M. Sarengat, Pelari Tercepat Asia yang Kini Tak Berdaya
M. Sarengat, mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa, kini hanya bisa tergolek lemah di tempat tidur. Pelari tercepat Asia pada Asian Games 1962 itu terkena stroke.
RIDLWAN HABIB, Jakarta
DUA untai tasbih tergantung di atas tiang infus yang mengalir ke tubuh Mohammad Sarengat. Tepat di sampingnya, sebuah tabung oksigen dan bloomsburgpa.org peralatan monitor tersambung ke tenggorokan pria 72 tahun itu.
“Ayo Pak, yang gembira. Ini mau difoto wartawan, nanti fotonya dilihat orang seluruh dunia, lho,” ujar Munir, terapis dan perawat yang mengurus Sarengat di rumahnya.
Disapa begitu, mata Sarengat berbinar-binar. Apalagi setelah melihat cucu lelakinya, Aldiano, berlari-lari kecil ikut bergabung. Tangan kanannya yang diikat sapu tangan di ujung ranjang ikut bergerak-gerak seakan ikut bersorak. “Tangan kanan Papa memang kami ikat karena sering menggaruk ke mana-mana. Takutnya bikin luka,” ujar Sari Sarengat, putri kedua, ibu Aldiano.
Istri Sarengat, Nani, sedang kurang enak badan. “Nyuwun sewu nggih Mas (permisi ya Mas) sama Sari dulu,” kata Nani yang kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, itu.
Menurut Sari, ayahnya terserang stroke sejak tiga tahun lalu. Saat itu bulan Ramadan 2009. Sarengat tiba-tiba jatuh dan harus dilarikan ke rumah sakit. “Papa sempat satu setengah bulan dirawat di rumah sakit,” ungkap Ayi, sapaan akrab Sari.
Sejak itu, Sarengat keluar masuk rumah sakit. “Kami kebetulan belum sempat mengurus asuransi Papa. Jadi, ya biayanya cukup besar,” imbuh Ayi.
Kini Sarengat menjalani home therapy (perawatan di rumah) di bawah pengawasan tiga terapis. Selain Munir, ada dua perawat lain yang mengurusi. Yang satu ahli pijat refleksi, satu lagi ahli fisioterapi.
Sarengat harus dipasangi tracheostomy di ujung tenggorokannya. “Sebab, dahaknya banyak. Maklum, stroke kan membuat otak pasien tidak bisa koordinasi mengeluarkan lendir,” jelas ibu muda itu.
Untuk asupan nutrisi, Sarengat juga harus menggunakan slang yang dipasang di perut dan langsung terhubung ke lambung. “Gigi Papa patah semua. Dulu sih masih bisa berkomunikasi dengan lisan,” katanya.
Sekarang keluarga besar Sarengat tinggal bersama di rumah peraih medali emas pertama nomor sprint 100 meter dalam Asian Games 1962 itu di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Rumah tersebut cukup luas, bertingkat, dan ada garasi yang cukup untuk tiga mobil.
Tepat di depan rumah ada restoran cepat saji paling besar di alamodest.com kawasan Kemang. “Kami menganut prinsip mangan ora mangan ngumpul,” tegas Ayi lantas tersenyum. Tentu, bukan itu alasan utamanya. “Kondisi pasien stroke itu benar-benar unpredictable. Jadi, kami semua boyongan tidur di sini,” ujarnya.
Sarengat punya tiga anak. Yakni, Meidy Sarengat, Sari (Ayi) Sarengat, dan Andung Sarengat. “Kami tidak ada yang kuliah di kedokteran. Jadi, tidak tahu apa yang harus diperbuat bila sewaktu-waktu terjadi sesuatu terhadap Papa,” kata alumnus FE Universitas Pancasila, Jakarta, tersebut.
Ayi mengaku cukup surprised ketika awal Februari lalu Menpora KRMT Roy Suryo bersama rombongan besar mengunjungi papanya. “Halaman rumah ini sampai penuh,” katanya.
Sejak sakit, memang hanya teman-teman dekat Sarengat yang menjenguk. Pejabat yang datang baru Roy Suryo. “Mungkin kalau Pak Andi (Andi Mallarangeng, Menpora sebelumnya, Red) sedang sibuk dengan Hambalang ya,” sindir Ayi.
Sebelumnya, ketika teman-teman Sarengat menjenguk dan Sarengat masih bisa berkomunikasi, tak jarang mereka bercengkerama. “Bahkan, Papa mengajak karaoke segala,” tuturnya.
Sarengat merupakan pensiunan dokter TNI-AD. Dia juga pernah menjadi Sekjen KONI. “Papa jabat Sekjen, kalau tidak salah, saat Mbak Susi Susanti dapat emas di Olimpiade (1992),” ungkap Ayi.
Saat masih aktif menjadi dokter TNI-AD, Sarengat pernah menjadi dokter wakil presiden. Dua periode, yakni pada zaman Sri Sultan HB IX dan Adam Malik. Setelah pensiun, dia mendirikan klinik Sport Wijayakusuma yang berfokus pada rehabilitasi pecandu narkoba.
Menurut Ayi, awalnya ayahnya didiagnosis mempunyai kelainan katup jantung. Detak jantungnya bermasalah. Kata dokter, itu terjadi karena pada masa muda jantungnya sering dipacu secara keras dan terus-menerus. Ayi mengibaratkan sebuah mobil yang sering dipakai balapan. “Setelah itu, didiamkan bertahun-tahun di garasi,” katanya. Sejak aktif menjadi dokter, Sarengat memang jarang berolahraga berat.
Berkat prestasi dan jasanya bagi bangsa ini, nama Sarengat diabadikan untuk nama stadion di Batang, Jawa Tengah, tanah leluhurnya. “Biasanya saat Lebaran dulu kami sewa bus mudik ke Batang. Selain bersilaturahmi dengan keluarga di sana, kami meninjau stadion yang diberi nama ayah itu,” cerita Ayi merujuk pada stadion sepak bola M. Sarengat di Batang. (*/c5/ari/jpnn)