BPK Temukan Ketidakpatuhan Rp 40,55 Triliun
JAKARTA,SNOL Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Harry Azhar Azis menyatakan, pada semester II tahun 2014 lembaganya menemukan sebanyak 7.950 kasus.
Dari total 7.950 kasus tersebut di dalamnya terdapat 7.789 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp40,55 triliun dan 2.482 masalah kelemahan sistem pengendalian intern (SPI).
Dari masalah ketidakpatuhan tersebut, sebanyak 3.292 masalah berdampak pada pemulihan keuangan negara/daerah/perusahaan atau berdampak finansial senilai Rp14,74 triliun.
Masalah terdampak finansial itu mengakibatkan kerugian Rp1,42 triliun, potensi kerugian Rp3,77 triliun dan kekurangan penerimaan Rp8,55 triliun.
Selain itu, terdapat 3.150 masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan ketidakefisienan senilai Rp25,82 triliun.
Selama proses pemeriksaan, kata Harry, entitas telah menindaklanjuti masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian dan kekurangan penerimaan dengan penyerahan aset ke kas negara, daerah, perusahaan senilai Rp461,11 miliar.
“Pada semester II 2014, BPK memeriksa 651 objek pemeriksaan terdiri dari 135 objek di pemerintah pusat, 479 di pemerintah daerah dan BUMD, serta 37 objek BUMN dan badan lain,” kata Harry dalam sidang paripurna penyerahan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester II 2014, Selasa (7/4).
Harry juga menyampaikan bahwa pada semester II 2014, BPK tidak memeriksa laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) termasuk laporan keuangan kementerian dan lembaga (LKKL) tahun 2013 karena sudah diperiksa pada semester I 2014 dan laporannya sudah disampaikan dalam IHPS I 2014.
Pada kesempatan itu Harry mengatakan dari pemeriksaan semester II 2014, BPK menemukan masalah yang perlu mendapat perhatian serius pemerintah pusat, antara lain persiapan pemerintah pusat belum efektif mendukung penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual pada 2015.
Sedangkan dari penerimaan negara di sektor minyak dan gas (Migas) di Kementerian Keuangan, masih terdapat masalah penetapan target lifting migas dalam APBN-APBNP tidak didasarkan pada target lifting yang telah disepakati antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).
“Belum ada mekanisme monitoring serta evaluasi atas pencapaian target lifting. Pemerintah juga belum melakukan upaya optimal dalam mengatasi kendala-kendala yang terjadi pada kehiatan hulu migas yang dapat mempengaruhi pencapaian target lifting,” tambah Harry.(Fat/jpnn)