Hallo, Saya Ibu dari 25 Anak Laki-Laki…

Boks Farahdiba

Sebagai Sekjen Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Farah Dhiba Tenrilemba gencar mempromosikan kegiatan breastfeeding (menyusui) bagi para ibu di Indonesia. Meski menyandang status single parent, dia tidak sekadar membesarkan putra kandungnya, melainkan juga merawat 24 remaja asuhannya. Dhiba menjadi ibu sekaligus sahabat.
SEKARING RATRI A, Jakarta

“Hallo, saya Dhiba. Saya ibu dari 25 anak laki-laki.” Kalimat tersebut selalu terucap dari Farah Dhiba Tenrilemba saat memperkenalkan diri di hadapan publik ketika memberikan pelatihan atau tengah melakukan konseling.
Mendengar perkenalan ala Dhiba, pasti banyak orang yang terkejut. Sebab, Dhiba bertubuh mungil. Hampir tidak mungkin perempuan berjilbab tersebut memiliki 25 anak. Apalagi, usianya baru 33 tahun.
Memang, hanya satu anak yang merupakan putra kandungnya. Selebihnya adalah anak asuh. Meski 24 anak lainnya tidak lahir dari rahimnya, Dhiba berperan sebagai ibu, kakak, sekaligus sahabat bagi para remaja yang semua laki-laki itu.
Mereka adalah anak-anak kaum duafa yang diseleksi Dhiba dari sejumlah daerah pelosok di Sulawesi Selatan (Sulsel). Mereka terpilih untuk mendapat beasiswa pendidikan dari yayasan milik keluarga Diba, Yayasan Muslim Jabal
Haq. Di yayasan itu, Dhiba menjadi direktur utama.
Dhiba menuturkan, pihaknya sengaja memilih remaja laki-laki dengan berbagai pertimbangan. Antara lain, mereka mulai bisa mandiri tanpa bergantung kepada orang tuanya. “Saya ingin ajarkan kepada mereka bagaimana mengurus diri sendiri. Kenapa Sulsel? Sebab, saya Bugis 24 karat. Jadi, untuk saat ini, saya berfokus pada anak kampung saya dulu deh,” urai Dhiba ketika ditemui Jawa Pos kemarin (31/1).
Dua puluh empat remaja anak asuh Dhiba itu tinggal di sebuah rumah yang disebut Rumah Kayu. Rumah tersebut mirip rumah panggung khas Sulsel. Mereka merasa berada di http://mothershipton.co.uk/cialis-pfizer-canada asrama. Ada dua orang yang mendampingi aktivitas para remaja itu sehari-hari dan seorang juru masak yang mengurus mereka.
Rumah Kayu berlokasi di Jatiasih, Bekasi. Letaknya memang cukup jauh dari tempat tinggal Dhiba di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Meski begitu, hampir setiap hari Dhiba menyambangi anak-anaknya itu.
Dia mengakui, dirinya belum bisa menambah jumlah anak asuhnya. “Mampunya baru segitu. Meski begitu, tantangannya lumayan dan menyenangkan,” tuturnya.
Dhiba mengisahkan, awal 2011, dirinya mulai melakukan scouting untuk menyeleksi anak-anak yang berhak mendapat beasiswa pendidikan yayasannya. Syaratnya, mereka merupakan anak yatim atau duafa, laki-laki, cerdas, seusia SMA, dan mau tinggal di Jakarta selama tiga tahun. “Awalnya, nilai sekolahnya kami standarkan rata-rata 8, tapi ternyata susah. Akhirnya kami turunkan jadi 7,5,” ujarnya.
Dhiba juga mewawancarai orang tua calon penerima beasiswa. Dia perlu memastikan bahwa orang tua mereka bersedia melepas si anak untuk bersekolah di ibu kota. Selama tiga tahun, anak-anak tersebut juga tidak boleh pulang ke rumah. “Saya berikan surat perjanjian yang isinya, jika tidak bisa perform selama mengikuti pendidikan di Jakarta, anak mereka akan dikembalikan ke sekolah asalnya di kampung halaman. Jadi, mereka tidak putus sekolah,” jelas alumnus Jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia itu.
Scouting memakan waktu empat bulan. Anak-anak tersebut datang ke Jakarta pada Juni 2011. Lantaran nilainya bagus-bagus, kebanyakan bisa melanjutkan sekolah di sekolah-sekolah negeri di http://steelasophical.com/cialis-en-gel Bekasi seperti SMA Negeri 6, 7, dan 11.
Sebelum mereka masuk sekolah, Dhiba memberikan pembekalan selama tiga minggu. Salah satu pembekalan tersebut terkait dengan upaya adaptasi para remaja dari daerah itu di sekolah ibu kota. “Karena dari daerah, mereka kadang jadi sasaran olok-olok temannya. Makanya, mereka perlu saya beri bekal agar pede,” tegasnya.
Pada gelombang I, yayasan menerima 18 remaja dari berbagai pesantren di Sulsel. Tapi, untuk gelombang II, yayasan lebih selektif dan hanya menerima enam anak kaum duafa yang merupakan lulusan sekolah-sekolah favorit di Sulsel. “Kami tidak mengambil dari pesantren lagi.”
Sebagian besar remaja itu cepat beradaptasi dalam pergaulan di sekolah. Namun, dalam akademis, mereka tertinggal. Dhiba pun harus bahu-membahu dengan adik-adiknya untuk memberikan les pelajaran tambahan. “Saya ajari mereka bahasa Inggris. Adik saya mengajari kimia. Namun, bila saya sulit membagi waktu, saya panggil guru privat untuk mengajari mereka,” papar perempuan yang biasa disapa Mami Dhiba tersebut.
Dalam sekejap, nilai pelajaran anak-anak mulai membaik. Para remaja tersebut mulai bisa mengimbangi nilai akademis murid-murid reguler.
Di samping sekolah, Dhiba memiliki sejumlah program bagi anak-anak asuhnya tersebut. Antara lain, pembentukan entrepreneurship, leadership, kreatif musik, hingga pengenalan profesi. “Kebetulan, dari keluarga besar saya ada yang jadi pengusaha, ada yang aktif berorganisasi. Jadi, source-nya ya adik-adik dan saya sendiri,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Dhiba juga mengadakan semacam kelas inspirasi sebulan sekali di Rumah Kayu. Kelas-kelas tersebut dikelola para profesional dari berbagai profesi. “Ada pengusaha, dokter, guru, pilot, tentara, hingga social media entrepreneur,” tambahnya
Sebagai bagian dari implementasi program-program tersebut, kata Dhiba, anak-anak asuhnya diberi tanggung jawab untuk mengelola sebuah event. Salah satunya adalah pesantren kilat saat Ramadan. Dari event tersebut, mereka bisa belajar banyak hal. “Mulai menggalang dana, meng-organize peserta dari luar, sampai memastikan event berlangsung lancar.,” ujarnya.
Namun, memboyong anak-anak daerah ke Jakarta ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Dhiba menuturkan, meski sebagian besar anak asuhnya adalah remaja yang taat beribadah dan berperilaku baik, ada beberapa yang cukup merepotkan.
Pada empat bulan pertama, ada dua anak yang memiliki perilaku buruk. Keduanya bandel. Ketika teman-temannya sibuk membersihkan Rumah Kayu, mereka tak mau bekerja. Mereka juga senang membolos dari sekolah dan bermalas-malasan dalam belajar. Yang membuat Dhiba mengelus dada, keduanya mulai berani mencuri. “Karena saya wali sah mereka selama di Jakarta, saya harus melakukan sesuatu agar mereka tidak meracuni temannya yang lain,” bebernya.(*/c5/ari/jpnn)