasilnya kelak bisa langsung di sekitar 6 ton/ ha.
Setelah itu, terus dinaikkan ke angka 8 ton/ha. Toh, ini bukan lahan sawah pasang surut yang pengerjaannya lebih sulit.
Usai acara penanam pertama itu, di ruang tunggu Bandara Ketapang, kami melakukan rapat terbatas dengan para direksi BUMN yang terlibat di proyek ini. Ada Tri Widjajanto (Dirut HK), ada R.J. Lino (Dirut IPC), ada Bambang Esti Marsono (Dirut Brantas), Eddy Budiono (Dirut Pertani), Kaharuddin (Dirut SHS), dan beberapa yang lain.
Kami membulatkan tekad baru ini: langkah telah diayunkan, kaki telah dipijakkan, mimpi telah dikonkretkan, cita-cita besar mulai direalisasikan; ujungnya hanya satu: harus berhasil! (*)
MANUFACTURING HOPE 56
Semua Luh dan Las Sudah Berganti Tus
MINGGU pagi pukul lima kemarin. Hotel Borobudur Jakarta masih sunyi. Tapi, di dalam ballroom hotel itu hampir 1.000 orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan gegap gempita. Mereka adalah karyawan terbaik seluruh pabrik gula milik BUMN yang baru saja menyelesaikan musim giling 2012. Mereka adalah para pekerja keras yang telah mengubah wajah seluruh pabrik gula hanya dalam waktu kurang dari setahun. Mereka adalah para “kopassus” yang untuk rapat kerja yang dimulai pukul 05.00 pun dalam posisi “siaaaap”!
Mereka berkumpul lagi kali ini untuk membahas hasil kerja keras mereka setahun terakhir. Juga untuk merumuskan perbaikan apa lagi yang harus dilakukan pada 2013 yang segera tiba.
Krebet Baru (Malang) dan Ngadirejo (Kediri) adalah dua pabrik gula dengan capaian terbaik tahun ini. Krebet Baru untuk kali pertama bisa mengalahkan pabrik gula swasta di sebelahnya. Ngadirejo yang dulu hampir dilepas ke swasta, hanya kalah tipis dari Krebet Baru. Bahkan, bisa jadi Ngadirejo lebih unggul kalau saja mulai gilingnya sedikit mundur, menunggu umur tebu sedikit lebih tua.
PTPN X, di bawah Dirut Subiyono, mendominasi prestasi tahun ini. Sembilan PG di bawah Subiyono semuanya masuk prestasi papan atas. Tapi, lonjakan terbesar sebenarnya diperoleh PTPN XI. Semula, 16 PG di bawah PTPN XI jelek semua dan banyak sekali yang rugi. Bahkan, tiga di antaranya menjadi pasien UKP4 pimpinan Kuntoro Mangkusubroto itu. Tahun ini delapan pabrik di lingkungan PTPN XI sudah masuk prestasi papan atas. UKP4 langsung mencabut status pasien di tiga pabrik gula tersebut.
“Intinya, semua harus disiplin,” ujar Andi Punoko, Dirut PTPN XI, menjawab pertanyaan mengapa PTPN XI bisa bangkit serentak seperti itu. “Disiplin tanam, disiplin bibit, disiplin pupuk, disiplin tebang, disiplin angkut, disiplin pemeliharaan, dan disiplin pengoperasian pabrik,” katanya.
Di samping pembenahan internal, dilakukan terobosan eksternal. Tahun ini seluruh pabrik gula memberikan jaminan rendemen minimal kepada petani tebu. Manajemen juga membuka diri setelanjang mungkin kepada petani. Bahkan, semua pabrik gula melepaskan begitu saja kepada petani gula yang menjadi hak petani.
Dengan demikian, tahun ini petani tebu mendapatkan hasil yang sangat baik. Di PTPN XI saja ada uang Rp 150 miliar yang dulu jatuh ke pihak ketiga, sekarang jatuh langsung ke petani tebu. Belum lagi rendemen yang naik dan harga gula yang bagus.
Karena itu, saya tegaskan tahun depan tidak boleh lagi pabrik gula meminjam dana dari pihak ketiga dengan cara seperti mengijonkan gulanya. Bank-bank BUMN sanggup menyediakan dana talangan itu.
Dengan modal kepercayaan petani tebu yang sudah pulih seperti itu, tahun depan bisa diharapkan keadaannya akan lebih baik lagi. Pabrik gula bisa mengenakan disiplin yang lebih ketat kepada petani, antara lain, demi petani itu sendiri. Misalnya, bagaimana petani hanya boleh mengirim tebu ke pabrik dalam kondisi MBS (manis, bersih, segar).
Artinya, petani tidak boleh mengirim tebu muda yang kadar manisnya belum cukup. Tebu yang dikirim juga harus bersih, tidak banyak campuran daun kering atau tanah. Tebunya harus masih segar, begitu ditebang harus langsung dikirim ke pabrik.
Prinsip MBS itu diterapkan tanpa tebang pilih. “Tahun ini kami menolak 100 truk tebu yang dikirim ke pabrik dalam keadaan tidak MBS,” ujar Administrator PG Ngadirejo. “Termasuk tebu milik bekas pejabat pabrik gula sendiri,” tambahnya. “Tidak ada lagi KKN,” katanya.
Maka, seperti halnya PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) yang dari rugi menjadi untung lebih Rp 300 miliar, PTPN XI pun yang tahun lalu rugi Rp 150 miliar tahun ini laba di atas Rp 100 miliar. Bahkan, sektor gula PTPN IX yang tahun lalu rugi hampir Rp 200 miliar tahun ini sudah laba Rp 15 miliar. Sedangkan PTPN X tetap menjadi raja laba dengan total sampai Rp 500 miliar.
“Pokoknya, kalau tahun lalu hanya luh atau las, kini sudah serba tus,” ujar Zamkhani, deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Industri Primer. Maksudnya, dulu-dulu labanya puluhan atau belasan, kini serba ratusan miliar.
Begitu banyak pelajaran yang diperoleh dari terobosan-terobosan tahun ini. Dalam forum besar pukul lima pagi kemarin itu juga diadakan dialog tukar pengetahuan bidang tanaman, teknik, dan pengolahan. Para kepala bagian saling sharing keunggulan pabrik masing-masing.
Tahun depan giliran kondisi fisik pabrik yang harus berubah. Taman-taman, lantai-lantai, tembok-tembok, atap-atap, mesin-mesin, semuanya harus indah, rapi, dan bersih. Pabrik-pabrik itu harus bisa sebersih mal.
Lima bulan lagi saya akan kembali keliling seluruh pabrik gula BUMN. Benarkah saya sudah bisa melihat “mal-mal” di tengah kebun tebu itu! (*)
Leave a Reply