Ketika Anak-Anak H Widayat Berebut Warisan sang Maestro

BOKS WIDAYATDemi Uang, 141 Lukisan Berpindah Tangan

Andai saja H Widayat masih hidup, mungkin dia kini dirundung malu dan sedih. Pasalnya, anak-cucunya beramai-ramai berebut harta warisan yang ditinggalkan sang maestro pelukis Indonesia itu. Termasuk 141 karya lukisan Widayat yang “raib” dari museum yang didirikannya di Magelang, Jawa Tengah.

MUKHTAR LUTFI, Magelang

Suatu hari, semasa hidup, H Widayat tampak begitu marah. Marah sekali. Tak pernah dia semurka itu kepada anak-anaknya. Penyebabnya adalah keinginan anak-anaknya dari istri kedua Widayat, Soemini, yang hendak menjual salah satu lukisan yang dipajang dimuseum. Sebuah lukisan istimewa karena dibuat khusus untuk sang istri kedua itu.
Sebelas anak hasil pernikahan Widayat dengan istri pertama, Soewarni, maupun dengan Soemini, dikumpulkan di dalam museum. Semua datang. Tanpa basa-basi, Widayat berwasiat, “Sopo wae (Siapa saja, Red) anak keturunanku, cucuku, sik wani ngrusak (yang berani merusak, Red) atau memindahtangankan lukisan di museum, saya azab, saya laknat,” katanya.
Pesan itu dia abadikan dalam sebuah rekaman dan ditulis di sebuah buku otobiografi H Widayat.
Menurut Fajar Purnomo Sidi, anak sekaligus direktur Museum H Widayat, kemarahan ayahnya itu sangat beralasan. Sebab, anak-anak dari istri kedua ingin menjual lukisan berjudul Untuk Istriku Min (Soemini). Lukisan itu memang dibuat khusus untuk istri keduanya itu. Sebelumnya, Widayat juga membuat lukisan khusus untuk istri pertama.
Anak-anak dari istri kedua Widayat ingin menjual lukisan itu untuk kemudian hasilnya dibagi dan dinikmati bersama. “Saudara-saudara saya ingin menjual lukisan milik Ibu (Soemini, Red) karena anak-anak dari Ibu Soewarni juga menjual lukisan milik ibunya,” ujar Purnomo, anak ketiga dari istri kedua Widayat, kepada Jawa Pos Radar Semarang kemarin (14/1).
Saat itu anak-anak Widayat dari istri pertama menjual lukisan milik ibunya untuk membangun masjid. Lukisan itu dijual dengan harga miliaran rupiah. “Masjid sudah berdiri megah, tapi uang hasil penjualan lukisan masih sisa. Sisa uang penjualan itu kemudian dibagi untuk anak-anak (dari istri pertama, Red),” kata Purnomo.
Tidak ingin anak-anaknya yang lain iri, Widayat sempat menawarkan untuk menjual sejumlah lukisan yang tidak menjadi koleksi di museum. Sebab, bagi Widayat, koleksi di museum harus tetap utuh agar bisa dinikmati pencinta seni dan khalayak ramai.
Widayat sempat khawatir anak-anaknya kelak akan menjual karya-karya lukisan yang dia tinggalkan di museum. Karena itu, sebelum meninggal, dia telah menyiapkan harta warisan berupa uang, tanah, perhiasan, mobil, dan 2.999 lukisan (kecuali yang di museum) untuk sebelas anaknya yang tidak satu pun mewarisi bakat lukisnya. “Nilainya mencapai puluhan miliaran rupiah,” ungkap Purnomo tanpa bersedia memastikan angka nominalnya.
Benar saja, begitu Widayat meninggal, sesaat kemudian seluruh harta warisan itu dibagi rata kepada sebelas anaknya. Pembagiannya diupayakan seadil-adilnya sehingga tidak sampai berpotensi menimbulkan sengketa.
Pada 2002 anak-anak Widayat mengubah pengelolaan museum dari yayasan ke perseroan terbatas (PT). Fajar Purnomo Sidi dipilih sebagai direktur, sedangkan anak-anak Widayat yang lain menjadi komisaris.
Namun, sejak itu perselisihan dimulai. Termasuk diusirnya Fajar Purnomo Sidi dari rumah karena dianggap tidak becus mengurus Museum H Widayat yang terletak di Jalan Letnan Tukiyat, Kota Mungkid, dua kilometer dari Candi Borobudur, Magelang, itu. “Saya diusir karena dianggap akan menguasai peninggalan Bapak,” katanya.
Setelah Purnomo dilengserkan, direktur PT H Widayat digantikan Hendro Wardoyo, anak kedua dari istri pertama. Seiring perjalanan waktu, satu per satu aset PT, termasuk lukisan, dijual kepada pihak lain. Hasil penjualan itu lalu dibagi untuk sebagian anak-anak Widayat.
“Pengeluaran PT saat itu mencapai Rp 75 juta per bulan, sedangkan dari museum tidak ada pemasukan sama sekali,” ungkap Purnomo. Dari kenyataan itu, Purnomo menduga ada penjualan aset museum untuk membiayai operasional PT.
Tak lama kemudian PT H Widayat berganti pimpinan. Jabatan direktur yang semula dipegang Hendro Wardoyo berganti Wicaksono Adi, anak pertama dari istri kedua. Tapi, pergantian pucuk pimpinan itu juga tidak membuat perubahan berarti. PT H Widayat justru semakin bangkrut karena biaya operasional yang tinggi. “Operasional ini termasuk untuk menggaji para komisaris,” kata Purnomo.
Konflik di antara anak keturunan Widayat terus meruncing. Sebagian beranggapan bahwa lukisan di museum adalah warisan yang berhak dimiliki setiap anak. Sebagian yang lain beranggapan aset museum tidak bisa diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
Pada 2010 beberapa anak Widayat mengambil 25 lukisan di museum. Saat itu Purnomo melaporkan pengambilan lukisan tersebut sebagai bentuk pencurian. “Lukisan-lukisan itu dijual dan uangnya dibagi untuk anak-anak Bapak, kecuali saya,” ungkapnya.
Dia menaksir, 25 lukisan milik ayahnya itu laku sekitar Rp 7 miliar. Harga yang pantas untuk lukisan-lukisan karya sang maestro.
Konflik terus berlanjut. Akhir 2012, Fajar Purnomo Sidi dan Dyah Widiyati, anak Widayat yang lain, digugat oleh sembilan saudaranya yang diwakili anak tertua dari istri pertama, Wardaningsih. Gugatan hak waris itu dilayangkan Wardaningsih ke Pengadilan Agama Mungkid, Magelang.
Belum tuntas kasus pertama, muncul kasus kedua. Yakni, raibnya 141 lukisan di museum dan gudang rumah Widayat. Diduga lukisan-lukisan berharga puluhan hingga ratusan juta itu diambil oleh anak-anak Widayat sendiri.
Yuliraharjo, anak Widayat yang lain, membantah bahwa 141 lukisan itu telah dicuri. Apalagi, yang mencuri anak Widayat sendiri. Menurut dia, seluruh aset museum bapaknya sudah diwariskan kepada seluruh anaknya. (*/c2/ari/jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.