Divonis Seumur Hidup, Malah Minta Dihukum Mati
TANGERANG, SNOL Mungkin ini baru pertama kali terjadi. Chen Yi Chi (62), seorang terdakwa kasus narkoba menolak hukuman seumur hidup yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tangerang, Rabu (26/8). Warga Negara Taiwan ini bahkan memohon-mohon kepada majelis hakim agar segera dihukum mati dengan cara ditembak dibanding menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi.
Dalam sidang yang digelar pukul 15.45 wib ini, Ketua Majelis Hakim Maringan Sitompul dalam amar putusannya menyatakan, terdakwa Chen Yi Chi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penyelundupan narkotika sebagaimana diatur dalam pasal 113 ayat (2) jo pasal 132 ayat (1) UU RI No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
“Dengan ini majelis hakim, pertama menjatuhkan terdakwa dengan hukuman seumur hidup dan memerintahkan untuk terdakwa segera ditahan. Kedua, barang bukti yang dibawa oleh terdakwa dirampas negara untuk dimusnahkan. Dan ketiga, membebankan biaya perkara kepada terdakwa,” tegas Maringan, Rabu (26/8).
Putusan yang dibacakan berdasarkan musyawarah pada Senin (24/8), yakni Ketua Majelis Hakim Maringan Sitompol sebagai Ketua dan Syamsudin serta Ninik sebagai anggota. Maringan menjelaskan, dalam rapat pembacaan putusan memang terdapat perbedaan pendapat. “Ketua majelis hakim sepakat dengan Jaksa Penuntut Umum yang menghukum terdakwa dengan pidana mati. Namun dua anggota majelis hakim, Syarifudin dan Ninik, berpandangan lain dan tidak setuju terdakwa dengan hukuman mati,” kata Maringan.
Maringan mengungkapkan, sebelum memberikan putusan, terlebih dulu pihaknya membacakan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Yang memberatkan, perbuatan terdakwa telah melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan motifnya yang ingin mendapatkan upah.
Selain itu perbuatan terdakwa juga sangat membahayakan orang lain serta melawan misi pemerintah dalam memberantas narkoba yang saat ini sudah memasuki darurat. Sementara yang meringankan, terdakwa mengakui perbuatannya, sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum. “Dua anggota hakim tidak sepakat dengan alasan terdakwa sudah memasuki usia lanjut dan ada hal-hal yang meringankan. Maka diberikan hukuman seumur hidup,” jelasnya.
Setelah putusan dibacakan, majelis hakim meminta penerjemah untuk menerjemahkan putusan tersebut. Tapi, terdakwa menolak diberikan hukuman seumur hidup dan meminta diberikan hukuman mati. “Terdakwa tidak mau dihukum seumur hidup, maunya hukuman mati saja. terdakwa juga meminta untuk langsung dieksekusi dengan cara ditembak,” kata Lili, seorang penerjemah yang mendampingi karena terdakwa tidak bisa berbahasa Indonesia.
Maringan kembali menjelaskan, memang dalam putusan sudah dibacakan bahwa majelis hakim ada perbedaan pendapat. Dua majelis hakim memberikan hukuman yang layak adalah pidana seumur hidup. “No… No… No… Mati is Ok,” kata terdakwa Chen Yi Chi di hadapan majelis hakim. Bahkan Chen turun dari kursi sambil menundukan kepalanya ke lantai sebanyak tiga kali.
Maringan menuturkan, terdakwa boleh mengambil sikap menerima atau tidak. Majelis hakim memberikan waktu selama tujuh hari untuk pikir-pikir apakah menerima atau mau banding. Lagi-lagi terdakwa menegaskan hanya ingin diberikan hukuman mati. “Mati yah, mati.. mati… mohon.. mohon,” sambil mengacungkan tangannya di atas kepala. Terdakwa juga menyatakan, dirinya sudah mengakui salah, sudah tua dan tidak berguna. Maka itu, dirinya meminta segera dieksekusi dan tidak mau terlalu lama hidup di dalam penjara.
Selanjutnya, Maringan meminta terdakwa untuk konsultasi dengan penasehat hukumnya, John Hendrik. Menurutnya, setelah dibacakan putusan terdakwa punya hak, kalau keberatan bisa banding. Perkara ini juga akan diperiksa ulang oleh majelis hakim tinggi.
Mendengar putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Tangerang, Tryana mengatakan pikir-pikir untuk menentukan apakah perlu dilakukan upaya banding atau tidak. “Memang dalam putusan ada perbedaan pandangan majelis hakim, tapi kita tidak punya hak untuk mencampuri putusan tersebut. Intinya jaksa menuntut mati dan putusan akhirnya seumur hidup. Kami akan melaporkan dulu ke pimpinan apakah banding atau tidak,” jelas Tryana.
Diketahui, Chen Yi Chi, seorang kakek berumur 62 tahun dituntut mati oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang. Jaksa menuntut warga negara Taiwan ini dengan pasal 113 ayat (2) jo pasal 132 ayat (1) UU RI No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Kasus ini berawal pada Jumat 5 Desember 2014 silam saat terdakwa Chen Yi Chi berada di Tiongkok dihubungi melalui telepon oleh Ahai (DPO) yang menyuruhnya untuk membawa paket sabu dari Tiongkok ke Indonesia. Dia dijanjikan upah 3.000 Yuan dan upah tambahan 13 ribu Yuan setibanya kembali ke Tiongkok.
Setelah disepakati, keesokan harinya, Ahai memberikan tiket kepada terdakwa dan sebuah koper yang di dalamnya terdapat tiga buah gulungan tirai yang berisi sabu yang akan dibawa ke Indonesia.
Kemudian terdakwa berangkat dari Hongkong ke Indonesia pada 7 Desember 2014 dan tiba di Terminal 2 D kedatangan internasional Bandara Soekarno-Hatta Tangerang sekitar pukul 21.00 WIB. Namun saat melalui pemeriksaan X-ray, petugas Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta mencurigai isi dari barang bawaan terdakwa berupa sebuah koper.
Saat digeledah terdapat tiga buah penggulung tirai yang terdapat pipa besi yang digunakan menyimpan sabu seberat 1 kilogram lebih. Atas temuan tersebut, terdakwa beserta barang bukti diamankan untuk diproses lebih lanjut.
Selain Chen Yi Chi, Pengadilan Negeri Tangerang juga memberikan hukuman seumur hidup bagi Xiong Siying (49). Sidang digelar sekira pukul 17.30 wib yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Edi Purwanto yang dibantu oleh I Made Suratmadja dan Inang Mintarsih sebagai anggota.
Berbeda dengan Chen Yi Ci yang meminta dihukum mati daripada seumur hidup, Xiong Siying yang merupakan warga negara China ini malah mengamuk ketika dijatuhi hukuman seumur hidup.
Saat amar putusan dibacakan, Xiong Siying terus menutupi wajah dengan kedua tangannya. Dengan didampingi penasehat hukum S. Troy Latuconsina dan seorang penerjemah, perempuan kelahiran Jiangxi, 8 Juli 1965 itu terus menangis dan menunduk selama persidangan.
Kasus yang menimpa Xiong Siying bermula pada Sabtu 3 Januari 2015 saat terdakwa Xiong Siying bertemu dengan Acheng (DPO) di Shenzhen China. Acheng menyuruh terdakwa untuk menyerahkan paket sabu kepada seseorang yang menunggu di ‘7 Day’ sebuah Hotel di daerah Jakarta Barat.
Setelah disepakati bahwa untuk pengiriman paket tersebut terdakwa akan memperoleh upah dari Acheng sebesar RMB 80.000. Selanjutnya terdakwa terbang dari Hongkong ke Indonesia dengan menggunakan pesawat China Airlines CI 0679.
Kemudian, sekitar 22.15 wib terdakwa tiba di Indonesia melalui terminal 2D Kedatangan Internasional Bandara Soekarno-Hatta Tangerang. Namun saat melintasi pemeriksaan mesin X-Ray, terdakwa tampak gelisah. Pada saat berjalan terlihat adanya benda yang menonjol di bagian celana dalam.
Saat itu saksi Darmadi Joko yang bertugas sebagai operator X-Ray menjadi curiga dan langsung memerintahkan terdakwa untuk berhenti. Xiong Siying dibawa ke posko Delta Terminal 2D Kedatangan Internasional Bandara Soekarno-Hatta. Pada saat dilakukan pemeriksaan, saksi Triana Putrie mengatakan dari badan terdakwa ditemukan sembilan bungkus plastik warna putih yang di dalamnya berisi kristal putih yang diduga narkotika jenis sabu. Diantaranya dua bungkus disimpan di bagian dada, lima bungkus di dalam rok pendek dan dua bungkus di celana dalam.
Dari sembilan plastik setelah ditimbang berat keseluruhan mencapai 2.072 gram sabu. Terdakwa kita kenakan Pasal 114 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1) UU RI No 35 Tahun 2009 tentang narkotika. (uis/dm)