Kualitas Air Sungai Cisadane Menurun
TANGERANG,SNOL Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di Tangerang yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangsel telat mengantisipasi ancaman krisis air bersih yang melanda saat musim kemarau.
Demikian dinyatakan Direktur Eksekutif Wahana Hijau Fortuna (WHF), Romly Revolvere menanggapi krisis air bersih di wilayah Tangerang.
Menurut Romly, pihaknya sering mengingatkan ketiga Pemda tersebut untuk mengantisipasi persoalan ancaman krisis air bersih tersebut. Pasalnya ditiga wilayah ini secara massif terjadi alih fungsi lahan, hancurnya tata ruang serta semakin menyusutnya ruang terbuka hijau serta area tangkapan air. Selain itu, menurut Romly beberapa hal lain juga turut menjadi faktor yang mempercepat terjadinya krisis air bersih di Tangerang.
“Ekosistem mangrove di wilayah pesisir utara Tangerang hancur sehingga menyebabkan terjadinya intrusi air laut, penggunaan air bawah tanah oleh industri yang massif yang tidak terkendali serta semakin merosotnya kuantitas serta kualitas air Cisadane,” tambahnya.
Menurut Romly, perlu upaya serius dan terintegrasi untuk mengatasi persoalan ancaman krisis air bersih tersebut. Diantaranya reorientasi kebijakan pemerintah daerah yang mengedepankan aspek kelestarian lingkungan hidup.
“Harus terjadi pergeseran paradigma pembangunanisme, jangan hanya mengedepankan aspek ekonomis dengan mengenyampingkan aspek ekologis, apa yang terjadi saat ini akibat kesesatan paradigma pembangunan tersebut.”
Secara teknis Romly mengusulkan agar segera dilakukan inventarisasi dan pengendalian penggunaan air bawah tanah oleh industri, revitalisasi Cisadane dari hulu sampai ke hilir serta memulihkan ekosistem di wilayah pesisir utara Tangerang.
“Saya kira tiga prioritas ini bisa menjadi agenda mendesak Pemkab Tangerang, Tangsel dan Kota Tangerang, selain memperbanyak pembangunan waduk untuk cadangan air permukaan,” pungkasnya.
Dia mengungkapkan Sungai Cisadane sebagai salah satu sumber air bersih di tiga wilayah Tangerang kualitasnya semakin menurun. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya Cisadane belum pernah dinormalisasi. Maka itu, untuk mengantisipasi kasus krisis air bersih di kabupaten Tangerang adalah dengan melarang pabrik menggunakan air bawah tanah.
“Pemerintah daerah harus menyediakan infrastruktur air PAM sesuai kebutuhan industri sehingga tidak terjadi perebutan sumber daya air oleh korporasi,” ucapnya.
Selain itu, Sungai Cisadane sebagai sumber bahan baku air PAM harus segera dinormalisasi dan direvitalisasi. Dikatakannya juga, Sungai Cisadane mengalami kerusakan dari hulu hingga ke hilir. Kondisi Cisadane di hilir mengalami pendangkalan yang luar biasa. Hal ini diperparah oleh pencemaran baik oleh limbah domestik maupun industri. Warga di hilir Cisadane dari tahun ke tahun menjadi korban dan saat musim hujan dilanda banjir.
“Sementara pada saat debit air Cisadane kecil, mereka menggunakan air yang tercemar untuk keperluan mandi dan mencuci. Hingga saat ini belum ada upaya serius merevitalisasi sungai Cisadane baik dari pemerintah pusat maupun pemda,” ujarnya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan, 4.000 lebih pabrik di Kabupaten Tangerang sebagian besar menggunakan air bawah tanah. Bahkan tiap pabrik menggunakan lebih dari dua titik penyedotan air bawah tanah dengan menggunakan pompa satelit.
Sebelumnya, Kepala Bendung Pintu Air 10 Pasar Baru Tangerang, Sumarto, mengatakan, kondisi debit air Sungai Cisadane Tangerang, Banten, semakin berkurang pada musim kemarau, dan kini masuk ke kategori kritis. Akibatnya, seluruh pintu air yang berjumlah 10 pintu tidak dibuka agar debit air di Sungai Cisadane yang masuk dalam wilayah Kota Tangerang tetap ada. Walikota Tangerang, Arief R Wismansyah meminta pemerintah pusat membuat hujan buatan untuk mengatasi minimnya debit air baku di Sungai Cisadane. (mg26/uis/gatot/satelitnews)