Biaya Caleg Picu Korupsi
JAKARTA,SNOL– Semakin tingginya biaya politik yang tinggi dalam proses pemilihan umum (Pemilu) menjadi beban politisi dan partainya, diprediksi bakal berimbas pada maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aktor politik. Karena itu, bukan tidak mungkin jika biaya pencalegan 2014 makin membengkak, maka jumlah anggota DPR yang terjerat kasus korupsipun makin banyak.
”Sudah jadi rahasia umum jika modal pencalonan itu harus dikembalikan saat seseorang berkuasa. Akses pada kekuasaan dan anggaran yang lebih dekat, pasti akan menggoda para politisi, terutama di DPR. Karena itu, wajar jika banyak tersangka korupsi adalah aktor politik,” papar Pengamat politik Point Indonesia Karel Harto Susetyo kepada INDOPOS (Grup JPNN), Minggu, (23/06).
Karel memprediksi, caleg yang saat ini namanya sudah terdaftar di Daftar Caleg Sementara (DCS), saat ini sedang pusing dalam persoalan pendanaan, terutama caleg baru atau bukan incumbent yang sudah berpengalaman dan sudah mempersiapkanya jauh-jauh hari. Pasalnya, untuk menjadi anggota DPR saja minimal dibutuhkan dana Rp 1,5 miliar.
”Bukan dana yang sedikit dan itu harus sudah dipersiapkan para caleg dalam bentuk cash. Dan yang bisa mempersiapkan dana tersebut dengan cepat, yaitu mereka rata-rata yang memiliki background sebagai pengusaha. Jika aktivis atau pekerja partai saya rasa sulit, jelas mereka tak sanggup,” tuturnya.
Karena itu, dirinya memprediksi mayoritas caleg yang nantinya akan duduk di DPR pada periode 2014 – 2019 adalah mereka para pengusaha dan incumbent. Paling banyak wajah baru yang menghuni DPR nantinya tidak kurang dari 25 persen. ”Wajah lama akan tetap mendominasi, karena mereka lebih pengalaman. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan lebih ketat pada lembaga legislatif agar bisa dicegah terjadinya praktek korupsi yang menyeret anggota dewan itu sendiri,” jelasnya.
Jika tidak ada aturan yang lebih ketat untuk bisa mencegah terjadi praktek korupsi di lingkungan parlemen, lanjut Karel, maka bukan tidak mungkin citra DPR akan semakin rusak saja karena banyak oknum anggotanya yang terseret kasus korupsi. ”Butuh pencegahan sejak dini, karena itu KPU juga harus bisa mengetahui sumber dana calegnya. Ini agar bisa dicegah terjadinya praktek balsa budi atau pengembalian modal pada para bohir,” jelasnya.
Di lain tempat, Pengamat politik asal Universitas Indonesia (UI) Donny Tjahja Rimbawan saat diskusi Institut Transparansi Kebijakan (ITK) di Cikini, mengkalkulasi dalam pengelolaan partai politik (parpol) saja selama lima tahun biaya yang harus dikeluarkan oleh parpol berkisar Rp 188,700 miliar untuk keberadaan kantor parpol di kabupaten/kota dan ibu kota provinsi. ”Itu sebatas dana untuk merawat konstituen dan kantor DPP. Sementara biaya lebih besar juga dikeluarkan oleh para caleg yang akan duduk di DPR RI dan DPRD. Ini setidaknya jika diakumulasi akan mengeluarkan dana berkisar Rp 160,120 triliun,” papar Rimbawan.
Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) baik untuk menjadi bupati, wali kota maupun gubernur biaya yang dikeluarkan para calon juga begitu besar dan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima selama lima tahun berkuasa. ”Untuk pilkada setidaknya dana yang gelontorkan di seluruh Indonesia mencapai Rp 23,180 triliun, dengan perhitungan seorang calon gubernur mengeluarkan dana rata-rata Rp 25 miliar dan seorang calon bupati / wali kota mengeluarkan dana berkisar Rp 10 miliar,” terangnya. (dms/jpnn)