Nelayan Karangantu Tak Melaut
SERANG,SNOL-Masyarakat nelayan di Karangantu Kecamatan Kasemen Kota Serang, tak menyambut gembira peringatan hari Nelayan 6 April 2015. Kesejahteraan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan menjadi fakta yang terpampang jelas.
Pemukiman kumuh, fasilitas pendidikan dan kesehatan dan ketiadaan jaminan penghidupan yang lebih baik. Kehidupan nelayan sangat bergantung pada nilai jual hasil tangkap, biaya melaut serta kondisi alam. Kondisi cuaca dan keterjangkauan membeli logistik melaut akan sangat berpengaruh pada pendapatan nelayan. Kenyataan di lapangan sangat jauh dari harapan. Pendapatan nelayan yang didapat tidak pernah sepadan dengan kebutuhan hidup yang tinggi.
“Nasib nelayan terus terpuruk. Harga solar yang terus melonjak membuat kami membatasi jadwal melaut di perairan Selat Sunda. Selain itu, harga ikan terus merosot karena harga es balok untuk pendingin ikan ikut naik. Kami terpaksa menambatkan kapal di bibir pelabuhan, persis dekat pelelangan ikan di Karangantu,” keluh Daeng, salah satu nelayan asli Sulawesi yang tinggal di Karangantu,Kota Serang, Senin (6/4).
Selama ini nelayan banyak mengisi hari-harinya dengan membenahi jaring ikan, lambung kapal, dan lampu petromaks. Ada juga yang terlihat nongkrong di pasar ikan. “Sudah berapa kali harga solar naik, jadi biaya operasional melaut jadi membengkak,” kata Daeng.
Menurut dia, sejak harga BBM turun naik, harga solar eceran di tempatnya membeli tak terkendali. Ia dan nelayan lainnya setiap melaut membeli solar di eceran, karena stok di SPBU habis. Harga eceran memang jauh lebih mahal dibandingkan dengan di SPBU.
Menurut penuturan Daeng, yang juga menjadi Ketua kelompok nelayan di Karangantu, sekali melaut dengan kapal besar membutuhkan biaya operasional sebesar Rp 20 – 22 juta. “Sekarang ini membengkak. Nambah lima sampai tujuh juta (rupiah),” katanya.
Untuk menutupi biaya operasional melaut, nelayan mengaku kesulitan. Pasalnya, hasil tangkapan ikan di laut dengan harga jual tidak sebanding. Harga ikan sekarang sedang turun lantaran pemasok ikan mengalami kesulitan dengan harga es balok yang terus naik. “Ikan tidak bisa disimpan lama karena kekurangan es balok,” jelasnya.
Untuk menyiasati hal tersebut, para nelayan mengurangi jadwal melaut. Meski demikian, beberapa nelayan juga masih memaksakan melaut karena tuntutan kebutuhan rumah tangga. “Mereka terpaksa melaut, karena untuk keperluan keluarga. Kerja lain tidak ada,” Kata Daeng.
Hal yang sama diungkapkan nelayan lainnya, Harun. Selain menangkap ikan, nelayan ada yang menjadi bakul ikan yang membeli ikan hasil tangkapan nelayan, lalu mereka jual ke pasar.
“Kadang kalau rezeki kita lebih, kami dapat membeli keperluan di darat maupun melaut, tetapi kalau lagi paceklik jaring pun bisa kami jual,” aku Harun.
Nelayan yang berada di Desa Banten jumlahnya sekitar 1.160 orang, dengan armada perahu kurang lebih 250 unit. Wilayah tangkap nelayan asal desa itu mencapai perairan Lampung, Jakarta, sekitar perairan pulau Tunda, pulau Sanghyang.
Setelah kenaikan BBM dan juga cuaca yang buruk, dirinya kini terpaksa beralih profesi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari dengan menjadi pedagang nasi di sekitar Pelabuhan Perikanan Karangantu. “Kami sudah biasa jika tidak melaut terpaksa berjualan nasi untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga,” katanya.
Bahkan banyak juga rekan-rekan nelayan beralih menjadi pedagang, kuli bangunan, buruh tani dan pengemudi angkutan. Pekerjaan tersebut terpaksa dilakukan lantaran nelayan tidak memiliki modal besar untuk melaut, dan saat ini sedang masuk musim paceklik akibat cuaca yang tidak menentu. (metty/jarkasih)