Yu Sing, Pelopor Gerakan Arsitek Rumah Murah Indonesia
Dalam Sekejap Langsung Dapat 80 Klien
JAKARTA,SNOL NUANSA alam terasa begitu kental di ruangan 8 x 10 meter itu. Kayu dan bambu tampak mendominasi bagian atap, dinding, lantai, hingga perabotan di dalamnya. Letak jendela dan ventilasi yang apik seolah mempersilakan cahaya dari luar masuk menerangi ruangan tanpa harus menyalakan lampu. Begitu pula angin semilir yang menyelusup di celah-celah bilik bambu, menyejukkan ruangan tak ber-AC itu.
Di luar, dedaunan dan batang bambu menari dibelai angin. “Mestinya semua rumah bisa menghadirkan sensasi seperti ini,” ujar Yu Sing saat ditemui Jawa Pos Rabu pekan lalu (24/7).
Itulah gambaran kantor Studio Akanoma yang dikelilingi kebun bambu. Letaknya agak terpencil. Dari jalan aspal di Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, masih masuk sekitar 1,5 kilometer melalui jalan pedesaan. Lalu naik ke perbukitan.
Akanoma adalah singkatan dari Akar dan Anomali. Akar merujuk pada makna potensi alam dan persoalan mendasar yang dihadapi manusia. Anomali menggambarkan sosoknya yang tidak ingin larut dalam arus besar (mainstream) dunia arsitektur.
Di tempat itulah pria kelahiran Bandung, 5 Juli 1976, tersebut memupuk idealismenya sebagai seorang arsitek. Idealisme itu tumbuh dan berkembang, membuahkan berbagai program seperti Desain Rumah Murah dan Papan untuk Semua.
Yu Sing mengakui, setelah menimba ilmu arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus pada 1999, dirinya sempat menjadi bagian dari “arsitek biasa” yang memenuhi order klien tentang desain rumah atau bangunan yang diinginkan. Ketika itu, saat krisis moneter, profesi arsitek seakan meredup seiring dengan terpuruknya sektor properti.
“Saat itu banyak arsitek di-PHK developer (perusahaan pengembang properti, Red). Bersama seorang teman yang juga baru lulus kuliah, saya memutuskan untuk merintis usaha konsultan arsitek sendiri. Kantornya kami namai Genesis. Tapi, tidak lama setelah itu, teman saya kerja di Singapura. Sehingga saya sendirian mengurus Genesis yang menjadi cikal bakal Akanoma,” kenangnya.
Pengalamannya mendesain rumah murah dimulai ketika dia membangun rumah sendiri pada 2004 di Cimahi, Bandung. Ketika itu suami Jane Tanggalung tersebut memimpikan rumah yang asyik untuk ditinggali, ramah lingkungan atau green building (hemat energi, hemat penggunaan bahan kimia seperti cat), serta memanfaatkan banyak unsur alam seperti kayu dan materi daur ulang semisal pecahan marmer maupun keramik bekas.
Melalui perenungan dan olah kreasi, terwujudlah rumah dua lantai dengan luas bangunan sekitar 100 meter persegi di atas lahan 136 meter persegi. Total biaya pembangunan rumah itu sekitar Rp 180 juta. Hasil yang memuaskan membuat orang tuanya juga ingin dibuatkan rumah dengan konsep yang sama. “Saat itu saya makin yakin, dengan memanfaatkan potensi dan bahan-bahan dari alam, rumah murah dengan desain menarik bisa diwujudkan,” ucapnya.
Setelah itu, daya kreasi dan imajinasi Yu Sing terus mengeksplorasi desain-desain untuk rumah dengan biaya terjangkau alias rumah murah. Dia pun lantas menawarkan konsepnya kepada beberapa perusahaan pengembang dan calon klien. Namun, idenya yang di luar mainstream tersebut membuatnya tidak mudah diterima.
Mimpi Yu Sing awalnya sederhana: setiap tahun bisa membuat lima desain rumah murah untuk masyarakat dengan uang pas-pasan yang ingin membangun rumah. “Jika saya dianugerahi umur panjang, misalnya 20 tahun ke depan, setidaknya saya bisa membantu membuatkan seratus desain rumah murah. Paling tidak, itulah sumbangsih saya dalam memasyarakatkan arsitektur,” ucapnya.
Ayah Arga Kaleb Prabhaswara tersebut mengakui, selama ini dunia arsitektur seolah dijauhkan dari masyarakat kurang mampu. Seolah arsitektur hanya dimonopoli orang-orang kaya yang ingin membangun rumah mewah dan bangunan megah.
Rupanya, kondisi itu memiliki efek yang tidak sepele. Karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah kelompok kelas menengah dan bawah yang tidak mampu menjangkau biaya jasa arsitektur, rumah-rumah mereka dibangun seadanya, tanpa desain arsitektur yang sehat dan enak dilihat. Akibatnya, wajah fisik sebuah kota atau suatu wilayah menjadi tidak sedap dipandang, menghadirkan suasana sumpek dan muram.
“Bayangkan kalau rumah-rumah itu dibangun dengan arsitektur dan perencanaan yang baik, tidak harus mahal, pasti wajah kota menjadi lebih tertata dan enak dilihat. Masyarakat yang tinggal di situ pun bisa bangga dengan rumahnya dan lebih peduli merawat lingkungannya,” tutur dia.
Ide tersebut terus disuarakannya, baik di lingkungan para arsitek yang tergabung dalam Asosiasi Arsitek Indonesia (AIA) maupun perkumpulan lainnya. Namun, ide itu jadi perbincangan ramai setelah pada 2007 Yu Sing menulis opini di sebuah harian ibu kota. Opini tersebut berisi tentang pentingnya desain arsitektur bagi masyarakat kurang mampu. Dalam artikel itu, dia juga menyatakan kesediaannya untuk membantu mendesainkan rumah murah bagi siapa yang membutuhkan jasanya.
Undangannya langsung mendapatkan respons dari 80 orang yang ingin digambarkan arsitektur rumah murahnya. Kebanyakan calon pengantin atau keluarga muda yang ingin membangun rumah, namun dananya terbatas. Tapi, ada pula yang sudah memiliki rumah dan ingin merenovasinya.
Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia, mulai Aceh, Pekanbaru, Jakarta, hingga Papua. Profesi mereka beragam. “Ada karyawan swasta, buruh, guru, PNS, dan polisi. Ada pula pekerja perkebunan karet di Sumatera yang untuk mengirim e-mail saja harus pergi jauh ke warnet dan meminta tolong penjaga warnet untuk membantunya mengirim e-mail,” ceritanya sambil geleng-geleng kepala.
Dengan tekun Yu Sing membalas surat elektronik yang masuk itu satu per satu. Sebelum mendesain rumah, dia meminta beberapa data teknis. Misalnya luas tanah, luas bangunan yang diinginkan, serta posisi tanah (arah mata angin). Juga data nonteknis seperti jumlah keluarga, pekerjaan, hobi anggota keluarga, hingga adakah filosofi daerah yang ingin dimunculkan dalam desain rumahnya.
Begitu mendapatkan data, Yu Sing mulai bekerja. Hasil desain lantas di-e-mail balik ke para pengirim. Beberapa rumah akhirnya berdiri dengan desain arsitekturnya. Tapi, ada pula yang belum terwujud karena dananya belum cukup.
Puluhan desain itulah yang kemudian dituangkannya dalam buku Mimpi Rumah Murah. Dalam buku tersebut dia menukilkan delapan desain rumah dengan konsep yang berbeda-beda. Yakni Rumah Daur Ulang, Rumah Perpaduan Tradisi Lokal dan Masa Kini, Rumah Mimpi Buruk dan Mimpi Indah, Rumah Publik, Rumah Liburan, Rumah Cinta Segi Tiga (Hobi, Pekerjaan, dan Jalan Hidup), Rumah 700 Pohon, serta Rumah Desa.
Namun, pengalaman mendesain rumah murah itu ternyata kerap membawa konsekuensi di kemudian hari. Sebab, banyak masyarakat kurang mampu yang akhirnya kebingungan menyelesaikan rumahnya. Maka, selain membantu desain rumah murah, Yu Sing tidak jarang merogoh koceknya untuk membantu biaya pembangunan rumah kliennya. Dia pun menggandeng beberapa rekannya untuk menggalang dana dengan skema crowd funding, salah satunya melalui komunitas wujudkan.com.
“Salah satunya di Dago (Bandung), ada rumah yang sudah tua, mau roboh, kami desain ulang, lalu dibangun dengan dana Rp 27 juta,” kisahnya.
Program filantropi semacam itu lantas berlanjut melalui aksi Papan untuk Semua. Bukan hanya itu, Yu Sing juga aktif dalam kegiatan Habitat for Humanity, sebuah lembaga nirlaba internasional yang membantu masyarakat kurang mampu untuk memiliki atau memperbaiki rumah dengan sistem menabung secara berkelompok. Di Indonesia lembaga ini mengusung slogan “Good Design for Everyone”.
Ketika diundang sebagai pembicara di forum seminar atau diskusi kampus, Yu Sing juga selalu menyebarkan virus kepada para arsitek muda agar lebih peduli kepada masyarakat kurang mampu. Hasilnya, kini muncul arsitek-arsitek muda di beberapa kampus yang membentuk jaringan advokasi desain rumah murah di wilayah masing-masing.
Dengan perhatiannya yang begitu besar pada desain rumah murah, apakah usaha jasa konsultan Yu Sing meredup” Tidak juga. Saat ini, dengan dibantu empat staf di Studio Akanoma, Yu Sing bisa mendapatkan hingga 20 proyek desain dari klien-klien besar setiap tahun. “Kami hanya bisa bersyukur,” ujar arsitek dengan karakter unik tersebut. (*/c9/ari/jpnn)