500 WNI Jadi Anggota ISIS
SERANG,SNOL—Sedikitnya, 500 orang Warga Negara Indonesia (WNI) diduga menjadi anggota Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur Tengah. Itu diketahui setelah Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) melakukan koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) beberapa waktu lalu.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH Hasyim Muzadi, saat menjadi pembicara dalam tatap muka dan silaturahmi antara Polri dengan Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (FKPD) Provinsi, Kab/Kota, Tokoh Masyarakat serta Alim Ulama se-Provinsi Banten di aula Pendopo Gubernur Banten, KP3B, Curug, Kota Serang, Kamis (16/4).
Hadir dalam kesempatan tersebut pembicara lain yakni Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Mabes Polri Komjend Pol Putut Eko Bayuseno, Direktur Pembinaan Kemampuan BNPT Brigjend Yudi Supayadi dan Ketua majlis Ulama Indonesia (MUI) Banten KH Sybli Sarjaya.
Dikatakan KH Hasyim, banyaknya WNI yang diduga menjadi anggota ISIS sebagai bukti lemahnya pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap persoalan terorisme atau paham radikal. Padahal, paham radikal yang sering menyebabkan teror terhadap orang lain muncul dari daerah hulu ke hilir.
“Yang harus kita pikirkan semua saat ini adalah mengapa paham radikal selalu ada. Kalau gerakan radikal mungkin bisa diperangi oleh aparat, namun paham dan keyakinannya hingga saat ini belum bisa ditangkal,” ungkapnya, kemarin.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melibatkan peran alim ulama untuk memberikan pencerahan mindset (pola pikir) orang-orang yang memiliki paham radikal, sebagai langkah antisipasi terjadinya tindakan terorisme, salah satunya ISIS. Ini biasanya terjadi di sektor hulu. Sedangkan di sektor hilir, baru aparat kepolisian yang melakukan tindakan secara masif, jika kegiatan terorisme itu ada.
“Selama ini menurut saya, pencegahan belum pernah dilakukan, karena pemerintah tak satu kalipun melibatkan orang yang mengerti tentang ajaran Islam (ulama,red). Intinya, ulama tidak dipungsikan di hulu oleh pemerintah. Percuma tindakan radikalime diperangi jika pahamnya sendiri tidak dicegah,” ujar mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlotul Ulama (PBNU) ini.
Dari 500 WNI yang diduga menjadi anggota ISIS tersebut, KH Hayim tak menampik diantaranya ada warga Banten. Namun mantan Calon Wakil Presiden (Cawapres) di Pemilu 2004 tersebut tidak menjelaskan secara detail total warga Banten yang diduga menjadi anggota ISIS. “Data itu nanti bisa ditanyakan ke pihak yang memiliki kewenangan untuk menjawab soal itu,” kilah Hasyim.
Saat disinggung kegiatan yang dilakukan Wantimpres untuk mencegah gerakan radikalisme termasuk ISIS, Hasyim mengaku pihaknya sudah memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI untuk segera mengeluarkan payung hukum (aturan) terkait pelarangan paham-paham radikal.
“Yang ada selama ini kan Undang-Undang (UU) Penanggulangan Terorisme. Istilahnya, orang langsung diberikan sanksi atau ditangkap ketika mereka melakukan pengeboman. Namun ketika ada orang yang memiliki paham radikal dibiarkan. Padahal paham itu yang sangat berbahaya dan menjadi cikal bakal gerakan terorisme termasuk ISIS. Ini yang hingga sekarang belum ada payung hukumnya sehingga aparat tidak serta memenjarakan orang yang memiliki paham radikal. Harus diketahui juga anggota ISIS yang ada di Palestina misalnya. Mereka tidak memerangi orang-orang Yahudi termasuk Israel, melainkan memerangi orang Islam sendiri yang tak sepaham dengan mereka seperti Hamas dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), begitu juga ISIS yang ada di Iraq dan Syria,” ujar KH Hasyim.
Menurutnya, pengawasan kegiatan radikal di daerah termasuk di Banten juga cukup lemah. Itu terbukti dengan adanya beberapa anggota ISIS yang ditangkap di wilayah Tangerang Selatan (Tangsel) beberapa waktu lalu dan adanya dugaan markas teroris di sekitar Kampus UIN Syarif Hidayatullah Kota Tangsel.
“Makanya aparat di daerah juga harus bisa mengantisipasi dengan melibatkan semua stakeholder,” paparnya, seraya mengakui mayoritas warga yang menganut paham radikal tidak memahami substansi ajaran Islam yang rahmatan lilalamin.
Kapolda Banten Brigjend Pol Boy Rafli Amar menyatakan, upaya menangkal paham radikalisme di wilayah Banten, dilakukan dengan dua tahap yakni berupa preventif (pencegahan) dan refresif (tindakan). Preventif dilakukan dengan operasi rutin yang digelar oleh anggota Sabhara dan Samapta. Sementara Refresif dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror.
“Makanya kita terus melakukan koordinasi dengan semua stakeholder di Banten, untuk menangkal paham dan ajaran ISIS ini,” ujarnya.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Mabes Polri, ada empat daerah di Tanah Air yang rawan dimasuki paham radikal berupa ISIS, diantaranya Jawa Tengah (Jateng), Jawa Barat (Jabar), Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Banten. “Makanya Polri juga akan melakukan kegiatan yang sama di Jateng, Sulsel dan Jabar,” papar Kapolda.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten Rano Karno menyatakan, Banten memiliki sejarah pernah menjadi tempat latihan teroris. Oleh karena itu, ia juga berharap semua stakeholder di Banten berupaya untuk kembali memahami ajaran Islam yang benar. “Yang bahaya memang paham radikal, ketimbang gerakan. Makanya saya setuju ulama dilibatkan dalam penanggulangan paham radikalisme,” jelas Rano. (ahmadi/mardiana/jarkasih)