Dihadapan Airin, Wawan Atur Proyek Tangsel

SERANG,SNOL— Hubungan suami istri antara Tb Chaeri Wardana alias Wawan dengan Airin Rachmi Diany Walikota Tangerang Selatan, tidak hanya dalam mahligai rumah tangga saja. Berlatar belakang pengusaha dan istri Walikota, Wawan dengan leluasa mengatur proyek di empat satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemkot Tangsel yang dipimpin istrinya itu.Hal itu terungkap saat sidang tindak pidana korupsi (Tipikor) proyek alat kesehatan (Alkes) dan fisik RSUD serta Puskesmas Tangerang Selatan tahun 2010-2012, Selasa (04/07), di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Serang.

Mantan Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangsel, Dadang E, M.Pid membongkar bobrok proyek yang ada di empat SKPD besar Pemkot Tangsel, seperti Dinas Bina Marga, Dinas Kesehatan, Dinas Tata Kota dan Dinas Pendidikan. Menurut Dadang E, M.Pid, Wawan sering ikut dalam rapat empat SKPD besar yang digelar di Jakarta. Dalam rapat itu dibahas masalah proyek dan anggaran di tiap SKPD. Dadang mengaku rapat tersebut merupakan undangan langsung dari Sekda Kota Tangsel, yang juga dihadiri oleh Tim Angggaran Pemerintah Daerah (TPAD) dan Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany.

“Pak Wawan datang dalam rapat. Dia cerdas dalam prioritas pembangunan. Dia juga ngomong, “Jangan ini dulu tapi ini dulu (proyek, red)”, kebanyakan kita ikut beliau. Kita rapat dengan Sekda. Pak Wawan dan kadang Walikota Airin Rachmi Diany hadir dalam rapat tersebut. Atuh saya tidak tahu pak Wawan hadir dalam rapat tersebut kapasitasnya sebagai apa, tapi yang jelas kalau rapat di empat SKPD itu beliau (Wawan,Red) selalu hadir,” ungkap Dadang E, di persidangan.

Dalam rapat, Wawan kuasanya melebihi dari Walikota Airin. Wawan juga sering menanyakan proses persiapan lelang dan memberikan nama-nama plotting perusahaan yang bakal mengerjakan proyek.  “Pak Wawan tanyakan dalam rapat, “ada uang berapa? (anggaran, red), kapan mulai lelang? Apa persyaratannya?” Dari situ kita dikasih plotting nama-nama yang mengerjakan proyek. Semua SKPD kayak gitu, kalau engga prosesnya bisa dibatalkan lagi di tingkat ULP,” beber Dadang.

Lebih lanjut Dadang menjelaskan, dalam rapat yang dipimpin oleh Sekda tersebut, proyek jenis fisik biasanya mengalami penambahan anggaran yang dibahas dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). “KUA dan PPAS Dinkes misalnya Rp120 miliar itu standar. Dari Rp120 M dibagi habis sesuai program prioritas, nanti ada tambahan berikutnya biasanya kegiatan kontraktual, misalnya fisik,” jelasnya.

Pada persidangan tersebut, Dadang juga mencurahkan isi hatinya sebagai birokrat yang gagal naik pangkat karena dianggap tidak mencairkan anggaran Rp 120 miliar itu. Padahal seharusnya pada saat itu dia sudah harus naik pangkat. “Kami birokrat bertanggungjawab ke Walikota dan Sekda. Tahun 2013, saya tidak tangani anggaran Rp120 miliar, sehingga uang itu tidak dapat dicairkan. Saya tidak jadi naik pangkat. Padahal saya seharusnya sudah naik pangkat. Pokoknya sangat dibawah tekanan,” keluhnya.

Dadang juga tidak membantah dalam proyek Alkes dan fisik itu, Dinas Kesehatan Tangsel meminta jatah fee untuk kebutuhan operasional lintas sektoral. Dia mengaku, anggaran yang disiapkan oleh Pemkot Tangsel melalui daftar isian pelaksaan anggaran (DIPA) sekitar Rp300 juta, tidak mencukupi sehingga meminta kepada anak buah Wawan.

Di setiap proyek, Dinkes mendapat fee sebesar empat persen. Dadang berdalih, pemberian tersebut tidak secara langsung tetapi bertahap, tergantung kebutuhan operasional. “Proyek Alkes Rp10 M, Rp400 juta lebih jatah kami. Saya contohkan untuk operasional itu, misalnya pemberian THR. Saya minta dulu paling minta Rp50 juta. Sesuai permintaan lintas sektoral. Tidak pernah saya lebihkan,” ungkapnya.

Meski mendapat jatah fee 4 persen dari pagu anggaran proyek, namun ditahun 2013 bantuan operasional tersebut sempat terhenti. Penghentian bantuan ini sempat dikeluhkan, mengingat kebutuhan operasional yang cukup besar. “Tahun 2013 kita ngeluh karena tidak ada bantuan dana operasional. Setelah ada komunikasi dengan Dadang Priyatna (mantan anak buah wawan, red) dana operasionalnya akhirnya dikeluarkan dengan sistem kasbon. Lalu saya perintahkan staf untuk minta dana operasional ke Dadang Priyatna. Dana operasional itu Rp300 juta pertahun, tapi kadang operasionalnya kita keluarkan Rp100 juta ,”ujarnya.

Disinggung soal adanya mark up dan adanya proyek yang tidak sesuai dengan spesifikasi, Dadang mengaku tidak tahu menahu. Sebagai Kepala Dinkes, dia hanya menandatangani hasil proyek yang telah dikerjakan. “Menurut keterangan ahli ada ketidak sesuai spesifikasi, misalnya kabel ukuranya sekian tapi sekian. Saya tidak tahu (mark up, red), tapi kan ada tim konsultan dan pemeriksa barang,” katanya.

Setelah mendengarkan keterangan saksi terdakwa Dadang E, M.Pid, sidang yang diketuai oleh Ketua Majelis Hakim Sainal ini akan kembali digelar pada hari Selasa pekan depan dengan agenda tuntutan terhadap terdakwa. (mg30/mardiana/jarkasih)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.