Wisnu, Pelajar yang Raih Emas berkat Detektor Telur Busuk

F-WISNU DAN DETEKTOR TELUR KARYANYA-MUKHTAR LUTFI JPNN

GARA-GARA SANG IBU GAGAL BIKIN ROTI

Di ajang International Exhibition for Young Inventors (IEYI) di Kuala Lumpur, Malaysia, 9-11 Mei, Wisnu, siswa SMA Taruna Nusantara (TN), Magelang, Jawa Tengah, meraih medali emas.

MUKHTAR LUTFI,
Magelang

Satu per satu telur di meja dipungut Wisnu. Dengan cekatan telur-telur tersebut lalu ditempelkan di sebuah alat berbahan utama sebuah senter kecil. “Kalau lampu indikatornya berwarna hijau, berarti teurnya masih bagus,” kata Wisnu memperagakan alat detektor telur temuannya itu ketika ditemui di sekolahnya, kemarin (15/5).

Dia lalu mengambil telur lagi. Tapi, tiba-tiba detektornya berbunyi: tittttt” disertai perubahan warna lampu jadi merah. “Nah, kalau ini telurnya sudah busuk,” jelas siswa kelas XIIitu.

Dengan alat detektor buatannya tersebut, para peternak dan konsumen nanti bisa tahu mana telur yang sudah busuk dan yang masih baik. Meski sederhana, alat detektor karya Wisnu tersebut punya manfaat yang besar. Apalagi, belum ada alat semacam sebelumnya.

Alat itu merupakan rangkaian transistor darlington pair dan inverting buffer berbasis IC 555 multivibrator yang diklem ke badan lampu senter. Adapun sensor LDR dipasang pada lengan kecil di depan ujung senter.

“Telur cukup diletakkan di antara sumber cahaya senter dan sensor LDR. Jika telur masih segar, cahaya senter dapat menembus putih telur sehingga lampu LED hijau akan menyala. Jika telurnya sudah busuk, cahaya senter akan sedikit yang menembus putih telur sehingga inverting buffer akan menyalakan LED merah dan membunyikan buzzer,” kata anak pasangan Sarno dan Theresia Wuriasih itu.

Sebelum membuat alat tersebut, Wisnu mencari metode yang cocok untuk mendeteksi telur busuk. Sebab, ada tiga cara untuk mengetahui telur busuk, yakni menerawang, merendam di air, dan mendeteksi dengan hidrogen sulfida.

“Saya memilih metode yang paling praktis, yakni menerawang. Penggunaan sumber cahaya senter juga lebih mudah dan murah,” papar sulung dua bersaudara itu.

Wisnu membuat alat tersebut selama seminggu. Tapi, untuk memastikan alat itu bisa bekerja dengan baik, dia membutuhkan berkali-kali uji coba. Uji coba diakukan pada telur ayam dan bebek. Beberapa kali uji coba gagal. Sampai akhirnya dia menemukan fakta bahwa lampu merah di senter menunjukkan telur sudah busuk, sedangkan warna hijau untuk telur yang masih baik.

Alat itu tidak bisa diujicobakan untuk mengetahui kualitas telur puyuh. “Sebab, cangkangnya berwarna dan kecil,” tambahnya.

Wisnu mengungkapkan, pembuatan alat tersebut hanya menghabiskan uang sekitar Rp 55.000. Tapi, setelah jadi, dia tidak memanfaatkannya untuk keperluan studi atau praktik lapangan. Alat itu pun hanya disimpan di kamar sampai tiga tahun. Alat baru dioperasikan lagi ketika Wisnu mengikuti kompetisi para peneliti muda di Kuala Lumpur, Malaysia, pekan lalu.

Wisnu sukses menyabet medali emas dalam ajang itu untuk ketegori food and agriculture. Emas Indonesia juga disumbang dari karya Tundershot Filter (Turbin Undershot) Penyaring Sampah milik tiga siswa SMAN 6 Jogjakarta (Nurina Zahra Rahmati, Tri Ayu Lestari, dan Elizabeth Widya Nidianita) dalam kategori green technology. Satu emas lainnya dihasilkan Hibar Syahrul Gafur, siswa SMPN 1 Bogor, untuk karya berjudul Sepatu Anti Kekerasan Seksual.

Indonesia juga meraih medali perak berkat karya Devika Asmi Pandanwangi, siswi SMAN 6 Jogjakarta, tentang Bra Penampung ASI untuk kategori technology for special needs. Peraih perak lainnya Canting Batik Otomatis karya Safira Dwi Tyas Putri, siswi Sampoerna Academy Kampus Bogor, Jawa Barat, dalam kategori green technology. “Sebelum ikut kejuaraan ini, saya mendapat perak di ajang National Young Inventor Awards (NYIA) Ke-5,” kata dia.

NYIA adalah kompetisi kreativitas ilmiah bagi inventor remaja usia 8-18 tahun yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Para pemenangnya lalu direkomendasikan LIPI untuk mengikuti kompetisi tingkat internasional di Kuala Lumpur.

Sebanyak 64 remaja dari 13 negara mengikuti kompetisi itu. Di antaranya, dari Rusia, Jepang, Malaysia, Thailand, Taiwan, Arab Saudi, dan Singapura.

Wisnu mengaku alat tersebut ditemukan saat dirinya masih di bangku SMP. Sekolahnya di Soroako, Sulawesi Selatan. Namun, saat itu dia masih ragu untuk menguji alat tersebut.

Awal ide pembuatan alat itu pun sederhana. Saat itu Wisnu melihat sang ibu yang membuka usaha pembuatan roti di rumah gagal memenuhi pesanan gara-gara telur yang dicampurkan dalam adonan sudah busuk. Ibu bingung dan meminta maaf kepada orang yang memesan roti tersebut.

“Dari situlah terpikir dalam benak saya bagaimana cara untuk mengetahui mana telur busuk dan mana telur yang baik,” katanya.

Sejauh ini, kata dia, alatnya berjalan dengan baik. Belum ada satu telur busuk pun yang tidak terdeteksi. “Tapi, secanggih-canggihnya teknologi pasti tetap akan meleset juga. Entah kapan,” ungkap remaja 18 tahun itu.

Wisnu belum puas atas karyanya tersebut. Dia akan terus mengembangkan alatnya agar lebih canggih. Misalnya, nanti alat tersebut bisa dipakai untuk mendeteksi telur dalam jumlah banyak sekaligus. Alat tersebut memanfaatkan roda berjalan sehingga telur busuk dan telur segar akan terseleksi dengan sendirinya. “Yang telur baik akan lurus mengikuti jalur, sedangkan yang telur busuk akan dibelokkan,” kata dia.

Apakah Wisnu akan mematenkan alat itu? Dia menggelengkan kepala. Alasannya, dia masih berambisi untuk menciptakan teknologi yang lebih spektakuler. Mungkin hal tersebut akan didapatkan saat dia masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB) sesuai dengan cita-citanya. “Sekarang fokus untuk masuk ITB dulu. Saya mau ambil jurusan elektronika atau informatika,” tuturnya.

Bahkan, Wisnu mengaku tak berkeberatan jika ada yang membuat alat serupa. “Jika ada yang menjiplak, saya tidak untung juga tidak rugi. Ruginya di mana? Saya tidak masalah asalkan izin ke saya dulu. Yang penting bermanfaat saja. Kalau alat saya bisa bermanfaat, saya sudah sangat senang,” tutur Wisnu.(*/c10/ari)