Peternak Sapi Tergerus Perumahan

TIGARAKSA,SNOL—Peternak sapi dan kerbau di Kabupaten Tangerang kian terdesak pembangunan perumahan, kawasan pergudangan dan industri yang massif. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mendesak pemerintah memperhatikan para peternak lokal di kampung dan didesa serta menyediakan lahan penggembalaan.            Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tangerang Naziel Fikri mengatakan, Pemkab Tangerang kurang peduli terhadap peternakan, pertanian dan perikanan di Kabupaten Tangerang. Indikasi itu terlihat dari minimnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diberikan kepada Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan, serta Dinas Perikanan dan Kelautan.

            Selain itu, kata Nazil, Pemkab juga tidak menyediakan lahan penggembalaan sesuai dengan amanat undang-undang (UU) Nomor 41/2015 perubahan UU Nomor 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Padahal, masyarakat Kabupaten Tangerang tidak seluruhnya orang kaya walaupun memiliki ternak sapi atau kerbau. Sementara, pembangunan infrastruktur semakin gencar hingga pelosok desa.

            “Pemkab kurang peduli terhadap budidaya hewan ternak seperti sapi dan lainnya, termasuk sektor perikanan. Hal itu terlihat dari anggaran yang diberikan kepada Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan, serta Dinas Perikanan masih di bawah Rp10 miliar. Kalau memang peduli alokasi anggarannya di atas Rp10 miliar. Menginggat belanja tidak langsung Pemkab mencapai Rp3 triliun lebih,” ujarnya kepada Satelit News, Selasa (11/8).

            Lanjut Naziel, masyarakat Kabupaten Tangerang tidak seluruhnya orang kaya walaupun mereka memiliki ternak sapi atau hewan lainnya. Saat ini kondisi peternak sapi di kampung atau di desa kurang diperhatikan, sehingga kerap tertekan laju pembangunan pemukiman dan industri. “Pemkab harus berimbang dalam segi pembangunan dan menujang kesejahteraan masyarakat. Karena peternak juga membantu ketahanan pangan di daerah,” terang politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

            Menurut Naziel, pemerintah perlu membuat kebijakan khusus terkait masalah peternakan. Hal ini seirama dengan pemanfaatan lahan tidur untuk pertanian yang saat ini sedang dilakukan oleh pihak lainnya. “Kalau perlu, lahan Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum) dari pengembang dikumpulkan dan dibuat untuk kawasan peternakan terpadu,” jelasnya.

            Terpisah, Kasi Budidaya Peternakan Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Asmiaty mengatakan, saat ini budidaya ternak sapi dan kerbau memang mulai tergerus pembangunan. Kondisi ini menurutnya sulit terhindari karena pembangunan perumahan dan kawasan industri berkembang seiring tingginya kebutuhan masyarakat.

            “Pemerintah berharap bisa mempertahankan budidaya ternak sapi dan kerbau dengan lahan abadi atau lahan pertanian berkelanjutan. Karena kalau saya melihat bukan hanya untuk pertanian, tapi lahan abadi itu bisa juga untuk peternakan. Ini disebabkan umumnya petani punya hewan ternak,” tukas wanita yang pernah bertugas di bidang kesehatan hewan ini.

            Namun, budaya masyarakat yang kerap menjual tanah pertanian menjadi kendala yang serius sehingga bisa mengancam program lahan abadi. Menurut Asmiaty, memang tidak mudah merubah budaya karena butuh proses dan tahapan yang panjang. “Saat ini data yang kami terima dari BPS terkait sampel populasi hewan ternak sapi tertinggi di Sindangjaya 2000 ekor sapi. Namun, kondisi saat ini pembangunan pemukiman di kecamatan itu sangat massif sudah tentu mengancam eksistensi budidaya ternak sapi dan kerbau,” jelas wanita berjilbab ini.

            Kemudian, populasi tertinggi kedua ada di Kecamatan Panongan yakni 1000 sapi dan 1000 kerbau. Diurutan ketiha ada di Kecamatan Jambe yakni 900an kerbau dan 900an sapi. Sedangkan untuk di Kecamatan Tigaraksa sendiri populasi sapi hanya 400an dan kerbau 1500an. Sementara di kecamatan lain jumlahnya hanya sedikit.

            “Bayangkan kalau kecamatan dengan populasi sapi dan kerbau ini tergerus pembangunan. Sudah barang tentu, impor dari dari daerah lain semisal Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, NTB dan wilayah lainnya akan banyak. Kondisi ini juga berpengaruh pada harga daging di wilayah lokal, yang bisa jadi lebih mahal, karena semua impor tadi,” pungkasnya. (aditya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.