Direktur RSUD Cilegon “Cuci Tangan”
SERANG,SNOL–Direktur RSUD Kota Cilegon, Zainul Arifin, mengaku tidak tahu menahu soal adanya tindak pidana korupsi yang terjadi di instansi yang dipimpinnya. Menurutnya, kasus dugaan korupsi mark up pembayaran listrik, PDAM, dan telepon tahun 2011-2013, yang merugikan negara hingga Rp 1 miliar lebih tersebut, merupakan kesalahan terdakwa Inge Mai Yuar Savitrise dan Kabag Keuangan RSUD Cilegon Udi Safrudin.
Zainul Arifin berkilah, kapasitasnya sebagai direktur hanya menandatangani, tidak sampai mengkroscek secara rinci tagihan pembayaran. Mengingat tugas dan kewajibanya yang cukup banyak. “Itu teknis, saya tidak tahu meskipun mark up itu terjadi sudah tiga tahun. Saya tanda tangan setelah ada kasbon, dan diverifikasi oleh Kabag Keuangan. Pekerjaan saya banyak, bukan ngurusi soal tagihan PDAM, listrik, dan telepon saja,” kata Zainul Arifin, Senin (8/6).
Dalam kesaksianya, Zainul yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polres Cilegon ini mengaku, meski selama tiga tahun telah terjadi selisih pembayaran yang merugikan negara sekitar Rp 1,077 miliar, dan lolos dari pengawasanya, dikarenakan sudah diverifikasi oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
Selain itu, sudah ada laporan pemeriksaan yang dilakukan oleh inspektorat yang dilaporkan ke DPPKAD Kota Cilegon, yang ditembuskan ke Walikota. “Kerugian negara baru diketahui tahun 2013 lalu, dan laporannya baik-bak saja. Tunggakan listrik baik, sehingga saya tidak curiga. Lagian terdakwa (Inge Mai Yuar Savitrise, red) merupakan yang baik cekatan, saya tidak berpikir bakal adanya tindak pidana korupsi,” tambahnya.
Zainul juga menerangkan, dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa merupakan kepentingan pribadi dan tidak ada sangkut paut dengan rumah sakit, karena di rumah sakit sudah ada alokasi anggaran masing-masing. “Kalau perbuatan terdakwa itu tidak ada kaitanya dengan rumah sakit, itu sifatnya memperkaya diri sendiri,” ungkapnya.
Dihadapan majelis hakim, yang diketuai oleh Bambang Parmudwiyanto, Zainul menerangkan, proses persetujuan pencairan anggaran tidak harus dari direktur. Tapi, bisa oleh Kabag Keuangan. Sementara, proses pencairan dibayarkan lewat cek dari tagihan ke Kabag Keuangan dulu, baru ke bendahara dan terakhir direktur.
Setiap ia menerima tagihan yang dilaporkan oleh terdakwa, ujarnya, tidak pernah mendapatkan tagihan resmi dari PLN, PDAM, dan telepon. Karena, tagihan bentuknya seperti foto kopi. Zainul tidak menampik, lemahnya pengawasan internal menjadi lolosnya dugaan perbuatan tindak pidana korupsi tersebut selama 3 tahun.
“Itu pintarnya terdakwa. Kalau pengawasan internal seperti Satuan Pengawas Internal (SPI) rumah sakit, kita memang kurang SDM. Pengawasannya langsung oleh inspektorat, setiap tahun,” paparnya.
Diketahui, kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian Resor (Polres) Cilegon ini mencuat setelah adanya temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Banten, yang menemukan adanya dugaan kerugian negara pada pembayaran listrik, air dan telepon RSUD Kota Cilegon pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Oktober 2013.
Dari hasil audit BPKP tersebut, terungkap adanya mark up pembayaran tagihan listik, telepon, dan PDAM senilai Rp 1.077.359.468. (mg30/mardiana/jarkasih)