Semoga Saya Tidak 100 Persen Laki-Laki
KEJUTAN baru: Amerika, kampiun negara demokrasi itu, kini punya peraturan daerah (perda) syariah. Dengan perda baru itu, kini pedagang di Negara Bagian Indiana, tempat saya belajar, boleh menolak melayani konsumen berdasar keyakinan agama.
Parlemen setempat (gabungan anggota DPRD dan anggota senat daerah) mengesahkan perda itu pekan lalu. Inilah negara bagian pertama di Amerika Serikat (AS) yang memiliki aturan seperti itu.
Heboh. Gempar. Protes pun marak. Dari berbagai wilayah. Juga dari berbagai kelompok. Pertunjukan musik di ibu kota negara bagian itu, Indianapolis, yang seharusnya berlangsung minggu depan dibatalkan. Artisnya sendiri yang membatalkan. Sebagai protes. Uang karcis dikembalikan.
Sebuah perusahaan besar juga mengancam. Ia menyatakan membatalkan ekspansinya. Bahkan lagi mempertimbangkan untuk cabut dari wilayah Indiana. Perusahaan itu seperti mewakili sikap umumnya kalangan bisnis di Indiana. Mereka khawatir buruh mereka, pada satu tahap nanti, bisa menolak aturan perusahaan berdasar keyakinan agama si karyawan.
Sebagian pemrotes menganggap aturan baru itu bertentangan dengan kebebasan yang dijunjung begitu tinggi di Amerika. Bahkan, ada yang menyatakan, itu sudah melanggar konstitusi.
Tapi, gubernur Indiana tutup mata. Dia menyatakan, aturan baru itu harus jalan terus. Dia menolak anggapan ada pasal konstitusi yang dilanggar. Separo surat pembaca di koran daerah Evansville, kampung saya sekarang, mendukung dan memuji gubernur. Separonya lagi menolak dan memaki. Mereka bahkan bilang habislah kesempatan sang gubernur untuk maju sebagai calon presiden yang akan datang. Padahal, sebelumnya banyak yang menggelarinya sebagai calon Ronald Reagan baru. Reagan, mantan bintang film itu, dinilai sebagai presiden yang hebat dari Partai Republik, partai yang sama dengan gubernur Indiana.
Indiana memang termasuk negara bagian yang sikap keagamaan penduduknya kuat. Karena itu, Partai Republik menang mutlak di sini. Menguasai parlemen setempat. Partai Demokrat tidak berdaya untuk mencegah lahirnya aturan baru itu.
Aturan itu bermula dari keinginan pedagang setempat. Khususnya pedagang bunga dan kue yang fanatik. Mereka minta diperbolehkan tidak melayani pesanan bunga atau kue dari pasangan pengantin yang sejenis. Pengantinnya laki-laki semua atau perempuan semua. Berdasar keyakinan agama mereka, perkawinan jenis itu dilarang agama. Anggota parlemen setempat memprosesnya sampai menjadi peraturan. Tanpa aturan itu, pedagang yang menolak mereka dianggap melanggar hukum.
Keberanian parlemen Indiana itu sebenarnya didorong keberhasilan gugatan perusahaan besar Hobby Lobby tahun lalu. Bos besar perusahaan itu memang pendukung berat Partai Republik. Berarti anti-Presiden Obama yang Demokrat. Ketika Obama mengeluarkan aturan BPJS Kesehatan dan aturan itu disahkan kongres (waktu itu Kongres AS masih dikuasai Demokrat) lima tahun lalu, Hobby Lobby ke pengadilan. Menggugat. Kalah. Lalu ke Mahkamah Agung. Menang. Inti gugatannya: tidak mau ikut program kesehatan Obama, khusus untuk pembelian alat-alat kontrasepsi dan biaya aborsi. Berdasar keyakinan agamanya, Hobby Lobby menyatakan, keluarga berencana itu melanggar agama dan aborsi juga dilarang agama.
Protes untuk perda syariah Indiana kali ini begitu marak karena tren penggunaan alasan keyakinan agama itu. Bukan soal perkawinan sejenis semata. Mereka khawatir ke depan akan kian terus meluas dan melebar. Misalnya dari soal gay dan lesbian ke soal lain, misalnya ke warna kulit atau ke penganut agama lain. Dan seterusnya. Bisa jadi negara bagian lain, yang tiba-tiba merasa kalah fanatik, memproses aturan yang lebih dalam lagi. Dan kecenderungan ini benar-benar terjadi. Hanya selang seminggu, Negara Bagian Georgia sudah mengumumkan niat serupa.
Tapi, mengapa pasangan gay dan lesbian ngotot minta perkawinan mereka disahkan? Bukankah mereka bisa diam-diam kumpul kebo begitu saja? Apakah dengan kawin itu mereka lantas merasa tidak berdosa?
Ternyata tidak begitu. Ini masalah hukum semata. Ini menyangkut asuransi, warisan, tanggungan biaya kesehatan, dan pajak. Misalnya, sang “istri” mau operasi di rumah sakit. Sang “suami” tidak bisa memberikan tanda tangan persetujuan. Atau ketika “suami” bekerja, sang “istri” tidak bisa mendapat tunjangan. “Istri” juga tidak akan dapat asuransi jiwa dan warisan lainnya. Mereka juga harus membayar pajak penuh karena pasangan tidak bisa jadi faktor pengurang. Intinya, sang “istri” atau “suami” tidak bisa mendapatkan hak-haknya sebagai pasangan hidup.
Padahal, menurut pengakuan kelompok itu, mereka benar-benar saling mencintai dan menyayangi. Mereka tidak mau ini dianggap melanggar agama. “Bukankah ini kehendak Tuhan juga?” kata mereka.
Saya tidak tahu apakah ini kehendak Tuhan. Atau kehendak manusia. Atau bahkan ini semata-mata kehendak lingkungan yang menciptakannya. Tapi, saya yakin suatu saat nanti dokter ahli kromosom, ahli DNA, dan ahli sel (cell) akan bisa menjelaskannya secara biologis.
Lalu para ilmuwan itu bisa melakukan modifikasi gen atau sel atau DNA atau sejenisnya. Sejak masih bayi. Atau bahkan sejak masih di kandungan. Para ilmuwan itu akan bisa melakukan pengurangan kromosom tertentu yang membuat anak-anak memiliki kecenderungan gay atau lesbi. Dengan demikian, semua bayi yang lahir ke dunia akan bisa dipastikan: kalau tidak laki-laki ya perempuan. Tidak ada yang setengah-setengah, atau seperempat-seperempat seperti itu. Agar tidak ada persoalan lagi di dunia ini. Atau agar jangan ada lagi yang menyalahkan Tuhan. Para ilmuwan akan bisa membuat manusia berkurang dosanya. Inilah dakwah “bil-hal”-nya para dokter ahli nanti.
Bukankah jangan-jangan, menurut struktur kromosom yang ada dalam tubuh manusia, sebenarnya hanya sebagian di antara laki-laki itu yang benar-benar 100 persen laki-laki. Demikian juga perempuannya. Sebagian lagi mungkin saja kelelakiannya hanya 90%, 80%, 70%, 60%, atau di antara angka-angka itu. Yang perempuan pun demikian juga. “Berapa persen keperempuanan Anda?” mungkin akan diketahui segera.
Saat ini pun sudah terbit sebuah buku yang mengulas kecenderungan kromosom manusia. Umur pendek atau mati karena kecelakaan, menurut buku Women After All karya Prof Dr Kevin Konner dari Emory University, Atlanta, lebih ditentukan susunan kromosom dalam diri mereka. Yakni karena mereka memiliki unsur SRY dalam DNA-nya. SRY itu berada di dalam kromosom Y. Bahkan, pemilik kromosom Y ini punya kecenderungan lain: melakukan kekerasan atau jadi korban kekerasan.
Siapa pemilik kromosom Y ini? Mudah diduga: laki-laki. Bukan perempuan. Karena itu, menurut Women After All, hampir semua bencana di dunia ini penyebabnya laki-laki. Mulai kekerasan, perang, pemerkosaan, dan seterusnya. “Tidak ada bencana yang muncul gara-gara air mata perempuan,” kata buku itu.
Perempuan itu, menurut kromosomnya, memang mudah menangis. Dengan demikian, tangis perempuan itu alami. “Kalau tangis laki-laki itu politis,” katanya.
Dia mengakui, banyak sekali prestasi dan kebaikan yang dibuat laki-laki. Tapi, katanya, itu semata-mata karena kesempatan lebih banyak diberikan kepada laki-laki. Sesuai dengan struktur kromosom, kalau perempuan diberi kesempatan yang sama, dunia akan lebih maju dan baik. Dengan susunan kromosom tertentu, perempuan mestinya lebih unggul hampir di segala bidang: lebih panjang umur, lebih tahan penyakit, lebih andal, lebih fair, lebih tahan, tidak fanatik, tidak mudah berburuk sangka, dan sebagainya.
Kelebihan lainnya, sudah pasti: bisa membuat kehidupan terus berlanjut. Yakni dengan kemampuannya yang tidak dimiliki laki-laki: hamil dan melahirkan.
Kelak saya akan tes kromosom. Semoga tidak 100 persen laki-laki. (*)