Aulia Faqih, Orang Indonesia Pertama Peraih Intel Black Belt
Telepon dari perwakilan Intel di Asia itu mengejutkan Aulia Faqih. Si penelepon mengabarkan bahwa Faqih memenangi kompetisi pengembangan teknologi real sense tiga dimensi (3D).
Tri Mujoko Bayuaji, Jogjakarta
Faqih menjadi orang Indonesia pertama yang diganjar Intel Black Belt Software Developers. Di seluruh Asia, hanya dia dan Abhishek Nandy dari India yang pernah memenangi kompetisi untuk mengembangkan sistem tiga dimensi berbasis sensor gerak, visual, dan audio itu.
“Saya kaget karena dua tahun lalu saya bahkan tidak tahu bagaimana cara mengaplikasikan real sense,” kata dosen Teknik Informatika UIN Sunan Kalijaga itu.
Faqih adalah bukti bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda bukan sekadar ungkapan klise. Sebab, kesuksesannya memenangi ajang yang diadakan perusahaan multinasional penghasil mikroprosesor itu benar-benar ditopang kemauannya untuk belajar.
Persisnya, belajar dari kegagalan saat mengikuti kompetisi pertama dua tahun lalu. Dua tahun lalu itu dia sampai harus mengontak Firstman dulu untuk membantunya memahami cara mengaplikasikan real sense.
Sebagai salah satu orang Indonesia yang menjadi wakil Intel di Asia Pasifik, tugas Firstman memang memberikan asistensi dan verifikasi terhadap segala kegiatan individu maupun korporasi yang terkait dengan pengembangan program yang melibatkan Intel.
Secara sederhana, gambaran real sense 3D itu bisa ditemukan dalam film Iron Man. Dalam sejumlah adegan, Tony Stark, sang karakter utama, mengutak-atik “layar” di sebuah ruang kosong.
Stark dengan bebas mengutak-atik segala aplikasi di layar tersebut. Sesekali dia menggeser aplikasi itu ke samping, menyimpannya ke folder tertentu, kemudian memutar musik hanya dengan menekan sisi lain ruan-gan kosong tersebut.
Itulah sebagian kecil hal yang bisa dilakukan real sense 3D. Oleh Intel, real sense tersebut diaplikasikan ke sebuah kamera pintar. Teknologi masa depan itu mampu mengenali pemilik pribadi sebuah laptop atau komputer desktop dengan merekam wajah dan suara.
Teknologi real sense juga bisa digunakan untuk berbagai aplikasi hanya dengan menggerak-gerakkan tangan tanpa menyentuh layar komputer, mouse, atau bahkan tombol di keyboard.
Untuk mengembangkan real sense, Intel membuka kompetisi tahunan bagi para peserta korporat maupun individu di seluruh dunia. Nah, Faqih adalah salah satu di antara banyak inovator asal Indonesia yang tergelitik untuk berpartisipasi.
Faqih mempunyai idemengembangkan real sense untuk pendidikan anatomi manusia. Karena real sense saat ini hanya bisa mengenali telapak tangan, wajah, dan separo badan, Faqih berfokus pada pengembangan anatomi telapak tangan. Anatomi telapak tangan yang dia kembangkan diberi nama Carpus Augmented Reality Anatomy.
Saat sebuah telapak tangan didekatkan ke kamera, layar komputer mampu merekam langsung gerakan real time tangan itu. Saat Faqih memerintahkan kata blood kepada komputer, misalnya, kulit tangan tersebut hilang, lantas terbuka jaringan pembuluh darah dari telapak tangan tersebut.
Faqih dibantu dua asistennya untuk meng-coding bentuk sistem pembuluh darah dan tulang demi mendekati bentuk nyata. Tapi, dari sisi eksekusi, menurut Faqih, karyanya itu masih kasar dan perlu penyempurnaan.
Pada April 2015, aplikasi Carpus ternyata masuk sebagai salah satu finalis. Padahal, pada tahun kedua kompetisi real sense itu, ada setidaknya 800 orang dari Indonesia yang memasukkan karya untuk dinilai.
Ternyata, rangkaian kegiatan Faqih sejak 2013 hingga mengembangkan Carpus pada 2015 dinilai memiliki pengaruh tinggi. Buntutnya adalah telepon dari Firstman itu, yang mengabarkan bahwa Faqih memenangi Intel Black Belt Software Developers.
Dengan biaya dari Intel, Faqih ikut dalam IDF yang digelar di San Francisco, Amerika Serikat, pada 16-24 Agustus lalu. Malam pertama di kota itu, Faqih bersama enam peraih Intel Black Belt 2014-2015 diundang ke AT&T Baseball Park, untuk menerima penghargaan black belt tersebut. (jpg)