Anak Sulung Imam Samudera Tewas di Suriah
SERANG,SNOL – Kabar beredar, anak Imam Samudera bernama Umar Jundul Haq telah tewas di negara Suriyah 16 Oktober lalu. Peristiwa ini memantik reaksi sejumlah pihak. Bukan soal hilangnya nyawa anak sulung Imam Samudera tersebut yang disesalkan, namun Negara dituding tidak mampu melindungi rakyatnya. Negara dianggap telah kecolongan.Anggota Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Banten, Ahmad Imron mengungkapkan, seyogyanya Negara melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap keturunan orang-orang yang wafat ditembak mati karena diduga sebagai pelaku terorisme, agar tidak menjadi generasi berikutnya. “Jujur saja kami cukup prihatin mendengar kabar ini. Bahkan saya dengar, anak Imam Samudera bukan tewas di tangan tentara Assad Al-Bashariyah, tetapi dibunuh oleh tentara sayap ISIS itu sendiri yang tidak sepaham,” kata Imron, kepada wartawan, kemarin.
Karena itu, kasus tewasnya anak Imam Samudera karena bergabung dengan gerakan ISIS agar dijadikan pelajaran. Harusnya, Negara memperhatikan kelanjutan kehidupan para generasi orang-orang yang dihukum mati karena dugaan tindak terorisme. “Negara kecolongan. Ini harusnya menjadi tanggungjawab Negara, bagaimana kelanjutan pendidikannya, dan lain sebagaimnya. Kok bisa sampai lolos,” sesal Ketua PW Anshor Provinsi Banten ini.
Senada dengan Presiden Lumbung informasi Rakyat (LIRA), Yusuf rizal, yang mengaku prihatin atas peristiwa yang terjadi. Negara sejatinya melindungi rakyatnya. Terlepas siapapun orang tuanya namun generasi selanjutnya harus dibina agar menjadi generasi bangsa yang baik.
Yusuf Rizal secara terang-terangan menuding bahwa terjadinya peristiwa itu sebagai bukti lemahnya sistem di Negara Indonesia. Lemahnya intelejen di Indonesia. “Di negara ini sangat mudah orang asing bisa masuk. Padahal ini masalah serius. Saya sangat sepakat jika Undang-undang Litsus kembali dihidupkan. Sekarang ini, Babinsa sudah tidak ada lagi. Ya ini pelemahan-pelemahan intelejen kita,” ujar Rizal.
Sementara, Pengamat Hukum Untirta Mochammad Arifinal, berpendapat kasus yang terjadi dalam tewasnya anak Imam Samudera ialah persoalan hukum internasional. Namun, dari sisi kriminologi, kejahatan teroris bukanlah kejahatan konvensional, untuk ISIS sendiri itu organisasi terkait dengan politik sebuah negara.
Sikap seorang anak memiliki kecenderungan ideologi yang mengikuti orang tuanya. Kemungkinan, dalam kasus ini seorang anak mengikuti langkah orang tuanya cukup besar, karena biasanya ideologi berpengaruh besar. Dari sisi keluarga, orang paling bisa dijadikan contoh ialah ayahnya itu secara emosional.
Diberitakan sebelumnya, Anak sulung Imam Samudera, Umar Jundul Haq, terbunuh di Syria pada Rabu, 16 Oktober lalu. Umar terbunuh saat ikut berjuang dalam gerakan ISIS di Deir ez-Zor Airport. “Ya, (ia meninggal) dua hari lalu,” kata sumber di internal Polri seperti dikutip The Jakarta Post.
Uncu, panggilan Umar Jundul Haq, sudah bergabung ke ISIS sejak dua tahun yang lalu. Usia Uncu masih sangat belia, yakni 19 tahun. Kematian Uncu tersebut dirilis oleh pengamat terorisme dari Instittute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sydney Jones.
Laman VOA Indonesia, Kamis, (22/10) melansir, Uncu adalah salah satu dari 50 WNI yang tewas dalam pertempuran di Suriah sejak Maret lalu. “Dia tewas dalam pertempuran di sekitar Bandara Deir ez-Sur di Suriah. Saya bisa memastikan dia (Umar) yang tewas. Saya sudah lihat foto mayatnya,” kata Jones.
Hal serupa disampaikan Tim Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Wawan Purwanto. Menurut Wawan, Umar dimakamkan di Suriah. “Rata-rata dimakamkan di sana, tidak dibawa ke sini karena kepergiannya sendiri sudah dianggap menyalahi perundang-undangan, kewarganegaraan dalam negeri juga jadi tidak dipulangkan. Sampai saat ini, tidak ada dari mereka yang meninggal di Suriah, lalu dibawa pulang ke Indonesia,” kata Wawan. (isk/mas/riu/bnn)