Suami Siksa Istri di Depan Anak
CIPONDOH,SNOL—Kasus kekerasan dalam rumah tangga kembali terjadi di Kota Tangerang. RH (33), ibu dua anak warga Jalan Hasyim Ashari gang Jamblang, Kecamatan Cipondoh melapor ke polisi setelah ditendang, dipukul, dan disiksa suami di hadapan kedua anaknya.
Peristiwa yang menimpa RH terjadi 20 April 2015 lalu. Perempuan kelahiran Jakarta itu menceritakan penganiayaan yang menimpanya terjadi sekitar Senin (20/4) dinihari sekira pukul 00.30 wib. Awalnya, dia berselisih paham dengan suaminya yang berinisial SG sehingga terjadi keributan dan cekcok mulut. Saat pertengkaran terjadi, sang suami naik pitam, memukuli dan menendang RH di bagian perut.
“Anak saya yang pertama ikut melihat pemukulan itu,”ujar RH, wanita dua anak itu, kemarin. Dia menuturkan, cekcok sudah bermula sejak 19 April 2015, di waktu magrib. Kala itu, sepasang suami istri itu terlibat adu mulut terkait persoalan mobil milik RH yang dibawa sang suami tanpa pernah dibawa pulang. Sang suami, SG, kemudian marah dan malah menuduh RH jatuh cinta dengan laki-laki lain. Pernyataan itu disanggah.
“Saya balikin. Saya bilang dia yang jatuh cinta sama wanita lain, karena saya selalu mimpi kalau dia jalan sama wanita lain. Anak saya juga bercerita mimpi yang sama,”ujarnya. Mendengar tuduhan itu, sang suami berang dan mengeluarkan kalimat kasar serta menghina. Belum sempat meledak, cekcok antara keduanya mereda karena RH pergi bertemu kawannya untuk menyewa baju untuk memperingati hari kartini sedangkan SG pergi bermain bulutangkis. Namun, pertengkaran kembali terjadi kala keduanya pulang.
“Dia pulang lebih dulu sampe rumah, sedangkan saya memang pulang jam 12 malam sama kedua anak saya,”ucapnya. Dalam pertengkaran ‘kedua’ dalam sehari itu, RH menanyakan cincin perkawinan yang sudah tidak dipakai oleh suaminya. Tetapi suaminya berkata cincin perkawinannya sudah tidak berarti.
“Disitulah saya cekcok dan ribut dengan suami. Saya sempat berteriak minta tolong kepada tetangga tapi dia langsung menutup pintu dan tetap memukuli saya. Akhirnya saya mengalami luka memar di tangan kanan dan kiri. Badan saya juga merasa sakit karena pemukulan tersebut,” kata RH.
Setelah keributan itu, saat itu juga RH bersama dua anaknya melapor ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Metro Tangerang dan langsung melakukan visum di RSU Tangerang. SG dilaporkan melakukan Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga Pasal 44 UU No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT.
“Saya sudah tidak kuat mas karena sering banget disiksa sama suami. Pada bulan Januari saja saya sudah tiga kali dapat kekerasan tapi saya tidak bisa melawan. Kita memang sering cekcok, tapi saya yang selalu kena pukul, ditendang, pokoknya disiksa,”imbuhnya.
Dia mengungkapkan kekerasan yang dialaminya seringkali dilakukan di depan anak-anak yang masih kecil. Keributan juga sebenarnya sudah lama dan sering terjadi hingga dia sempat ditalak tiga oleh suaminya.
“Saya sempat pisah dengan dia pada tahun 2011. Saat itu baru punya anak 1, keluarga juga menerima tetapi tiba-tiba dia nyari saya lagi alasan ingin bertemu anak. Akhirnya karena saya kasihan sama anak, saya menikah lagi dengan dia disaksikan dengan orangtua juga sampai punya anak satu lagi,”jelasnya. Saat ini, RH memiliki satu anak berusia sembilan tahun dan seorang balita berusia 3 tahun.
Saat itu memang meskipun terjadi keributan, sang suami tidak berperilaku melakukan kekerasan. Tetapi mulai sekitar Oktober 2014, kekerasan kembali terjadi. Faktornya adalah persoalan ekonomi karena suaminya tidak menafkahi sedangkan sang istri tidak boleh kerja.
“Bahkan uang dia sampai diselipin, punya ATM tm sendiri, buku tabungan ada tiga yang diselipkan di mobil pintu. Saya juga tidak boleh pergi kemana-kemana. Saya dibatasi, sedangkan dia pergi saya tidak pernah batasi. Kalau pulang dia malem terus di atas jam 8 malam,” tuturnya.
Anak pertama Ratna, IR (9) membenarkan tindakan kekerasan yang menimpa ibunya. Bahkan dia hanya bisa menangis ketika ibunya sedang dipukul, ditendang dan dianiaya. “Ya ibu dipukul sama ditendang,” katanya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Metro Tangerang AKP Sutini membenarkan adanya laporan terkait kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Saat ini kasusnya masih dalam proses pemanggilan saksi-saksi. “Ya benar, yang tangani Bu Rumanti. Sekarang masih dalam proses pemanggilan saksi,” katanya ketika dikonfirmasi.
Angka kekerasan di Kota Tangerang cukup tinggi. Sejak Januari 2015, Kanit PPA Polres Metro Tangerang menerima 27 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari 27 kasus sekitar 50-60 persen sudah ditangani, sisanya masih dalam proses hukum.
Psikolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Dra. Diana Mutiahh M.Psi mengatakan masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memang sudah seringkali terjadi di masyarakat. Meskipun ada Undang-undangnya kekerasan ini seolah tak ada habisnya.
“Jeleknya lagi orangtua banyak tidak paham karena mempertontonkan tindakan kekerasan di hadapan anak-anaknya yang masih kecil,” kata jebolan Universitas Indonesia (UI) ini saat dihubungi Satelit News, Minggu (26/4). Perempuan yang juga Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan UIN Ciputat ini menuturkan, kekerasan yang dilihat langsung oleh anak akan tersimpan di dalam memori kehidupannya. Akibatnya sang anak akan membenci ayahnya yang sudah bertindak jahat kepada ibunya.
“Kalau anak sudah umur 9 tahun, itu tahapan berpikirnya sudah baik. Dia bisa tahu hukum sebab akibat kenapa kekerasan itu bisa terjadi. Apalagi kalau nanti jadi saksi, tapi memang kepolisian juga harus menyesuaikan pertanyaannya,” ujarnya.
Selain akan membenci ayahnya, sang anak juga akan trauma setiap kali melihat laki-laki. Kalau traumanya tinggi, sang anak akan selalu melihat seorang laki-laki adalah jahat. Itu juga akan terpengaruh dimasa depannya dia akan lebih selektif memilih pasangan atau bahkan takut untuk menikah.
“Dinamikanya macam-macam tergantung lingkungannya, apakah ada yang menetralisir atau tidak. Intinya peristiwa kekerasan dihadapan anak itu tidak baik, karena akan tertanam dan menjiwa di seorang anak,” jelasnya.
Kandidat doktoral itu juga menyatakan, langkah-langkah antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan harus dilakukan. Diantaranya, suami jangan sampai melakukan atau mempertontonkan kekerasan didepan anak-anaknya.
“Orang tua harus intropeksi, keharmonisan keluarga harus dijaga atau kalau perlu sudah terjadi sang anak harus dibawa keluar dari ranah konflik keluarga tersebut,” ungkapnya.
Penanganan trauma anak seperti ini juga harus dilakukan dengan lembut. Orangtua harus lebih menggunakan jalan-jalan diskusi atau mediasi menyikapi permasalahan yang ada. Tapi kalau memang sudah tidak bisa dilakukan seperti itu karena kekerasan yang dilakukan berulang-ulang, perempuan juga harus tegas.
“Apabila kekerasan yang dilakukan berulang kali, seorang laki-laki yang tidak bisa diharapkan, main dengan wanita idaman lain, tidak menafkahi ya lebih baik ambil keputusan pisah demi kebaikan,” tuturnya. (uis/gatot)