Halte “Asmara” di Jalan Bojong-Pemda
TIGARAKSA,SNOL—Halte pertigaan Jalan Bojong-Pemda berubah menjadi tempat mangkalnya para waria dan Wanita Tuna Susila (WTS) di malam hari. Ironisnya aktifitas ini berlangsung lama tanpa ada penertiban dari Satpol PP.
Kondisi ini pun menjadi pekerjaan rumah Pemkab Tangerang, terutama dalam menegakkan motto cerdas dan religus.
Pantauan Satelit News, aktifitas waria biasanya mulai sekitar pukul 24.00 Wib dimulai dari halte “asmara” pertigaan lampu merah Jalan Bojong-Pemda atau dikenal gerbang Pemkab Tangerang. Jumlahnya bervariasi kadang 3 hingga 5 waria yang mangkal mengenakan pakaian seksi ala wanita.
Mereka terlihat berjalan layaknya model seksi di tepi jalan, untuk menggoda sejumlah sopir atau pengendara yang melintas. Sedangkan WTS, modusnya cukup rapi yakni dengan dibonceng oleh teman pria sambil menunggu dapat tumpangan dari pria hidung belang. Saat tersorot lampu kendaraan yang melintas terkadang ia memalingkan wajahnya, agar tak mudah dikenali.
Kusuma salah satu pengendara mengaku seringkali melihat para waria mangkal di jalan tersebut usai pulang kerja. Menurutnya, pemandangan tersebut sangat tidak lazim karena di jalan menuju Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang, meski pada malam hari. Ia menduga halte “asmara” ini menjadi tempat mangkal karena gelap dan remang-remang.
“Ya sering lihat, kadang ada kadang tidak. Aneh juga seperti dibiarkan Satpol PP. Mungkin karena beroperasinya tengah malam hingga dini hari kali. Terus di area halte juga sangat gelap, harusnya dikasih penerangan jalan.
Lebih baik pemerintah memberikan pembinaan kepada mereka agar tidak lagi menjajakan diri di jalanan, kan risih liatnya,” keluhnya, kemarin.
Sementara itu, pemerintah berdalih minimnya tempat penampungan atau rehabilitasi sosial bagi WTS dianggap menjadi faktor utama maraknya prostitusi di jalanan. Kasi Rehabilitasi Tuna Sosial dan Korban Narkotika, Dinas Sosial Kabupaten Tangerang Susilowati mengatakan, data terakhir tahun 2014 lalu sebanyak 626 WTS yang tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Tangerang. Setiap tahunnya jumlah WTS selalu meningkat dan rata-rata adalah warga pendatang yang eksodus ke kabupaten.
“Tiap tahunnya bukan berkurang tapi malah bertambah. Rata-rata mereka datang dari Surabaya, Bandung dan beberapa kota lainnya. Sulit buat kita untuk mendata ulangnya,” ujar Susi.
Lanjut Susi, sebenarnya penyebab utama para wanita menjadi WTS karena adat budaya di daerah asal serta pergaulan yang mereka alami. Tercatat di beberapa wilayah seperti Solear, Cisauk, Cisoka, Pakuhaji dan Dadap menjadi daerah tempat berkumpulnya para WTS. Paling banyak terdapat di daerah Kelapa Dua, sebanyak 22 panti pijat dan tempat pemandian air hangat yang sering dijadikan pijat plus-plus.
“Kan kehidupan seseorang kita enggak tahu, bagaimana asal usulnya, bagaimana latar belakang keluarganya. Jadi begitu datang ke kabupaten bukan untuk mencari pekerjaan tetap, tapi malah menjadi PSK,” tandas Susi.
Kasi Pelayanan Sosial Anak, Lansia, Orang Terlantar dan Cacat Dinas Sosial Kabupaten Tangerang, Lili Amalia menambahkan, untuk sementara penanganan rehabilitasi sosial bagi WTS oleh Dinas Sosial Kabupaten Tangerang yakni dengan mengirimnya ke panti rehabilitasi milik Pemerintah Provinsi DKI di Pasar Rebo Jakarta Selatan dan di Kecamatan Kemiri.
“Kabupaten Tangerang kan belum punya panti rehabilitasinya, sementara ini kita hanya menumpang milik Pemprov DKI,” tandasnya.
Lili menjelaskan panti rehabilitasi sangat penting fungsinya, Pemerintah Kabupaten Tangerang juga diharapkan memiliki tempat Lingkungan Pondok Sosial (Liposos). Pertama untuk memberikan keterampilan bagi WTS agar tidak kembali lagi menjajakan tubuhnya. Kedua sebagai tempat sosialisasi bagi penyandang status WTS.
“Yaa mudah-mudahan panti yang ada di Kecamatan Jayanti bisa dengan segera kita gunakan, supaya berkurang atau mungkin tidak ada lagi para WTS yang masih berkeliaran menjajakan tubuhnya kepada para laki-laki hidung belang,” pungkasnya. (mg27/aditya)