Berkat Video Ketakutan Terbesar Pemakai Kartu

firman

Firman Azhari, Juara Kompetisi Cybersecurity di London

Riset sederhananya tentang sistem keamanan kartu berbasis NFC (near field communication) mendapat pujian para juri di London. Sebab, dia mampu menunjukkan kelemahan sistem keamanan alat transaksi yang sedang ngetren di Indonesia itu.

————————————————–   TRI MUJOKO BAYUAJI, Bandung  ——————————————————————–

Saat ditemui di rumahnya di Bandung menjelang akhir Ramadan lalu, Firman Azhari tampak kurang sehat. Mahasiswa S-2 Elektro ITB itu baru sepekan tiba di tanah air setelah melakukan perjalanan keliling Eropa. Trip itu merupakan bagian dari hadiah yang diterimanya sebagai pemenang kompetisi Kaspersky Cybersecurity For The Next Generation 2013 yang diadakan di London, Inggris, 24-27 Juni 2013.

Meski kurang sehat, rasa bangga tetap terpancar di wajah Firman saat disinggung tentang kemenangannya di London. Dia menjadi juara setelah mengalahkan 13 finalis lain dari berbagai negara. Peringkat kedua diraih Dusan Repel, mahasiswa University of Plymouth, Inggris, berkebangsaan Slovakia. Posisi ketiga diduduki Iwan Gulenko, mahasiswa University of Munich, Jerman, berkebangsaan Ukraina.

“Tema karya saya sebenarnya sederhana. Yakni, deteksi keamanan terhadap kartu NFC (near field communication, Red). Kartu ini sedang booming di Indonesia,” ujar Firman ketika ditemui Jawa Pos.

Di Indonesia, kartu NFC dipakai dalam sistem ticketing Transjakarta dan Transjogja, kartu akses hotel atau apartemen, maupun kartu belanja perbankan.

“Kartu NFC intinya contactless, bisa digunakan sebagai akses apa pun sesuai kebutuhan provider,” ujar Firman.
Selain dalam bentuk kartu, smartphone keluaran terakhir juga menggunakan sistem NFC. Itulah yang menarik perhatian Firman untuk meneliti sistem keamanannya.

“Proyek saya sebenarnya membuat kartu yang bisa dipakai untuk berbagai pembayaran. Bisa dipakai seperti e-KTP, tapi juga bisa untuk pembayaran,” ujar pria kelahiran Balikpapan, 18 Agustus 1990, itu.

Firman mulai melakukan riset pada akhir 2012. Dia membeli perangkat smartphone terbaru dan e-reader untuk membaca sejumlah kartu berbasis NFC. Menurut Firman, mempelajari sistem NFC tidak terlalu sulit. “Yang rumit mempelajari kartu-kartunya. Butuh waktu lama,” ujarnya.

Dalam riset itu Firman membuat sebuah aplikasi yang bisa mengidentifikasi tingkat keamanan berbagai kartu NFC di Indonesia. Aplikasi itu mampu digunakan untuk mem-benchmark (mengukur) seberapa besar tingkat keamanan kartu-kartu tersebut.

“Dari penelitian saya itu, ternyata ada kartu yang sistem keamanannya gampang dijebol,” kata Firman tanpa bersedia menyebutkan kartu yang dimaksud.

Di tengah kesibukannya melakukan riset, Firman mendapat informasi di milis yang diikutinya bahwa ada kompetisi Kaspersky Cybersecurity For The Next Generation 2013. Awalnya, kompetisi itu untuk tingkat regional Asia-Pasifik pada Maret lalu.
Dari informasi itulah Firman tertarik mengikutkan karyanya. Dia lalu mengirimkan konsep karyanya ke panitia di Singapura.
Lomba yang dilangsungkan di National University of Singapore (NUS) pada 21-23 Maret itu diikuti 180 peserta dari berbagai negara. Namun, hanya 16 karya yang dinyatakan lolos ke babak final. Salah satunya karya Firman.

Dalam presentasinya Firman tidak hanya menggunakan kartu NFC Indonesia. Dia juga memakai kartu mahasiswa Malaysia yang dibenami fitur NFC.

“Kartu mahasiswa Malaysia itu juga rentan terhadap pembobolan,” katanya.

Buktinya, Firman berhasil “mencuri” isi datanya. Selain berfungsi sebagai kartu mahasiswa, kartu tersebut ternyata dapat dipakai sebagai tiket elektronik untuk bus dan kereta api.

“Saya tidak hanya menunjukkan kelemahan kartu NFC itu, tapi juga memberikan solusi bagaimana meningkatkan keamanannya,” tuturnya.

Presentasi Firman di tingkat regional diganjar sebagai best presentation. Dia bersama dua pemenang lain berhak mewakili Asia-Pasifik dalam kompetisi tingkat dunia yang diadakan di Royal Holloway, London, Inggris, Juni lalu. Sayang, pemenang kedua dari Hongkong mengundurkan diri. Dia digantikan juara tambahan dari Filipina.

Kompetisi yang digelar di negeri Ratu Elizabeth itu benar-benar memberikan pengalaman tersendiri bagi Firman. Kompetisi tingkat dunia itu diikuti 14 mahasiswa dari berbagai kawasan. Selain presentasi langsung, peserta harus mengikuti video challenge, cyber war, dan team quiz.

“Presentasi yang dibuat 10 menit harus bisa dipahami dalam waktu dua menit saja. Ini tidak mudah,” ujar Firman.
Dari empat kategori yang dilombakan, Firman meraih nilai tertinggi. Dia hanya kurang bagus di team quiz. Katanya, dia tidak bisa menikmati permainan itu.

Apresiasi paling tinggi untuk video challenge. Dalam tantangan itu, Firman mempresentasikan video berjudul What is Your Biggest Fear (Apa Ketakutan Terbesar Anda, Red). Video itu mengangkat kekhawatiran orang terhadap sistem keamanan data digital yang ada di kartu berbasis NFC. Sebab, beberapa kartu dengan mudah dapat ditembus dan dicuri datanya. “Juri memuji karya video saya itu,” jelasnya.

Berkat video itu pula akhirnya Firman meraih nilai tertinggi dibanding 13 peserta lain. Karena itu, dia berhak menyandang gelar sebagai pemenang dalam kompetisi bergengsi tersebut.

Meski begitu, Firman mengaku kurang sreg dengan sebutan juara dunia di bidang cybersecurity. Menurut dia, sebutan itu terlalu tinggi. Sebab, kompetisi yang dilombakan berdasar tema dan spesialisasi yang dikirim peserta. “Kalau dibilang juara dunia, saya agak gimana gitu,” ujarnya merendah.

Dengan kemampuannya itu Firman bisa mencukupi hidupnya. Dia kini menjadi konsultan untuk memberikan support secara teknis kepada pihak-pihak yang membutuhkan potensi dirinya.

Firman berencana membuka bisnis yang menawarkan produk dengan tingkat cybersecurity yang terjamin. “Saya sudah punya modal ilmunya. Tinggal duitnya yang mesti dikumpulkan dulu,” tandasnya. (jpnn)