Nicholaus Prasetya; Tiga Hari Disembunyikan Tetangga di Rumah Sebelah
Toleransi atas ras, suku, agama, dan budaya hampir menjadi tema besar secara keseluruhan tulisan Nicholaus Prasetya. Ide besarnya tentang toleransi tanpa memandang identitas itu mendapat apresiasi. Dia datang sebagai etnis Tionghoa dan nonmuslim pertama yang memenangi sayembara yang diadakan Forum Muda Paramadina, Oktober lalu.
Jakarta mencekam kala itu. Ketakutan yang akut menjalar pada hampir seluruh tubuh etnis Tionghoa. Negeri yang konon takzim pada segala perbedaan ini tiba-tiba menjadi ancaman bagi kalangan minoritas. Tak sedikit warga Tionghoa yang akhirnya kabur ke luar negeri untuk menghindari pertikaian berbasis ras yang mengganas, pada tempo menjelang runtuhnya Orde Baru, Mei 1998. Namun, tak sedikit pula Tionghoa yang bertahan di tengah kerusuhan.
Pada lesatan zaman yang lampau, Anne Frank, seorang gadis Jerman keturunan Yahudi, bersama ayah, ibu, dan kakak perempuannya bersembunyi di Achterhuis (ruang rahasia yang ditutup rak buku), Amsterdam, Belanda. Upaya itu dilakukan agar mereka selamat dari pendudukan Nazi yang anti-Yahudi. Dalam ruang rahasia tersebut, lahirlah sebuah catatan harian yang ditulis Anne Frank, yang kemudian menjadi saksi bisu peristiwa Holocaust.
Bak kisah Anne Frank, Nicholaus Prasetya dan tiga anggota keluarganya bertahan dari anarkisme massa. Nicho kecil, yang masih berusia delapan tahun, terlampau lugu untuk mengerti keadaan saat itu. Yang dia tahu, setelah menyaksikan laporan pewarta televisi tentang pecahnya kerusuhan, sang ibu, Agustina Aniwati, 46, terus saja meneteskan kristal bening dari matanya. Sang ayah, Soegianto Sriwulan, 57, terus memantau keadaan luar dari balik tirai jendela. Sang kakak, Theresia Tyas Leonita, yang lebih tua setahun dari Nicho, juga tak berani mengusik situasi di dalam rumah yang penuh kebimbangan itu.
Jarum jam yang terkesan melambat terasa tak ramah lagi bagi kepastian keselamatan etnis Tionghoa saat itu. Hingga akhirnya terdengar ketukan di pintu depan rumah Nicho, yang terletak di daerah Kelapa Gading, Jakarta. Seorang tetangga sebelah rumahnya, warga pribumi, datang menawarkan tempat persembunyian. Tawaran itu disambut baik oleh keluarga Nicho. Dengan mengemas barang seadanya, Nicho dan keluarganya lalu pindah ke rumah tetangga yang letaknya persis bersebelahan dengan rumah keluarga Nicho.
Selama tiga hari tiga malam, Nicho dan keluarganya bersembunyi di rumah itu. Layar televisi tabung menyala 24 jam demi memantau pergerakan massa di luar. Nicho ingat betul, ketika itu tetangga yang berhati mulia tersebut ikut menjaga kompleks rumah secara ketat. Mereka tidak ingin ada warga Tionghoa di kawasan itu yang menjadi korban. Setelah tiga hari, situasi berangsur-angsur kondusif. Keluarga Nicho pun selamat dari amukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Pasca kejadian itu, hari-hari berjalan seperti biasa. Namun, Nicho yang beranjak dewasa tidak akan pernah lupa peristiwa tersebut. Dia tumbuh menjadi pribadi yang kritis. Senantiasa mempertanyakan dan mencari jawaban atas isu yang hingga saat ini tak kunjung rampung: toleransi terhadap perbedaan ras, agama, dan status sosial.
“Justru, akhir-akhir ini isu perbedaan itu mencuat kembali,” ungkap Nicho saat ditemui di kampusnya, Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu lalu (12/11).
Baju putih lengan panjang Nicho ditekuk sedikit ke atas saat dia bercerita tentang jalan panjang menuju reformasi menjadi inspirasi penting dalam perjalanan hidupnya. Tapak sejarah itu pun dituangkan Nicho dalam esainya yang diikutsertakan dalam sayembara penulisan Forum Muda Paramadina 2012.
Dalam esai delapan halaman tersebut, dia menuliskan romantisme 14 tahun silam, beserta orang-orang yang berani menantang mainstream. Bagi Nicho, sosok tetangga yang baik, yang menawarkan tempat persembunyian bagi keluarganya, merupakan salah satu pihak yang berani menentang mainstream itu.
Sejumlah warga pribumi melakukan hal yang sama seperti tetangga Nicho. Mereka telah menyelamatkan warga-warga Tionghoa dari kerusuhan kala itu. Di tengah isu diskriminasi terhadap etnis tertentu, rupanya, masih banyak warga yang bersikap toleran terhadap keberagaman.
“Dalam persembunyian itu, saya dan keluarga hidup membaur dengan anak-anak si tuan rumah. Kami makan bersama. Tidur bersama mereka di kasur tipis yang digelar di lantai. Kami tidak merasakan adanya perbedaan itu. Kami merasa sama,” ungkapnya sambil menggeser letak gelang hitam di tangan kirinya.
Pengalaman Nicho yang mendalam itulah yang membuat tim juri sayembara Ahmad Wahib Award dengan tema Inspirasi untuk Toleransi terperangah. Karya esai Nicho yang berjudul Ahmad Wahib: Ketika “Yang Lain” Menjadi Subjek akhirnya dinobatkan sebagai pemenang dalam lomba dua tahunan itu.
Nicho menyelaraskan langkah yang belum usai dari Ahmad Wahib, sang pemikir. Logika eksak yang digelutinya tidak mengendurkan jiwa Nicho untuk peka terhadap realitas sehari-hari. Gagasan Ahmad Wahib tentang agama, Tuhan, dan diversitas atau keberagaman itu menjadi rangsangan bagi Nicho untuk terus menulis tentang perdamaian dan pemikiran berani untuk membela mereka yang hidup dalam minoritas.
“Selama ini kita terlalu kaku dan rigid. Tidak bisa menerima perbedaan itu. Padahal, ada identitas kita yang saling bersinggungan,” terangnya.
Bagi Nicho, dalam dunia yang semakin kompleks dan manusia dituntut menerima keberagaman, dibutuhkan suatu hukum yang toleran. “Namun, hukum kita saat ini masih berdasar intoleransi,” tegasnya.
Menurut dia, produk hukum yang berdasar intoleransi agama, misalnya, akan menjadi tempat persembunyian para oknum dan penjahat yang tak menginginkan perdamaian. Nicho mempersoalkan pelarangan pembangunan bahkan pencabutan izin rumah ibadah.
“Dalam hal inilah seharusnya regulator yang mengedepankan toleransi kepada agama lain lebih objektif,” tuturnya. (henny g/c5/ari/jpnn)