Tujuh Tahun Tim Face-Off RSUD dr Soetomo Dampingi Lisa

f-tim faceoff lisa-fredik tarigan-jpnn

MERAWAT pasien face-off bukan pekerjaan mudah. Perlu kehati-hatian dan kesabaran yang luar biasa. Begitu pula yang dilakukan tim dokter RSUD dr Soetomo Surabaya selama tujuh tahun mendampingi Siti Nur Jazila alias Lisa.

TITIK A.- PRISKA B, Surabaya

WAJAH dr Nalini Muhdi Agung SpKJ (K) terlihat bahagia karena akhirnya berhasil mengantarkan Lisa menjadi pribadi yang lebih mandiri. Sebuah tugas berat yang dia emban selama tujuh tahun mendampingi Lisa. Bukan hanya karena tanggung jawabnya sebagai dokter, melainkan juga sikap pribadinya yang terus mendorong dan berempati kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tersebut.

Ingatan Nalini kembali ke tujuh tahun lalu. Saat itu dia mendapati Lisa dengan kondisi psikologis yang hancur. Rasa percaya dirinya sangat rendah. Tragedi penyiraman air keras oleh suaminya, Mulyono, begitu membekas dalam memori perempuan kelahiran Turen, Malang, Jawa Timur, tersebut.

“Buruk sekali kepercayaan dirinya waktu itu,” ucap Nalini saat seremoni pelepasan Lisa di ruang sidang direktur RSUD dr Soetomo kemarin (5/2).

Lisa sekarang, kata Nalini, jauh berbeda dengan kondisinya tujuh tahun silam. Sikapnya kini lebih asertif. Dia berani mengatakan ya atau tidak untuk hal-hal yang diinginkan atau tidak diinginkannya.

Demikian pula apresiasi terhadap dirinya saat itu, sangat rendah. Seolah dirinya sudah tidak berguna lagi. Namun, begitu masuk penanganan tim dokter RSUD dr Soetomo, perlahan harga diri Lisa ditumbuhkan. Nalini dengan telaten mengajari Lisa melihat satu per satu kelebihannya.

Nalini menilai Lisa sebenarnya tipikal perempuan pekerja keras. Jika sudah menyukai suatu hal, Lisa sangat menekuni bidang itu. Contohnya minat Lisa menekuni kerajinan tangan songket. Dia setiap hari akan mengerjakan pekerjaan itu hingga betah berjam-jam. Apalagi, hasil kerajinan tangannya laku dijual. Dia sangat bahagia bila ada yang mau membelinya. Nalini percaya Lisa bakal survive menjalani hidup di luar tembok rumah sakit.

Di sisi lain, Nalini mengakui bahwa Lisa punya beberapa kekurangan yang menonjol. Misalnya, emosinya masih labil. Sehingga perlu pendampingan agar bisa tenang. Menurut Nalini, dua tahun pertama mendampingi Lisa adalah masa-masa tersulit yang dihadapi tim. Maklum, saat itu Lisa mesti menjalani operasi demi operasi untuk membentuk wajahnya agar lebih baik. Dan tidak selalu operasi itu sesuai dengan harapan perempuan 30 tahun tersebut.

Di sinilah peran Nalini cukup berat. Dia tidak hanya memosisikan diri sebagai psikiater yang bertugas mendampingi Lisa. Nalini juga harus bisa bersikap sebagai pengganti ibu kandung Lisa. “Sebenarnya banyak masa sulit yang harus dihadapi tim dokter, tidak seperti yang dilihat masyarakat selama ini,” ungkap spesialis dan konsultan kedokteran jiwa itu.

Pasang surut emosi Lisa inilah yang kemudian menempa dirinya menjadi seseorang dengan pribadi lebih matang. Lisa kini bisa membuat keputusan-keputusan penting untuk dirinya sendiri. “Memang masih ada kekhawatiran untuk melepas dia (Lisa) di luar (RSUD dr Soetomo). Tapi, sampai kapan kalau tidak dihadapi sekarang?” imbuhnya.

Selama tujuh tahun mendampingi Lisa, banyak kesan yang diperoleh Nalini dalam menangani dia. Hubungan Nalini-Lisa bukan hanya hubungan dokter-pasien, namun sudah seperti ibu-anak. “Ada ikatan emosional yang membuat saya harus bersikap sebagai pengganti ibunya dalam tanda petik yang tidak ada. Dia pun merasa diterima dan dicintai,” ucapnya.

Sejatinya, jelas Nalini, dirinya tidak benar-benar akan berpisah dengan Lisa. Dia akan terus “mendampingi” pasien abadinya itu. “Selama ini kami selalu kontak-kontakan. Bahkan, ke mana pun Lisa akan pergi, dia selalu bilang kepada saya,” ceritanya.

Nalini menuturkan, keterlibatan dirinya dalam tim face-off Lisa merupakan dedikasinya, tak hanya sebagai dokter, tapi juga sebagai manusia yang berempati kepada sesama. “Karena itu, rasa suka dan duka sudah jadi satu paket. Ada kebahagiaan saat bisa membantu orang lain,” tegasnya.

Nalini juga mengajarkan kepada Lisa bagaimana supaya dirinya dapat diterima di tengah masyarakat. Misalnya, Lisa harus mempersiapkan mentalnya. Hal ini penting karena tak semua orang akan melihatnya dari sudut pandang positif. Mungkin beberapa orang masih melihat sisi gelap kehidupan Lisa. “Tapi, saya selalu katakan kepada Lisa bahwa orang lebih baik belajar dari kesalahan daripada tidak,” tutur alumnus FK Unair tersebut.

Kesan mendalam juga dirasakan Ketua Tim Face-Off RSUD dr Soetomo Surabaya Prof dr Sjaifuddin Noer SpBP selama merawat Lisa. Kendati tidak sedekat Nalini dengan Lisa secara emosi, Sjaifuddin dan tim bedah plastik juga selalu memantau perkembangan wajah Lisa.

Menurut Sjaifuddin, tahap yang paling sulit dirasakan saat melakukan operasi pertama pada 2006. Pada saat itu tim dokter berusaha keras merekonstruksi bagian wajah yang terkena siraman air keras. Operasi tersebut merupakan operasi face-off kali pertama yang mendapatkan perhatian besar masyarakat.

Saat itu tim dokter harus membuang jaringan kulit yang rusak di wajah dan menggantinya dengan kulit yang diambil dari punggung Lisa. Lantaran kulit yang diambil cukup lebar, sekitar 32 x 8 cm, dokter harus ekstrateliti dan superhati-hati dalam memindahkannya ke bagian wajah Lisa. Mereka harus cermat dalam menyambung jaringan yang dipindah dengan pembuluh darah yang ada pada wajah Lisa.

Upaya itu dilakukan agar aliran pembuluh darah dapat mengalir lancar di http://jiveparty.com/wordpress/order-discount-viagra seluruh wajah. Sjaifuddin menjelaskan, tiap kali melakukan operasi, tim dokter selalu menjaga agar tidak terjadi infeksi pada wajah Lisa. Sebab, peluang terjadinya infeksi sangat besar. Namun, berkat penanganan yang care dan telaten, hal itu tidak sampai menimpa Lisa.

Lisa memang mendapatkan perawatan di ruang isolasi yang steril dan dijaga ketat. Tidak semua orang bisa mengakses ruangannya. “Kalaupun ada yang masuk, mereka harus menggunakan masker dan pakaian khusus agar Lisa tidak terkontaminasi,” jelas spesialis bedah plastik itu.

Menurut Sjaifuddin, Lisa adalah pasien yang gigih. Terbukti, tiap kali ditawari untuk operasi, dia langsung bersemangat. “Dia tidak tanggung-tanggung mengaku masih ingin melakukan koreksi pada wajahnya hingga terlihat lebih baik,” imbuh dia.

Dalam upacara pelepasan kemarin, tim face-off tak hanya memberikan kenang-kenangan kepada Lisa, tapi juga “modal” yang bisa digunakan Lisa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selama setahun. Diharapkan, setelah setahun nanti, Lisa sudah benar-benar mandiri.

Lisa juga memperoleh kenang-kenangan dari Prof Dr Djohansyah Marzoeki SpBP (K) berupa buku berjudul Hidup Ini. Buku itu diberikan agar Lisa termotivasi dalam memulai hidup barunya.

Ucapan terima kasih tak henti-hentinya disampaikan Lisa kepada tim dokter face-off. Terutama kepada Nalini. “Wah, dokter Nalini itu sangat berarti bagiku. Sudah seperti mom sendiri,” ucap Lisa tentang kesannya terhadap Nalini.

Lisa mengatakan bahwa Nalini selalu ada dalam hatinya. Tak heran jika Nalini menjadi inspirasi bagi hidupnya. “Aku bisa nurut banget sama dokter Nalini. Padahal, kalau nggak cocok sama seseorang, walaupun deket, aku nggak mau nurut. He he he…,” ungkapnya.

Lisa juga mengucapkan terima kasih kepada tim face-off; Direktur RSUD dr Dodo Anondo, serta Kepala IRD RSUD dr Urip Murtedjo SPB KL. “Saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan oleh Tuhan yang telah menolong dan mempertemukan saya dengan dokter-dokter yang baik dan berjiwa sosial tinggi ini,” ujarnya dengan nada haru.(*/c9/ari/jpnn)