Angklung Gubrak Lahir dari Budaya Agraris
TANGERANG, SNOL—Angklung Gubrak merupakan kesenian yang lekat hubungannya dengan kebudayaan Sunda. Kesenian yang sudah ada sejak zaman kasepuhan ini adalah salah satu bentuk seni dari pola kehidupan masyarakat Sunda yang agraris.
Dahulu, ketika ingin menanam dan memanen padi, masyarakat Sunda menggunakan angklung sebagai iringan. Bagi masyarakat Sunda tempo dulu, hal-hal yang berkaitan dengan perladangan dianggap sebagai suatu yang sakral. Karena diangggap sakral, maka setiap masyarakat yang hendak menanam dan memanen padi harus dilalui dengan sebuah ritual.
Alat kesenian ini terbuat dari bambu yang dikolaborasikan dengan dua buah bedug dogdog lojor. Bambu yang dibuat untuk alat kesenian angklung ini adalah bambu berontok atau sering pula dinamakan bambu petung.
Dahulu, bambu ini juga digunakan untuk senjata melawan penjajah Indonesia. Namun seiring waktu, bambu ini kemudian dijadikan alat kesenian. Hal ini agar nilai–nilai perjuangan dalam mengusir penjajah tidak hilang. Artinya dilestarikan dengan dibuat menjadi angklung.
Pencetus Angklung Gubrak adalah Ki Tobos, seorang pengembara yang berdasarkan sumber berasal dari Cirebon. Ki Tobos mempunyai anak bernama Ki Maun yang kemudian bersedia menerima warisan budaya tersebut. Dari tangan Ki Maun inilah, angklung mulai banyak diperkenalkan ke khalayak. Ki Maun sendiri punya anak yang juga akhirnya menjadi penerus pemain Angklung Gubrak. Dialah Ki Tasmin (orang sering menyebutnya dengan nama Aki Eming ).
Di tangan Ki Eming, sudah banyak kolaborasi antara angklung dengan alat musik lain dilakukan, dimana sebelumnya alat musik tersebut hanya dinikmati dengan mendengarkan iramanya saja. Namun ketika Ki Eming memegang kendali, hal itu sudah mulai dipadukan dengan alat kesenian lain.
Saat Ki Emin meninggal dunia, kesenian ini dilanjutkan oleh anggota keluarganya bernama Sanilan bin H. Naman. Untuk terus mengembangkan kesenian angklung ini, Sanilan kemudian menjalin kerjasama dengan Pemda Jawa Barat. Nama kelompok kesenian ini ditambahkan menjadi Angklung Gubrak.
Keberadaan Angklung Gubrak ternyata sangat diminati oleh berbagai lapisan masyarakat. Sehingga ketika Sanilan meninggal dunia, Angklung Gubrak ini dipegang oleh Sarkani. “Di tangan Bapak Sarkani ini keberadaan Angklung Gubrak dikemas menjadi kesenian tradisional yang menjadi hiburan, sehingga perpaduannya dilengkapi dengan penari, busana atau keseragaman pakaian, yang bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Tangerang,” kata Ketua 1 Komunitas Angklung Gubrak Putra Kemuning, Kresek, Kabupaten Tangerang, Amin. Dahulu, jelasnya kesenian ini hanya dipertunjukkan oleh orang yang ingin mengundang untuk pakaulan, tetapi mulai di tangan Sarkani, dia mengemasnya menjadi kesenian tradisional hiburan, dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah leluhur. “Ini dibuktikan adanya struktur pengurusan dan pembuatan sanggar dan setiap malam Sabtu diadakan latihan,” pungkasnya. (mg26/made)