Sudah 23 Tahun, 20 Orang Hidup Berdesakan Dalam Satu Rumah

Ditengah pesatnya pembangunan dan maraknya program pengentasan kemiskinan, salah satunya melalui program pembangunan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), ternyata masih saja ditemukan warga miskin yang jauh dari kata layak. Nasib malang tersebut menimpa keluarga pasangan Lina dan Samsuri, warga Kampung Giri Pada Desa Pejaten Kecamatan Kramatwatu Kabupaten Serang.Tak terasa, sudah selama 23 tahun lamanya sebanyak 20 orang anggota keluarganya hidup berdesakan dalam satu rumah yang kumuh dan masuk kategori rumah tak layak huni. Seluruh bagian rumahnya terbuat dari bambu dan kayu, dengan atap rumbia. Bagian atap dalamnya tak berplapon, serta banyak yang sudah bolong. Jika musim hujan, dipastikan rumah itu akan kebocoran dan banjir.

Dinding bilik tampak mengelilingi rumah tersebut. Lantainya hanya beralaskan sebagian tanah dan sebagian semen tanpa keramik. Lebih memprihatinkan lagi, rumah itu sudah miring alias nyaris roboh. Dibagian dapur atau ruang belakangnya sudah ditopang menggunakan kayu.

Lina saat ditemui di kediamannya mengaku, tidak ada pilihan lain dan tidak punya biaya untuk membangun rumah yang ditempatinya selama ini dengan keluarga besarnya. Ia dan suaminya hanya beraktivitas sebagai pemulung barang bekas, dan rongsokan.

Pendapatannya sehari-hari hanya cukup untuk menutupi kebutuhan makan dan kesehariannya. Walau terkadang kekurangan, serta dipaksakan dicukup-cukupkan. “Jangankan buat bangun rumah, pengen misah dari orang tua saja tidak punya uang buat ngontrak. Sehari-hari, paling dapat uang Rp 30 ribu. Itupun kadang-kadang nggak dapat sama sekali. Jadi, mau tidak mau masih hdup bersama orang tua di rumah ini,” keluh Lina, Rabu (12/8).

Ia mengaku, hidup satu rumah bersama empat orang adeknya yang sudah berkeluarga, dan orang tuanya. Kondisi itu memang dirasa kurang nyaman, dan tidak membuatnya lebih bangga.

“Yang tinggal di rumah ini semuanya ada 20 orang. Tapi, kami tidurnya misah-misah, soalnya ada lima kamar. Paling kalau makan kami masing-masing, itupun kalau ada uang. Kalau lagi tidak uang mungkin hanya beli beras, dan makan pakai garam,” ujarnya.

Dengan kondisi ekonomi yang tak lebih, kata Lina, dengan terpaksa salah satu anaknya tidak dapat meneruskan sekolah hingga jenjang SMP. “Saya punya anak empat, yang pertama masih kecil (Balita,red), kedua masih sekolah SD, dan yang paling besar sekolah SMP kelas dua. Tapi, karena saya tidak ada biaya. Rencananya yang baru lulus SD satu orang tidak akan diteruskan. Sedangkan, yang SMP mah saya minta suruh berhenti. Tapi tidak mau, ya jadi jarang jarang sekolahnya,” ujarnya.

Suami Lina, Samsuri mengaku selalu berusaha maksimal menafkahi keluarganya dengan bekerja serabutan. Tetapi, katanya, semakin hari kerjaannya semakin sulit. “Kalau ada yang ngajak kerja bangunan, saya ikut. Kan lumayan. Kalau tidak ada, paling mulung rongsokan,” imbuhnya.

Bantuan dari pemerintah selama ini sudah ada, seperti Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Tetapi yang mendapatkan bantuan hanya dua urang keluarga. Sehingga, hal itu tidak dapat memenuhi kebutuhan 20 orang sanak saudaranya yang lain.

“Bantuannya sudah ada, tapi hanya saya dan saudara saya. Adik saya yang sudah keluarga lainnya, malah tidak dapat. Katanya harus sudah yang punya anak, jadi baru bisa dapat bantuan,” paparnya lagi.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat seIndonesia, Tatu Chasanah yang datang melihat kondisi keluarga tersebut mengaku, prihatin dan baru mengetahui jika ada warga yang hidup satu rumah dengan 20 orang penghuni. “Saya taunya dari aktivis social. Saya dikirim foto-fotonya, jadi saya langsung datang ke lokasi ini,” ungkap Tatu.

Saat disinggung soal pencitraan dirinya menjelang Pilkada, ia berdalih jika sebelum di pemerintah adalah selaku pekerja sosial masyarakat. Terlepas sebagai kepala daerah atau menjelang pilkada dirinya sebagai Bakal Calon Bupati Serang. Baginya, tugas sosial berlaku bagi semua kalangan dan individu. ”Secara pribadi, saya punya kewajiban untuk mengurusi mereka,” ujarnya.

Ia juga mengaku, untuk membantu meringankan beban mereka. Tatu akan membantu menjembatani dengan meminta bantuan kepada dinas terkait untuk memberikan keterampilan. Selain itu membantu anaknya agar tidak putus sekolah.

“Saya akan coba komunikasikan dengan Dinkoperindag agar dibuatkan kelompok kerajinan yang bisa menghasilkan uang,” tandasnya. (mardiana/jarkasih)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.