Teliti Sebelum Membeli !
TANGERANG,SNOL—Hari Konsumen Nasional jatuh pada hari ini, Senin, 20 April 2015. Tapi sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan, konsumen di Tangerang belum mendapatkan hak sesuai amanat UU No 8 tahun 1999.Barang kedaluwarsa, sengketa leasing hingga tak adanya badan penyelesaian sengketa konsumen di Kota Tangerang masih menjadi persoalan yang menonjol di Hari Konsumen Nasional.
Maraknya barang kedaluwarsa ditemukan Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Handaini (YLPKH) Kota Tangerang. Dalam pengawasan yang mereka lakukan, ditemukan sejumlah barang/produk dan bahan makanan masih terpajang di pusat perbelanjaan meskipun tanggal kedaluwarsanya sudah habis. Ketua Divisi Pengawasan YLPKH Kota Tangerang, Yudhistira Prasasta mengimbau agar masyarakat Kota Tangerang lebih berhati-hati dalam membeli dan mengkonsumsi atau menggunakan makanan, minuman, kosmetik, jamu-jamuan atau herbal yang mengandung bahan kimia serta berakibat fatal bagi kesehatan.
“Masyarakat harus teliti sebelum membeli, lihat keaslian barang jangan tertipu dengan harga yang murah. Kemudian lihat masa kedaluwarsanya serta jangan membeli produk yang masa kedaluwarsanya tinggal 15 hari lagi,” kata Yudhistira.
Pihaknya juga mengingatkan kepada para pengusaha pusat perdagangan di Kota Tangerang dapat bekerjasama melindungi konsumen. Pelaku usaha (industri kecil dan menengah) diimbau agar tidak menggunakan formalin, boraks dan pewarna textile karena mengandung rondamin B sebagai pengawet, pengembang dan pewarna produk makanan dan minuman seperti mie basah,pentol, kerupuk, tahu, roti, sirop, saos tomat dan lain-lain.
“Kita harus teliti melihat kemasan. Kemasan harus dalam keadaan baik (tidak masuk angin dan menggembung kalau dalam produk kaleng, tidak rusak kalau dalam bentuk bungkusan). Serta kepada pedagang diimbau agar tidak memajang atau menjual barang kedaluwarsa,” ucapnya.
Anggota Divisi Pengawasan YLPKH Kota Tangerang, Basuni mengatakan, sengketa konsumen dengan pengusaha yang terjadi di Kota Tangerang juga harus menjadi perhatian. Masyarakat masih kesulitan dalam menggugat pengusaha yang masih bandel karena belum adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
“Saat ini masyarakat yang bersengketa dengan pengusaha bingung. Mereka harus menggugat ke Pengadilan, sedangkan proses di Pengadilan kan butuh waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Sehingga kasus tersebut hilang begitu saja dan masyarakat yang dirugikan,” jelasnya.
Basuni berharap, Pemkot Tangerang bisa membentuk lembaga BPSK sesuai dengan amanat Undang-undang No 8/1999 tentang perlindungan konsumen dimana pemda berkewajiban membentuk BPSK di Tingkat II Kab/Kota. Menurutnya, persoalan konsumen saat ini sangat memperihatinkan karena tidak ada kejelasan penuntasannya.
“Barometernya kota Tangerang adalah identik dengan perdagangan dan jasa maka sangat penting dibentuk. Kita prihatin juga Tangsel saja kota yang baru dimekarkan sudah ada BPSK. Sedangkan kita belum ada, padalah kita juga dikenal dengan kota 1000 industri,” ujarnya.
BPSK Tangsel Tangani 15 Kasus
Terkait BPSK, Pemkot Tangerang dapat mencontoh saudara mudanya, Kota Tangerang Selatan. Belum setahun berdiri, BPSK Kota Tangsel menerima sedikitnya 15 persoalan yang diadukan konsumen. Tiga diantaranya sudah disidang dan menerima putusan sengketa.
“Kami baru terbentuk Mei 2014. Sejak satu minggu berdiri sudah ada pengaduan berbagai persoalan yang masuk kepada kami. Jika ditotal, hingga hari ini sekitar 15 pengaduan yang sudah masuk,” tutur Kepala BPSK Kota Tangsel, Kiblatullah, saat dihubungi Satelit News, Minggu (19/4) petang.
Dari belasan kasus tersebut, Kiblat panggilan akrab pria ini, menuturkan kalau paling besar yang dilaporkan persolan persengketaan leasing. Masyarakat bersengketa dengan perusahaan finance ataupun perbankan.
“Paling banyak antara konsumen dengan leasing mobil atau motor. Biasanya dikarenakan keterlambatan membayar, kesewenang-wenangan para kolektor yang diutus perusahaan leasing, sampai ketidaktahuan pemilik kendaraan atau si kreditor atas perjanjian yang sebelumnya sudah disepakati pada saat akad kredit,” ungkap Kiblat.
Pada kasus ini, mayoritas kreditor tak membaca secara seksama apa yang menjadi perjanjian dan tertuang di berkas yang harus ditandatangani. Untuk itu, Kiblat berharap, masyarakat untuk lebih teliti lagi dengan segala perjanjian yang akan berlaku selama proses cicilan berlangsung.
Untuk kasus ini, sudah ada kasus yang masuk persidangan sengketa. Yakni kasus antara konsumen dan perusahaan leasing Bank CIMB Niaga. Pada saat itu konsumen tidak menerima kalau mobil yang dikreditnya diambil semena-mena oleh kolektor.
“Namun satu sisi, si pelapor ini ternyata nunggak cicilan tiga bulan ke belakang. Hingga akhirnya sengketa dimenangkan pihak terlapor,” ungkap Kiblat. Lain lagi soal sengketa seorang konsumen keracunan susu kedaluwarsa yang masih dijual di salah satu supermarket di kawasan Pamulang.
Pada saat itu, mengingat bukti yang dihadirkan pelapor mulai dari hasil visum, botol susu, serta bukti pendukung lainnya, pelapor pun memenangkan sengketa. Dan akhirnya pihak super market dan produsen susu harus membayar ganti rugi sebesar Rp 10 juta.
“Kami pun melihat segala bukti yang ada dalam pengambilan keputusan. Di dalam setiap proses peradilannya pun lebih mengkedepankan musyawarah untuk menyelesaikan sengketa,” tuturnya. (uis/pramita/gatot)