Butuh Solusi Jitu Tangani Pak Ogah
JAKARTA,SNOL Penertiban terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dilakukan secara intensif oleh Satpol PP DKI Jakarta. Salah satunya terkait dengan keberadaan ‘pak ogah’ atau pengecrek uang dengan menawarkan jasa pengaturan lalu lintas di persimpangan jalan.
Ironisnya, keberadan pak ogah justru membuat lalu lintas jalan semakin semraut. Sebab pengaturan yang dilakukan bukan didasari situasi dan kondisi arus lalu lintas jalan, melainkan keinginan mendapatkan imbalan uang dari pengendara yang diberikan kesempatan lebih dahulu melintas di persimpangan jalan.
Kepala Satpol PP DKI Jakarta Kukuh Hadi Santoso menuturkan, salah satu konsentrasi yang tengah dilakukan jajarannya yakni menertibkan pak ogah. Penertiban melalui Operasi Praja Wibawa telah dilaksanakan selama satu bulan belakangan ini. Alhasil, ratusan pak ogah telah terjaring.
Untuk menindaklanjuti hasil penjaringan pak ogah, sambung Kukuh, pihaknya langsung menyerahkan ke panti di bawah naungan Dinas Sosial DKI Jakarta. “Para pak ogah itu biasanya warga sekitar lokasi,” kata Kukuh, Rabu (3/7).
Kendati demikian, kata Kukuh, penertiban tidak bisa dilakukan secara terus menerus. Diperlukan solusi jitu agar para pak ogah itu tidak selamanya beroperasi. “Perlu solusi dari hulu ke hilir. Kalau kami hanya menertibkan pelanggaran Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum),” tuturnya.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi B (bidang transportasi) DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menegaskan, keberadaan pak ogah cukup meresahkan masyarakat. Sebab perilaku mereka justru membuat semraut arus lalu lintas jalan di tiap persimpangan atau putaran jalan. ”Mereka itu setengah preman, kalau tidak dikasih, mobil digebrak, Pemprov DKI harus melakukan koordinasi dengan polisi untuk menertibkan mereka,” tandasnya.
Menurut Prasetyo, pemberian sanksi yang bersifat tindak pidana ringan (tipiring) tidak akan menimbulkan efek jera bagi pak ogah. Karena itu dibutuhkan solusi dalam bentuk pemberian lahan kerja bagi mereka. ”Para lurah sebaiknya langsung mendata berapa orang pengangguran di wilayahnya. Lalu bersinergi dengan dinas tenaga kerja untuk memberikan peluang kerja. Jangan seperti sekarang ini, kebanyakan orang luar Jakarta yang jadi operator parkir dalam gedung,” sesalnya.
Seiring dengan solusi bagi para pelaku pak ogah itu, Pemprov DKI juga harus terus mengedukasi waga agar tidak memberi kepada pak ogah. ”Kalau dikasih terus, maka jumlah mereka akan semakin banyak. Lalu semakin marak lagi praktik-praktik serupa. Akibatnya makin macet saja jalanan,” imbuh Prasetyo.
Apalagi dalam Perda Tibum, tambah dia, setiap orang dilarang membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Pada pasal 61 disebutkan sanksi atas pelanggaran, yakni ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta. “Karena pak ogah tak masuki di dalamnya (perda) maka harus dilakukan revisi,” tukas Prasetyo. (rul/jpnn)