Cegah Penyalahgunaan Kekuasaan, Batasi Dominasi Politik Keluarga
JAKARTA,SNOL Fakta politik akibat politik dinasti adalah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan fasilitas daerah dan negara oleh pejabat daerah dan negara.
Agar tak terjadi dampak dari politik dinasti tersebut, pemerintah dan DPR diminta membuat aturan yang tegas tentang pembatasan dari keluarga dinasti maju pada Pilkada.
Artinya, keluarga inti dari dinasti politik boleh maju pada Pilkada setelah satu periode dari keluarganya selesai menduduki jabatan gubernur, bupati dan walikota.
“Pembatasan itu untuk memberi peluang kepada tokoh lain (bukan keluarga dinasti politik) dan sekaligus untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan, penyalahgunaan, dan korupsi. Sebab politik dinasti itu berpotensi besar untuk melakukan penyimpangan,” kata pengamat politik Indo Barometer M Qodari pada dialog kenegaraan bertema “Fenomena Politik Dinasti” di gedung DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7).
Menurut dia lagi, dinasti politik itu sangat berbahaya. Sebab berdasarkan fakta dinasti politik itu mampu membangun kekuatan kekuasaan dan uang, sehingga dalam proses politik di daerah kemungkinan besar akan terjadi penyalahgunaan birokrasi kekuasaan, dan juga uang seperti yang terjadi di berbagai daerah. Padahal kata dia meski pejabat yang bukan dinasti juga tidak ada jaminan bersih.
Namun demikian kata Qodari, politik dinasti itu tidak sederhana. Misalnya, tak sekadar suami, istri dan anaknya menjabat sebagai pejabat daerah atau negara, melainkan jika sudah berlangsung setidaknya tiga periode atau tiga generasi, dan selama itu membangun kekuatan politik struktural dan kapital, maka itu bisa disebut dinasti.
“Jadi saya setuju kalau kiprah mereka dibatasi,” ujarnya.
Qodari juga menyatakan masyarakat Indonesia sudah cerdas dalam memilih pemimpin di daerahnya. Banyak kasus di pilkada gubernur, pilkada bupati dan pilkada walikota yang digelar di sejumlah daerah, calon yang berasal dari satu dinasti keluarga terjungkal.
Selain Qodari, pembicara lainnya adalah senator DPD dari provinsi Banten Ahmad Subadri dan pakar hukum tata negara Margarito Kamis.
“Dalam konteks perpolitikan di tanah air, keluarga dinasti politik juga tidak menang seperti yang terjadi di Pilkada Kalsel dan Barito Selatan,” kata Margarito.
Dari fenomena itu, menurut dia, masyarakat Indonesia sudah cerdas memilih.
Memang diakuinya, kalau secara finansial dan kemampuan, calon dari dinasti politik memang lebih unggul ketimbang calon lainnya. Sebab, mereka berasal dari keluarga yang mapan dan berpendidikan. Namun dengan segudang keunggulan calon dari keluarga dinasti, tak membuat mata hati pemilih tertutup.
“Kalau mata hati rakyat tertutup, keluarga dinasti politik pasti menang. Tapi fakta membuktikan banyak juga yang terjungkal dan sangat tergantung pada sosial masyarakat,” demikian Qodari.(zul/rmol)