Kisah Yolla Bernada, Polwan Pertama Keturunan Tionghoa
Jadi Intel, Menyamar jadi Tukang Pijat
PROTES kepada Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) itu tidak datang dari Anna Lao Tjiao Leang, suami, atau ketiga anaknya. Tapi justru dari salah seorang temannya. Si teman mempertanyakan keputusan Muri menahbiskan Chang Mei Zhiang alias Yolla Bernada sebagai polwan pertama keturunan Tionghoa.
FOLLY AKBAR Jakarta
“Teman ibu itu protes melalui surat pembaca di sebuah surat kabar,” kata Aries, putra ketiga Anna. Museum yang didirikan pada 1990 tersebut mendengar protes itu. Direktur Muri Alya Suwono mengatakan, verifikasi lantas dilakukan ke tempat Anna terakhir bertugas. Juga ke rekan seangkatan yang masih ada.
Muri juga meminta pertimbangan ke Dewan Pembina Muri. Barulah setelah itu keputusan diambil: Anna dianugerahi penghormatan yang memang layak didapatkannya tersebut Sabtu lalu (29/8) di Jakarta atau tiga hari sebelum polwan merayakan hari jadi ke-67.
Tapi, bagi nenek sepuluh cucu itu, menerima penghargaan tersebut semata semacam bonus. Sebab, sejak awal dia memilih menjadi polisi, tidak ada sedikit pun niat untuk mendapatkan gelar. “Jadi, ya saya biasa saja,” ucapnya.
Yang jelas, penahbisan rekor itu juga seperti memutar kembali waktu. Tentang keberaniannya memilih profesi sebagai polwan, tentang beragam tantangan selama bertugas, juga tentang penyakit di rahim yang memaksanya mengakhiri tugas.
“Saya memang ingin kerjaan yang menantang,” ujar Anna soal alasan memilih menjadi polwan setelah menerima penghargaan Muri di Jakarta. Masa itu, tahun 1960, kenang Anna, profesi polwan masih menjadi pilihan tidak lazim bagi perempuan. Apalagi yang berasal dari latar belakang Tionghoa seperti dirinya. Maklum, polwan juga baru seumur jagung saat itu.
Mengutip Pustaka Digital Indonesia, polwan lahir pada 1 September 1948 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Latar belakangnya, pada masa penjajahan Belanda, tiap kali ada kejahatan yang dilakukan anak-anak atau perempuan, para pejabat kepolisian sering kali meminta bantuan kepada istri-istri mereka untuk melakukan pemeriksaan dan penggeledahan.
Setelah Indonesia merdeka, Organisasi Wanita dan Wanita Islam mengajukan permohonan kepada pemerintah dan Jawatan Kepolisian Negara untuk mengikutsertakan perempuan dalam pendidikan kepolisian. Tujuannya sama, menangani masalah kejahatan yang melibatkan anak-anak dan perempuan. Alasannya, kurang pantas seorang laki-laki memeriksa atau menggeledah tersangka perempuan yang bukan muhrim.
Akhirnya, pada 1 September 1948, Jawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi membuka kesempatan bagi kaum hawa untuk mengikuti pendidikan inspektur polisi di Sekolah Polisi Negara di Bukittingi. Ada enam perempuan yang ikut serta dan selanjutnya dikenal dengan sebutan Perintis Polisi Wanita Indonesia.
Mereka adalah Nelly Pauna Situmorang, Mariana Saanin Mufti, Djasmaniar Husein, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukoco, dan Rosnalia Taher. Anna resmi mulai bertugas sebagai polwan hanya 12 tahun setelah korps itu dilahirkan. Jelas bukan keputusan yang populer di mata orang-orang di sekitarnya. Tapi, sedari kecil Anna sudah terbiasa menjadi “liyan”.
Dikenal tomboi, keseharian perempuan kelahiran Makassar pada 9 Agustus 1939 tersebut justru lebih akrab dengan kegiatan yang identik dengan dunia laki-laki. Setiap hari, misalnya, dia giat berlatih kuntau, sebuah seni bela diri yang datang dari dataran Tiongkok. Kedua orang tuanya pun tak mendukung pilihannya menjadi polwan.
“Beberapa orang juga mengata-ngatai saya, berkomentar sinis gitu,” kata Anna yang Sabtu lalu mengenakan balutan kemeja putih dan rok panjang hitam. Tapi, Anna jalan terus. Cibiran orang justru dijadikannya cambuk untuk memotivasi diri. Untuk membuktikan bahwa jalan pilihannya tidak salah. Saat mendaftar pendidikan polisi di Makassar, Anna menjadi satu-satunya peserta yang lolos. Sedangkan 44 orang lainnya kandas.
Menurut Anna, seleksi polisi saat itu benar-benar ketat dan tanpa pandang bulu. “Dulu anak perwira polisi juga banyak yang tidak lulus,” ucap ibu empat anak hasil pernikahannya dengan Bachtiar tersebut.
Berbekal pendidikan kepolisian di Dinas Pengamanan Keselamatan Negara (DPKN) itu, Anna memulai karir kepolisian di Aceh pada 1960. “Dari semua yang ditawarin, hanya saya yang mau ke Aceh,” ungkapnya.
Di usia 76 tahun saat ini, kemampuan pendengaran Anna memang sudah berkurang. Jalannya juga tertatih. Tapi, daya ingat perempuan yang rambutnya sudah memutih itu masih sangat terjaga.
Detail pengabdiannya sebagai polwan masih terekam dengan baik dan bisa diungkapkannya dengan runtut. Seolah-olah baru terjadi beberapa hari lalu. Misalnya bagaimana dia merasa tak menemukan tantangan selama setahun bertugas di Aceh.
Baru setelah dipindahkan ke Jakarta, jiwanya yang haus akan tantangan klop dengan penugasan barunya: sebagai intel. Tugas baru sebagai pemburu informasi di semua lapisan masyarakat itu, menuntutnya menguasai banyak skill.
Anna pun akhirnya memilih belajar akupunktur, potong rambut, jadi tukang pijat, hingga pembuat kue. Semua keahlian itu dia pelajari melalui berbagai kursus. “Semua keahlian itu penting untuk tugas intelijen,” tuturnya.
Benar saja. Keahlian sebagai tukang pijat, misalnya, turut membantunya mengungkap kasus penyelundupan di sebuah daerah. Selama pengungkapan itu, dia tinggal di kawasan asrama polisi dengan status menyamar sebagai tukang pijat.
Dua minggu di sana, hanya rekannya, seorang polisi, yang tahu identitas dia sebenarnya. Selama dua minggu itu pula, dia melayani panggilan pijat para istri polisi, termasuk istri rekannya yang tahu soal identitasnya tadi. Nah, suatu ketika Anna datang lagi ke kota tersebut dengan identitas aslinya sebagai intel. Dia pun kerap pergi hingga larut malam dengan teman polisinya tadi.
“Karena istrinya tahunya saya tukang urut, berantemlah mereka berhari-hari,” kenangnya sembari terkekeh. Namun, perempuan yang sempat dipersiapkan untuk diterjunkan dalam peristiwa konfrontasi dengan Malaysia itu bersyukur si teman tadi bisa meyakinkan istrinya.
Anna mengaku benar-benar menikmati tugasnya sebagai intel. Berbagai penyamaran rela dilakukan demi mengorek informasi yang ditugaskan. Banyak pengalaman dan pelajaran hidup berharga yang didapatkan.
“Jadi babu pun akan saya lakukan dengan gembira waktu itu,” ungkapnya. Kendati demikian, kata Anna, memilih model penyamaran tidak bisa dilakukan sembarangan. Diperlukan analisis dan pemahaman yang matang terkait situasi yang akan dihadapinya di lapangan. Menurut dia, menjadi intel sangatlah mengasyikkan. Setiap waktu dia bisa bergaul dengan banyak lapisan masyarakat. Mendekati dan menaklukkan orang agar mau memberikan informasi menjadi tantangan yang luar biasa untuknya.
“Sampai-sampai saya suka bikin kue untuk orang tanpa ada alasan,” ujarnya. Sebab, Anna meyakini bahwa hal-hal kecil seperti itulah yang membuatnya sukses menjadi intel. “Atasan minta selesai dua minggu, empat hari saya kelarin,” ucapnya dengan nada membanggakan diri.
Kesibukan sebagai intel tersebut juga tak mengurangi perannya sebagai ibu dan istri. Aries menyebut ibundanya sebagai sosok yang istimewa. Sebab, dia bisa membagi waktu dengan sangat baik antara pekerjaan dan tugas di rumah. “Dia sangat penuh perhatian kepada kami, anak-anaknya,” kata Aries. Namun sayang, pengabdian Anna sebagai polwan harus diakhiri dua tahun lebih cepat. Penyakit di rahimnya telah memaksanya banyak berurusan dengan dokter. Pada 1992 dia harus menjalani operasi.
“Karena merasa sudah tidak mampu, saya putuskan pensiun lebih cepat,” imbuh perempuan dengan pangkat terakhir letnan kolonel tersebut. Namun, pensiun tidak berarti perhatiannya kepada mantan korpsnya berhenti. Dia mengaku prihatin dengan sebagian juniornya saat ini yang dianggapnya berperilaku eksklusif alias kurang menghargai orang lain. Anna mendapatkan kesimpulan itu dari pengalaman sendiri.
“Saya pernah ke kantor polisi. Karena dikira nenek-nenek, (pelayanannya) jadi gak ramah,” ceritanya. Anna berharap perayaan Hari Jadi Ke-67 Polwan besok bisa menjadi momentum perbaikan diri. “Hargailah semua orang. Layanilah mereka dengan sebaik mungkin,” tuturnya. (*/c9/ttg)