Berani Klaim Lebih Bagus dari Upin-Ipin
JATUH BANGUN ACHMAD ROFIQ TEKUNI FILM ANIMASI
Tidak banyak animator Indonesia yang benar-benar bertekad menekuni industri hingga menyerap puluhan tenaga kerja kreatif. Salah satu yang merangkak mulai nol hingga sukses adalah Achmad Rofiq.
M. HILMI SETIAWAN,
Jakarta
DI TENGAH subuh yang hening, Jagur muncul dengan dandanan ala rocker lengkap dengan mikrofon di tangan. Dia lalu berkokok kencang membangunkan ayam-ayam. Beberapa saat kemudian, keluarga ayam yang tinggal di kandang, dibuat mirip sebuah apartemen, menyambut pagi yang cerah.
Itulah cuplikan atau trailer film animasi Kuku Rock You (KRY) produksi Digital Globe (DG) Maxinema, perusahaan yang didirikan Achmad Rofiq
dan kawan-kawan. Film KRY yang menceritakan hiruk pikuk keluarga ayam yang lucu dan imut itu sudah rampung 13 episode. “Sama seperti sinetron, film animasi itu kami bikin bertahap. Yakni, per 13 episode. Total 52 episode,” kata Rofiq ketika ditemui, Senin (24/6).
Lajang kelahiran Pasuruan, 20 April 1981, tersebut menyatakan, untuk tahap pertama pembuatan kartun KRY itu, dirinya menghabiskan biaya sekitar Rp 2 miliar. Dia juga berani mengklaim filmnya lebih baik dibanding Upin-Ipin, film animasi buatan Malaysia.
Alumnus Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Pasuruan, tersebut menambahkan, beberapa pihak telah menawar film KRY. Antara lain, stasiun TV di Jepang, Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan. Salah satu stasiun TV lokal menawar Rp 2 miliar untuk film tersebut. “Saya belum menerimanya karena nilai itu baru sama dengan modal yang saya keluarkan. Padahal, saya harus menggaji puluhan karyawan,” katanya.
Ditemani secangkir kopi dan roti pisang di piring, Rofiq menceritakan awal kiprahnya mendirikan perusahaan film animasi itu. Setelah tamat dari Ponpes Miftahul Ulum dan MAN Pasuruan pada 1999, Rofiq melanjutkan studi di Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Negeri Malang (UM). Studi yang berkaitan erat dengan pembuatan animasi itu dia selesaikan pada 2008. “Saya memang lama kuliahnya, karena saya sambi bekerja untuk mempertajam kemampuan saya di bidang animasi,” tuturnya.
Selama kuliah, Rofiq pernah menjadi guru “keliling” di sejumlah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dia juga membantu dalam proyek pembuatan film animasi sederhana.
Di ujung masa studinya, Rofiq bergabung di komunitas Tanah Air Studio, kelompok yang mendalami film animasi. Tak lama kemudian dia dan teman-temannya mendirikan Kampung Animasi untuk menampung para penggemar film kartun itu.
Dari situlah, prestasi mulai diukir Rofiq. Pada 2005 dia mampu menyabet penghargaan di beberapa festival film animasi. Film andalannya berjudul Biozone. Sedangkan film Gogo garapannya meraih penghargaan A Funny Malang Style 3D Animation.
Film Rofiq yang paling berkesan adalah A Kite (Layang-Layang). Pada 2008 film itu dikukuhkan sebagai film animasi terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI). Sementara itu, Rofiq terpilih sebagai sutradara terbaik.
Rofiq menyadari, bergelut di industri film animasi tidak mudah. Dibutuhkan kesabaran dan modal yang besar. “Apalagi, akses untuk mendapatkan modal awal,” katanya.
Menurut dia, pemilik modal masih “pelit” mengeluarkan uangnya untuk membiayai produksi film animasi. Di pihak lain, masyarakat Indonesia, termasuk anak-anak, lebih suka menonton sinetron ketimbang film animasi.
Setelah memantapkan diri berkecimpung di film animasi, Rofiq tidak mau setengah-setengah. Dia tidak ingin rugi. Karena itu, dia mulai merancang pembuatan film animasi dengan tujuan bisnis. Produksi film harus laku dijual.
Melalui sebuah CV yang dia beri nama K-deep, Rofiq cs membuat serial film animasi dengan judul Catatan Dian pada 2008. Film itu diproduksi 13 episode. “Film ini benar-benar menyuguhkan konten lokal. Yakni, memotret Kota Batu, Malang,” ujarnya.
Saat merancang biaya produksi, mulai membeli komputer, menyewa rumah untuk studio, hingga gaji pokok karyawan, Rofiq memperkirakan biayanya lebih dari Rp 1 miliar. Tetapi, karena sulit mencari investor, dia menyulap biaya itu hingga hanya Rp 50 juta.
Setelah selesai, film tersebut ternyata hanya laku Rp 15 juta. “Terus terang, Catatan Dian termasuk proyek rugi. Kami hanya dapat pengalaman,” terang Rofiq sembari menyebutkan bahwa film itu sempat ditayangkan TVRI dan TV Spacetoon.
Untuk menutup utang ongkos produksi film yang mencapai Rp 35 juta tersebut, Rofiq terpaksa harus berutang ke saudara-saudaranya. Dia menganggap “kegagalan” dalam film komersial perdananya itu sebagai ujian mental. “Yang penting, saya harus nyemplung dulu ke bisnis film animasi. Biar tahu rasanya, meskipun rugi,” paparnya, lantas tertawa.
Meski Catatan Dian gagal, Rofiq tidak kapok. Bahkan, dia sempat membuat film animasi Catatan Dian versi layar lebar. Tapi, lagi-lagi proyek itu amburadul. “Produsernya kabur, takut rugi lagi,” kenangnya.
Kendati begitu, Rofiq tidak patah arang. Setelah menjalani episode kegagalan, dia bangkit kembali dengan membuat film-film animasi baru. Dia juga mengganti wajah bisnisnya dari CV K-deep menjadi PT DJ Max-inema. Karyawannya juga lebih banyak, sekitar 50 orang. Mereka terdiri atas tim animator, dubbing, komposer atau penata suara, hingga marketing. “Kali ini saya benar-benar niat. Ini demi kemajuan animasi Indonesia,” katanya bersemangat.
Dia ingin dikenang dunia animasi Indonesia seperti sosok mendiang Steve Jobs, pendiri dan mantan CEO Apple Inc. “Di Amerika ada Steve Jobs, di Indonesia ada Achmad Rofiq,” tambahnya, lantas tertawa.
Sejumlah film lahir dari rahim DJ Maxinema. Di antaranya, serial animasi Songgo Rubuh; Serdadu Lombok Abang. Film itu menceritakan kekocakan dua penjaga kerajaan di negeri antah berantah. “Film ini terinspirasi kehidupan keseharian penjaga keraton Jogjakarta,” paparnya. (*/c5/c10/ari)