Sanggar Rumah Kembang, Upaya Mahasiswa UI Ajak Anak-Anak Pemulung Mandiri

F-ANAK2 SANGGAR RUMAH KEMBANG-DOK PRIBADI JPNN

SEMULA HANYA LULUS SD, KINI ADA YANG KULIAH

Anak-anak pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, punya harapan hidup baru. Mereka diajari untuk mandiri agar bisa mentas dari tempat kumuh tersebut. Hasilnya, empat pemulung kini menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

GUNAWAN SUTANTO, Jakarta

ANAK-anak pemulung itu tergabung di Sanggar Kreatif Rumah Kembang (SKRK) binaan para mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Mereka mendapat pembinaan dalam berbagai bidang, mulai kerajinan, baca-tulis, kewirausahaan, hingga pendidikan formal.

“Sebenarnya sudah lama mereka mendapat pembinaan dari Sekolah Alam Tunas Mulia. Kami hanya mengembangkannya lebih lanjut,” kata Barlian Juliantoro, mahasiswa Prodi Sastra Arab, Fakultas Bahasa, UI, salah seorang inisiator Sanggar Rumah Kembang (Rumah Masyarakat Bantang Gebang).

Dalam beraktivitas Barlian selalu bersama lima kawannya. Yakni, Dimas Agung Saputra (mahasiswa ilmu komputer), Muhammad Hanif (hubungan internasional), Jimny Hilda Fauzia (psikologi), dan Chalida Zia Firdausi (kesehatan masyarakat).

Barlian menceritakan, semua bermula dari kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis Nurul Fikri (PPSDMS NF) tahun lalu. Ketika itu Barlian dan kawan-kawannya membuat program pengabdian untuk masyarakat Bantar Gebang.

Dari situ mereka melanjutkan kegiatan bersama sekolah nonformal, Sekolah Alam Tunas Mulia, dengan mengadakan pesantren Ramadan. Cara ini dipandang efektif untuk menjajaki potensi dan persoalan yang dihadapi anak-anak kurang beruntung itu.

Melalui pendekatan itu para mahasiswa menemukan beberapa masalah. Yang utama adalah kurangnya motivasi anak-anak itu untuk keluar dari kemiskinan. “Mereka seperti terjebak pada mitos bahwa anak pemulung besarnya nanti juga jadi pemulung,” ungkap alumnus SMA Negeri 5 Depok, Jawa Barat, itu.

Anak-anak yang mau menempuh pendidikan kebanyakan justru perempuan. Itu pun paling tinggi hanya SMP. Setelah itu mereka ikut orang tua menjadi pemulung.

Anak laki-laki umumnya hanya lulusan SD. Bahkan, beberapa anak tidak sampai tamat dan memilih menjadi pemungut sampah. Anak-anak itu terbiasa mencari uang guna memenuhi kebutuhan sesaat dan sering tidak penting. Misalnya, untuk merokok atau minum minuman keras.

Sedikit dari anak-anak itu yang punya pemikiran untuk mengumpulkan sebagian uang hasil memulung untuk biaya pendidikan ke depan. “Kondisi ini juga kurang mendapat perhatian dari lingkungan sekitar mereka,” papar Barlian ketika dihubungi Minggu lalu.
Berdasar kenyataan seperti itu, kelompok mahasiswa UI itu lalu melanjutkan pendampingan dengan semakin sering menyelenggarakan kegiatan di Bantar Gebang.

Bahkan, setiap minggu mereka berusaha mengunjungi anak-anak asuh mereka. “Setiap Sabtu kami bergantian datang untuk memberikan pendampingan,” lanjut pemilik akun Twitter @barli_toro itu. “Kami memanfaatkan kelas belajar di Sekolah Alam Tunas Mulia untuk mengajak anak-anak itu belajar kembali,” tambah pemuda kelahiran 10 Juli 1992 tersebut. Apalagi, selama ini Sekolah Alam Tunas Mulia sudah memberikan pendidikan kejar (kelompok belajar) paket B dan C bagi anak-anak Bantar Gebang.

Barlian mengatakan, untuk memecahkan persoalan pendidikan anak-anak di Bantar Gebang diperlukan pendekatan yang lebih personal. Tujuannya agar lebih mudah membawa anak-anak itu pada pola pikir yang lebih luas. Untuk itu, kegiatan setiap minggu dibuat bervariasi.

Barlian pernah mengajari anak-anak dengan games “Pohon Mimpi”. Setiap peserta diminta menuliskan cita-citanya di kertas. Minggu berikutnya games dilanjutkan dengan meminta anak-anak mewujudkan impiannya tersebut.

“Misalnya, ada anak yang bercita-cita menjadi guru. Pada pertemuan minggu berikutnya anak itu kami minta menjadi guru sungguhan. Dia harus menerangkan sesuatu kepada teman-temannya di depan kelas,” ujarnya.

Saat itulah para mahasiswa menyelipkan pesan tentang pentingnya sekolah untuk mewujudkan mimpi-mimpi anak-anak tersebut.
Setiap pekan kehadiran anak-anak dalam sekolah juga dievaluasi. Selain sekolah “formal”, mereka mendapat pelajaran tentang keterampilan. Tujuannya agar mereka memiliki kreativitas untuk mendapatkan uang lebih baik dan bisa mentas dari profesinya sebagai pemulung. Salah satunya membuat mozaik dari cangkang telur.

Dari keahlian membuat mozaik itu, kata Barlian, saat ini anak-anak sering mendapat order membuatkan mozaik. “Sistemnya pre-order. Bila ada pesanan, kami langsung mengerjakannya bersama-sama,” ungkapnya.

Yang membanggakan, mereka pernah mendapat order dari sebuah perusahaan otomotif. Perusahan itu memesan gambar wajah direksi mereka dari cangkang telur.

Barlian cs terus membina anak-anak pemulung itu hingga kapan pun. Mereka juga mengajari cara pemasaran ke wilayah yang lebih luas agar produksi kerajinan Sanggar Rumah Kembang makin dikenal. Misalnya, ketika Barlian dan kawan-kawan mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) di Lombok, NTB, beberapa waktu lalu. “Untuk menarik perhatian, ketika itu anak-anak saya minta membuat wajah Pak Nuh (Mendiknas) dan Presiden SBY dari cangkang telur,” paparnya.

Barlian mengaku terharu. Meski Sanggar Rumah Kembang belum lama beroperasi, sudah ada sejumlah anak yang layak menjadi contoh konkret. Empat anak akhirnya bisa melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah tinggi di Bekasi. “Apa pun, ini prestasi yang membanggakan. Mereka layak dijadikan contoh anak-anak yang lain,” tandasnya. (*/c2/ari/jpnn)