Yuli dan Ahmad Badawi, Pasangan yang Merawat 22 Anak Asuh

Kelahiran anak keempat yang sempat berisiko meneguhkan niat Yuli Badawi untuk mengasuh anak-anak telantar atau yang tak dikehendaki keluarganya. Meski tak pernah meminta sumbangan, rezeki tidak pernah berhenti mengalir.
Saat masa sekolah seperti sekarang ini, rumah berlantai tiga dengan delapan kamar di Perumahan Kopo Permai, Bandung, itu memang terasa sepi. Maklum, penghuninya “hanya” tersisa pasangan suami-istri, Ahmad dan Yuli Badawi, serta empat anak mereka.

Hanya itu harus diberi tanda kutip karena sejatinya anak pasangan guru SMA (Yuli) dan pensiunan PNS (Ahmad) tersebut tak tanggung-tanggung: 12 orang. “Enam anak saya sudah mondok di pesantren. Ada yang madrasah ibtidaiyah (SD) dan madrasah tsanawiyah (SMP). Ini tinggal empat anak yang masih balita yang di rumah. Yang dua lagi di ibu dan kakak saya,” ujar Yuli Badawi ketika ditemui di kediamannya pada Minggu (23/9).

Ditambah empat anak kandung mereka, total ada 16 anak yang bakal meriung di rumah tersebut begitu liburan tiba. “Kalau pas ngumpul, ya rame. Pokoknya ndak bisa duduk santai, tapi seneng,” ujar perempuan berjilbab itu lantas tersenyum. Ya, Yuli dan Ahmad memang dikenal sebagai pasangan dengan jiwa sosial yang sangat tinggi. Selain empat anak kandung mereka, sejak 12 tahun silam, total mereka telah merawat 22 anak asuh.

Karena sebagian sudah diambil orang tua atau keluarga masing-masing, tersisalah 12 anak tersebut yang datang dari latar belakang berbeda-beda. Hebatnya, semua anak asuh itu mereka rawat tanpa pernah meminta sumbangan kepada siapa pun.

Keputusan perempuan 53 tahun tersebut untuk mengasuh puluhan anak itu berawal ketika dirinya dinyatakan hamil anak keempat pada usia 41 tahun. Menurut prediksi dokter, kehamilan tersebut berisiko. Apalagi, pada kehamilan sebelumnya, perempuan kelahiran Madiun, Jawa Timur, tersebut sempat mengalami koma. Dia pun disarankan untuk menggugurkan kandungan.

Namun, Yuli bersikeras mempertahankan kandungan. Berkat doa yang tiada henti, operasi Caesar yang dijalani berlangsung lancar. Bahkan, seusai operasi, dia tidak merasakan sakit sama sekali. Itulah yang membuat Yuli merasa harus bersyukur kepada Allah. Dia pun mencari cara untuk mewujudkan rasa syukur tersebut. Karena kerap menyaksikan berita kriminal pemerkosaan yang berbuntut pada pembuangan si jabang bayi, Yuli pun berpikir untuk bersyukur dengan cara mengasuh anak-anak kurang beruntung itu.

Dia berdoa agar diberi kesempatan untuk memiliki anak asuh. Tidak lama, doanya terjawab. “Salsa, anak saya yang keempat itu, ngglundung dari tempat tidur. Karena saya ini orang kuno, saya bawa dia ke dukun bayi. Eh, di sana, saya ditawari mengasuh bayi yang baru lahir. Saya tertarik,” ungkapnya mengenang kejadian pada 2004 itu.

Tapi, Ahmad tidak langsung mengizinkan. Sebab, saat itu Yuli masih kerap keluar masuk rumah sakit lantaran asma yang dideritanya. Namun, akhirnya permintaan perempuan berkacamata tersebut dikabulkan sang suami dengan tiga syarat. “Saya nggak boleh ngeluh, nggak boleh minta sumbangan atau menceritakan kesulitan saya ke orang lain agar mereka mau nyumbang, dan saya harus adil antara anak kandung serta anak asuh,” ujar guru agama Islam di SMA 4 Bandung itu.

Karena merasa sanggup memenuhi tiga syarat tersebut, Yuli pun langsung mengambil bayi yang masih merah tersebut. Bayi laki-laki itu diberi nama Muhammad Azzam. Awal 2004, Azzam resmi menjadi anggota keluarga suami-istri tersebut. Empat tahun sebelum Azzam, Yuli-Ahmad sebenarnya juga memiliki anak asuh bernama Juni Rianto. Dia adalah murid Yuli yang mengalami kesulitan biaya pendidikan. Juni diajak tinggal di keluarga tersebut dan dibiayai hingga kuliah.

Tapi, kedatangan Azzam-lah yang seolah membuka pintu bagi datangnya anak-anak asuh Yuli dan Ahmad lainnya. Tujuh bulan setelah Azzam, si dukun bayi langganan Yuli kembali membawa seorang bayi baru lahir ke kediaman Yuli.

Bayi tersebut adalah anak seorang pengamen dan pemulung. Bayi yang lantas diberi nama Muhammad Baqir itu sengaja ditinggal karena si orang tua tidak kuat menghidupi si bayi. “Anaknya sudah lima, kasihan. Akhirnya, saya terima bayinya,” ujar Yuli.

Selanjutnya, bayi-bayi terus berdatangan ke kediaman Yuli. Tidak hanya dari si dukun bayi, dia juga mendapat permintaan untuk mengasuh bayi telantar dari orang-orang sekitar yang pernah mendengar tentang dirinya.

Misalnya, ketika salah seorang kenalannya mengabarkan bahwa ada perempuan hamil tujuh bulan yang akan gantung diri karena ditipu si suami yang ternyata sudah berkeluarga. “Dalam kondisi nggak punya uang, ditinggal sama suaminya, ya kepikirannya bunuh diri. Untung ketahuan warga sekitar. Akhirnya, saya ajak dia tinggal di sini sampai anaknya lahir. Setelah itu, dia pulang ke kampung. Anaknya saya beri nama Muhammad Fahruddin,” urainya.

Ada juga keluarga si bayi yang sengaja mendatangi kediaman pasangan tersebut. Yuli menuturkan, suatu kali ada seorang perempuan tengah baya yang berniat menitipkan cucu. Si nenek bercerita, ibu si bayi tersebut dihipnotis, lantas diperkosa orang tak dikenal. Karena merupakan keluarga pejabat yang terpandang, mereka tidak mampu menanggung malu dengan merawat si bayi. Akhirnya, bayi yang diberi nama Naura Azzahra itu diberikan kepada Yuli. “Mereka baca tentang saya di koran. Lalu, mereka datang kepada saya untuk kasih Naura,” ungkap Yuli.

Suatu kali, perempuan bernama lengkap Endang Yuli Purwati tersebut juga didatangi dua remaja yang membawa bayi. Keduanya berniat menyerahkan si bayi untuk dirawat Yuli. Melihat usia keduanya yang masih belia, Yuli pun menanyakan keberadaan ibu si bayi kepada dua remaja tersebut. “Ternyata, mereka itu orang tua si bayi. Padahal, mereka masih SMP. Saya kasihan sekaligus miris, masih kecil kok sudah punya anak,” ujar Yuli sambil geleng-geleng kepala.

Selain bayi-bayi yang baru lahir, Yuli menerima anak-anak yang memang sengaja “dibuang” orang tuanya. Karena tidak merawat sejak bayi, Yuli kadang mengalami masalah dengan perilaku anak-anak tersebut. Salah satunya, Risma.

Bocah tersebut diasuh Yuli sejak berusia 2 tahun. Sejak awal, Yuli melihat ada yang berbeda pada bocah tersebut. Sekujur tubuhnya penuh luka kecil semacam borok. Tidak hanya itu, Risma tergolong agresif. Dia gemar menggigit anak-anak asuhnya yang lebih kecil hingga berdarah. Yuli pun penasaran. Dia lantas menanyakan perilaku anak asuhnya itu kepada orang yang menitipkan Risma. Ternyata, Risma sebelumnya kerap mengalami kekerasan di rumah. Dia sering disundut rokok oleh ayahnya. “Jadi, mulai bayi dia sudah mengalami kekerasan. Sekarang dia sudah nggak suka menggigit. Mungkin karena diperlakukan dengan kasih sayang ya,” urainya.

Selain Risma, Yuli memiliki anak asuh yang cukup bermasalah dengan perilakunya. Namanya Andika. Bocah tersebut diasuh Yuli saat sudah berusia sekitar 9 tahun. Seperti Risma, tampaknya, Andika kerap mengalami kekerasan di rumahnya. Akibatnya, dia sangat nakal. Dia tidak segan memukul jika keinginannya tidak dituruti.

Perilaku Andika tersebut sempat membuat suami Yuli waswas. Namun, Yuli yang merasa kasihan tetap mempertahankan Andika di rumah mereka. Saat menginjak kelas 5 SD, perilaku Andika makin tak terkontrol. Dia berani mencuri uang. Yuli pun merasa tertekan. Karena itu, dia meminta Andika bersekolah di pesantren daripada di sekolah umum saat akan masuk SMP. “Awalnya dia nggak mau. Saya biarkan. Akhirnya dia mau. Sekarang Andika malah jadi santri yang pintar. Nilai-nilainya bagus. Alhamdulillah,” kata Yuli.

Sejak awal, Yuli-Ahmad memang menekankan pendidikan agama kepada seluruh anak mereka. Karena itu, Yuli yang memang berprofesi sebagai guru agama Islam tersebut memilih pesantren-pesantren berkualitas bagi sebagian besar anak asuhnya. Sejak kecil pula, seluruh anak mereka dibimbing untuk membaca Alquran. Bahkan, kegiatan mengaji tersebut menarik perhatian warga sekitar rumah mereka. Anak-anak tetangga pun akhirnya ikut mengaji di tempat Yuli. “Karena makin banyak yang ingin belajar ngaji dengan metode pengajaran kami, sekalian kami resmikan saja sebagai taman bacaan Alquran. Namanya Rumah Qurani,” jelasnya.

Mengasuh sedemikian banyak anak jelas butuh biaya yang tidak sedikit. Per bulan mencapai Rp 15 juta. Jelas jumlah yang besar untuk pasangan yang mengandalkan gaji dan pensiunan PNS itu. Namun, sejak mengasuh anak-anak tersebut, rezeki ternyata tak berhenti mengalir kepada Yuli dan Ahmad sampai akhirnya mereka bisa membuka usaha warung sate untuk menambah penghasilan. Mereka juga kerap mendapat kiriman berupa bahan pokok hingga susu formula dari orang tak dikenal.

Yuli dan sang suami memang telah bersepakat untuk tidak meminta sumbangan dari mana pun dalam membesarkan anak-anak asuh mereka. Namun, ada dua donatur tetap yang hingga kini terus membantu mereka dalam mengurus belasan anak asuh tersebut. Berkat mereka, pasangan itu bisa tinggal di rumah besar berlantai tiga bersama anak-anak mereka. “Ada dua. Dokter gigi Titi Gilarsi dan pengusaha Haji Syahrir Karim. Kalau soal rezeki, sepertinya ada saja,” ujarnya.

Soal kendala dalam mengasuh belasan anak, Yuli mengatakan tidak ada yang berarti. Persoalan biasanya justru datang dari luar. Sebab, banyak yang mengetahui tentang keluarga mereka. “Mungkin mereka baca tentang saya, lalu dikasih tahu ke anak-anak asuh saya bahwa mereka bukan anak saya. Kalau sudah begitu, saya bilang kepada mereka, kalau bukan anakku, kenapa kamu tinggal di rumahku?” ungkap Yuli.

Namun, Yuli dan suami memang tidak berencana menyembunyikan asal usul mereka. Jika tiba waktunya, mereka akan memberi tahu anak-anak asuhnya. Karena itu, akta kelahiran mereka juga menggunakan nama orang tua kandung masing-masing. “Tapi, kami memberi tahu mereka nanti kalau mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti,” ujarnya. (sekaring ratria/c5/ttg/jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.