Nelayan Tangerang Berharap Kesejahteraan
PAKUHAJI,SNOL—Tak banyak yang tahu jika pemerintah menetapkan 6 April sebagai Hari Nelayan Nasional. Termasuk para nelayan di Kabupaten Tangerang.
Waktu menunjukan pukul 12.00 wib. Suasana perkampungan nelayan di TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang tampak ramai. Ada nelayan yang baru saja pulang dari melaut dan ada yang ingin menyeberang ke pulau untuk mengantar logistik.
Para nelayan yang baru pulang melaut terlihat mengobrol santai. Sebagian lainnya memperbaiki perahu dan jaring. Selain itu ada juga yang mondar-mandir memanggul ikan untuk dibawa ke pelelangan Cituis.
“Kalau saya pindah ke sini (TPI Cituis) sudah dari tahun 1990, sebelumnya saya di Pelabuhan Periuk. Untuk waktunya biasa selama seminggu dan istirahat di darat tiga hari. Kalau sekali melaut sekitar 8-13 orang,” kata Iwan (40), salah seorang nelayan saat ditemui oleh Satelit News, Minggu (5/4).
Iwan sendiri bingung ketika ditanya tentang hari nelayan nasional. Dia mengaku tidak pernah tahu ada yang namanya hari nelayan. Lanjut Iwan, peringatan yang biasa digelar adalah pesta laut sebagai bentuk rasa syukur.
“Kalau hari nelayan apa ya, kita tidak tahu dan tidak ada juga perayaan yang istimewa,” ujar Iwan. Namun, dia tetap saja berharap kehidupan nelayan bisa menjadi sejahtera. Pasalnya, penghasilan para pelaut pencari ikan saat ini jauh dari cukup.
Menurut Iwan, setiap kali melaut, dia membutuhkan dana sebesar 15 juta rupiah. Dana tersebut digunakan untuk biaya solar, makan, batu es dan yang lainnya. Modal melaut itu biasanya diperoleh dengan cara meminjam.
Apabila panen ikan, maka satu kapal nelayan bisa mendapatkan penghasilan sebesar 25 juta rupiah. Uang itu akan terlebih dulu digunakan untuk membayar dana pinjaman sebesar 15 juta. Sisasnya dibagi antara kru nelayan dengan pemilik perahu.
“Barulah bersihnya kita dapat Rp5 juta yang di bagi-bagi ke nelayan. Tapi jarang sekali kita dapat besar, paling dapat hanya Rp20 juta. Parahnya lagi kalau lagi apes, mesin rusak atau tangkapan sepi, paling nelayan cuma dapat ongkos saja Rp100 ribu,” jelasnya.
Dia menambahkan, kenaikan harga solar turut mempengaruhi pendapatan nelayan. Saat ini harga solar di SPBU mencapai 6900 rupiah per liter sementara jika sudah sampai di pelabuhan harganya menjadi 7900 per liter.
Pernyataan senada diungkapkan nelayan lainnya, Mukmin (45). Nelayan asal Brebes itu mengungkapkan, selain mahalnya solar untuk transportasi melaut, dia bersama nelayan yang lain juga merasa was-was saat melaut karena adanya larangan menggunakan alat tangkap cantrang.
“Pemerintah harusnya pro nelayan, bukan hanya mengeluarkan larangan tapi juga memberikan solusi. Kalau kita dilarang pakai cantrang, mau pakai alat tangkap apa,”ungkapnya.
Bapak dari empat orang anak ini menuturkan, para nelayan sekarang bertahan hidup hanya dengan meminjam uang kepada para pengusaha kapal maupun kepada ketua organisasi himpunan kapal.
“Saya pulang ke kampung tiga bulan sekali. Anak saya empat butuh makan dan kehidupan juga. Saya berusaha untuk membiayai pendidikan anak-anak saya di kampung. Kalau nelayan masih jauh mas dari hidup sejahtera, sekarang masih kurang,” ujarnya. Nelayan lainnya, Sayin (43) menambahkan pemerintah seharusnya menunjukan keberpihakannya kepada nelayan dengan memberikan modal pinjaman, asuransi, subsidi solar serta keamanan saat melaut.
Ada 6000 Nelayan di Kabupaten Tangerang
Rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan diakui Pemkab Tangerang. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tangerang, Herry Wibowo menjelaskan jumlah nelayan wilayahnya kurang lebih sebanyak 6000 jiwa. Mereka yang tersebar di delapan kecamatan yakni Teluk Naga, Kosambi, Mauk, Kronjo, Mekar Baru, Pakuhaji, Kemiri dan Sukadiri. Namun dari jumlah tersebut, hanya 10 persennya yang memiliki kapal sendiri.
“80 persen dari nelayan Kabupaten Tangerang adalah pendatang. Sisanya sebanyak 20 persen asli Kabupaten Tangerang. Umumnya para nelayan hanya menjadi buruh kepada pemilik kapal. Artinya setiap ikan yang mereka dapat bukan menjadi milik sendiri melainkan miliknya para juragan kapal atau dalam bahasa nelaya disebut bakul,” ujarnya kepada Satelit News, kemarin.
Herry mengatakan jumlah kapal yang terdaftar di Pemerintah Kabupaten Tangerang sejumlah 500 unit. Rata-rata merupakan kapal kecil sehingga daya jelajahnya kecil maksimal sejauh 4 Km dari pesisir pantai.
“Pemkab Tangerang sudah berupaya mensejahterakan para nelayan. Kami membuat program gerbang MAPAN untuk memudahkan mereka menjual hasil tangkapan ikannya. Ada pula pemberian bantuan kepada nelayan yang tidak mampu seperti alat tangkap ikan serta perbaikan kapal-kapal nelayan yang rusak. Fungsinya adalah agar para nelayan tersebut bisa kembali melaut, sehingga perekonomian mereka bisa kembali normal,” tandasnya. (mg27/uis/mg26/gatot)