Pemerintah Ancam Pecat PNS Tak Netral
JAKARTA,SNOL—Pemerintah coba mengantisipasi dampak buruk dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melegalkan politik dinasti . Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) Yuddy Chrisnandy mengatakan, salah satu hal yang harus diwaspadai dari majunya keluarga petahana dalam Pilkada adalah penggunaan aparat birokrasi Pemda untuk mendukung calon dari keluarga petahana. ‘Karena itu, PNS (pegawai negeri sipil) maupun aparatur sipil negara (ASN) harus benar-benar netral,’ ujarnya saat ditemui di Kantor Wakil Presiden kemarin (9/7).
Yuddy mengakui, selama ini, aturan terkait netralitas PNS dalam Pilkada maupun Pemilu memang sudah ada. Namun, pemerintah saat ini menilai jika aturan tersebut harus dipertegas, termasuk ancaman pemecatan bagi PNS yang nakal. ‘Misalnya jadi tim sukses, ikut kampanye, itu tidak boleh, bisa diberhentikan (dipecat, Red),’ katanya.
Yuddy menyebut, sanksi administrasi juga siap diterapkan pada PNS yang terbukti ikut-ikutan menjadi simpatisan salah satu calon. Misalnya, sanksi tertulis maupun penundaan kenaikan pangkat. ‘Termasuk menunda kenaikan tunjangan kinerja atau remunerasi,’ ucapnya.
Karena itu, saat ini Kementerian PAN dan RB tengah menyusun code of conduct atau pedoman perilaku untuk PNS maupun ASN dalam menyikapi Pilkada. ‘Intinya, tidak boleh ikut kampanye, tidak boleh terlibat, tidak boleh mendukung, maupun tidak boleh mengganggu kandidat manapun,’ ujarnya.
Bagaimana jika ada pejabat petahana yang meminta atau mengintimidasi aparat PNS agar mendukung keluarganya yang maju dalam Pilkada? Yuddy mengatakan, Kementerian PAN dan RB akan siap memberikan advokasi kepada PNS yang diintimidasi tersebut. ‘Saya nanti akan keliling ke daerah-daerah bersama Mendagri (Tjahjo Kumolo) untuk memastikan ini,’ katanya.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan jika dirinya tidak sepakat dengan politik dinasti. Namun demikian, pemerintah harus mengikuti putusan MK yang sifatnya final dan mengikat. ‘Karena itu, sekarang keputusannya di masyarakat. Pilihlah calon berdasar kemampuan, bukan kekerabatan (dengan petahana),’ ujarnya.
Karena itu, yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah menjaga agar para petahana tidak menyalahgunakan kewenangannya untuk mendukung keluarganya yang maju dalam Pilkada. Apalagi, ada juga penyalahgunaan wewenang oleh petahana meskipun yang maju bukan keluarganya. ‘Yang penting pengawasan harus bagus dan PNS netral,’ katanya.
Pernyataan senada disampaikan Anggota Komisi II DPR Arwani Thomafi. Menurut dia, saat ini masyarakat dan partai politik lah yang akan menjadi penentu politik dinasti masih akan terus berlangsung atau tidak pasca putusan MK. Arwani menyatakan, DPR yang diisi kalangan partai politik sepatutnya tetap menjaga komitmen untuk tidak melanggengkan pratik politik kekerabatan.
Sebagai salah satu pihak penyusun UU, lanjut dia, kalangan parpol dapat melaksanakan komitmen itu lewat berbagai kewenangan yang dimiliki. “Ya dengan tidak mencalonkan orang-orang yang berpotensi melanggengkan politik dinasti, atau bahasanya memilih mencalonkan kader yang lain,” kata Arwani.
Secara pribadi, dia akan ikut mendorong partainya untuk memegang teguh komitmen untuk tidak melanggengkan politik dinasti sebagaimana dicerminkan dalam ketentuan di UU sebelum dibatalkan MK. “Kami hormati putusan MK, tapi komitmen mengantisipasi dampak negatif politik dinasti juga tetap harus dilakukan,” imbuh ketua DPP PPP tersebut.
Arwani yakin parpol tidak akan pernah kekurangan stok kader potensial untuk diajukan dalam pilkada. Karena itu, dia menghimbau, setiap partai berani membuat saringan yang komprehensif untuk mem-filter sosok yang bakal diusung di pilkada. “Termasuk, sepatutnya calon yang dipilih tidak justru akan melanggengkan politik dinasti,” tandasnya. (owi/dyn)