Pakai Isu Sara Kampanye Pilkada? Siap-Siap Saja Dipenjara!
JAKARTA,SNOL Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota sudah mengatur larangan kampanye yang mengumbar hinaan menggunakan muatan suku, agama, ras dan antara-golongan (SARA).
Pasal 69 di UU itu bahkan memuat ancaman hukumannya. Yakni setiap orang yang melakukan penghinaan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 18 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600 ribu dan paling banyak Rp 6 juta.
“Kata kunci dari praktik penggunaan SARA adalah pada kata penghinaan yang merupakan perbuatan baik lisan atau tulisan. Ditujukan untuk menistakan atau melakukan pencemaran nama baik calon kepala daerah,” ujar Masykurudin.
Menurut Masykurudin, batasan penistaan atau bukan dalam konteks pilkada adalah pengaruhnya terhadap keterpilihan (elektabilitas) calon. Artinya, terdapat kerugian atas keterpilihan yang dialami pasangan calon atas adanya praktik penistaan tersebut.
“Jadi, apabila tindakan penistaan tersebut dinilai oleh calon telah merugikan nama baik dan mempengaruhi keterpilihan, maka dapat melaporkannya kepada pihak yang menangani,” ujar Masykurudin.
Penanganan tindak pidana pilkada berlatar belakang SARA, kata Masykurudin, dilakukan oleh lembaga pengawas pemilu dengan kepolisian yang tergabung dalan sentra penegakan hukum terpadu (gakumdu). Penyidik kepolisian yang tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu dapat melakukan penyelidikan setelah adanya laporan pelanggaran Pemilihan yang diterima oleh pengawas pemilu.
“Semakin cepat proses penegakan hukum terkait SARA, menjadi wujud komitmen semua pihak dan akan terjadi saling kontrol antarpasangan calon. Penghormatan terhadap proses dan keputusan pengadilan atas pelanggaran pidana tersebut dapat meminimalisir isu-isu SARA yang berkembang di masyarakat,” ujar Masykurudin.
Karenanya Masykurudin menyarankan agar dalam pilkada sebaiknya tidak menggunakan isu SARA sebagai alat kampanye. “Mengisi hari-hari kampanye dengan penyampaikan program akan jauh lebih menarik bagi masyarakat dari pada menggunakan isu primordial,” ujar Masykurudin.(gir/jpnn)