Crimea, Daerah Istimewa di Ukraina yang Banyak Peninggalan Islam (1)

Ukraina juga memiliki daerah istimewa seperti Aceh di Indonesia. Yakni, Crimea, kawasan semenanjung yang terletak sekitar 850 kilometer selatan Kiev. Di sela-sela liputan Euro 2012, wartawan Satelit News Agung Pamujo sempat mengunjungi kawasan yang seperti Aceh juga kental dengan nuansa Islam-nya itu. Berikut laporannya.
BEGITU keluar dari bandara di Simferopol, saya berharap langsung mendapati nuansa Islam saat menuju pusat kota terbesar di Crimea itu. Saya pun terus menoleh ke kiri dan kanan, mengamati dari jendela taksi yang menyusuri jalan bebas hambatan menuju kota.
Namun, hingga sampai di hotel yang berada di pusat kota, belum sekali saya melihat yang “istimewa”. Kota Simferopol seperti kebanyakan kota di Rusia lainnya: banyak bangunan kuno, banyak taman kota, dan banyak gereja Kristen Ortodoks yang dari jauh seperti masjid karena memiliki kubah-kubah berbentuk bundar.
Juga tidak terllihat seliweran orang berbusana muslim, baik pria maupun wanita. Atau, terdengar suara adzan seperti cerita yang saya dengar tentang Crimea. Kurang beruntungnya saya saat itu, sopir taksi dari bandara maupun resepsionis di hotel tempat saya menginap sama sekali tidak bisa bahasa Inggris.
Dari situs internet, saya membaca ada beberapa situs Islam berupa masjid-masjid tua di Crimea. Dua di antaranya disebutkan ada di sekitar Simferopol, yakni masjid di kompleks Bakschiray Palace atau Istana Bakchisaray, dan masjid Kebir Dzemi di tengah kota. Ada beberapa masjid lain, tetapi kecil dan bukan masjid tua.
Saya pun berencana sore itu ke Istana Bakchisaray yang konon adalah kediaman raja-raja Dinasti Giray, penguasa muslim di Criema antara abad 16-18. Lalu, besoknya yang kebetulan hari Jumat, saya berencana ke Kebir Dzemi yang saya baca di internet adalah tempat salat Jumat warga muslim di Simferopol.
Istana Bakchisaray menarik perhatian saya karena menurut keterangan di internet dibangun pada 1532 atau sudah berusia 480 tahun, hampir lima abad! Istana itu merupakan tempat tinggal pengusaha Islam di Crimea saat itu, dan disebut-sebut setara dengan istana Islam-istana Islam di Eropa lainnya yang megah, misalnya Istana Alhambra di Spanyol.
Bakchisaray adalah kota kecil berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat kota Simferopol. Saya naik taksi yang untungnya disopiri pemuda yang mahir berbahasa Inggris, bernama Andriy (banyak sekali memang Ukraina bernama depan Andriy!).
Jarak sependek itu harus ditempuh hampir satu jam perjalanan, karena ternyata Andriy yang baru menyandang gelar sarjana bisnis itu tidak begitu tahu lokasi tepatnya istana itu. Saya sempat heran, masak bangunan tua yang katanya semegah Alhambra itu, kok orang terpelajar di Simferopol tidak tahu tempatnya.
Bahkan, saat tiba di pusat kota Bakchisaray, baru setelah bertanya ke orang kedua, kami bisa mendapat petunjuk arah menuju istana itu. Ternyata, letaknya sebelum masuk kota Bakchisaray.
Berdasarkan petunjuk arah wanita yang kami temui, kami harus masuk ke jalanan sempit yang setelah kami lalui, ternyata seperti menuju ke kawasan pedesaan. Benar, setelah kembali bertanya hingga ke tiga orang, kami memang harus terus menyusuri jalan itu hingga sampai di perkampungan.
Benar-benar perkampungan, karena bangunan rumah maupun toko yang ada sangat sederhana. Tidak megah, dan rata-rata rumahnya juga tidak begitu besar. Orang yang lalu lalang di sana pun, juga berpakaian sederhana, kaus biasa, dengan celana pendek santai.
Bangunan yang mencolok di lokasi itu tidak lain ya Istana Bakchisaray sendiri. Sangat mencolok karena berupa satu kompleks bangunan yang luas, dengan pagar tembok tinggi, dan terlihat beberapa menara masjid. “Ya inilah Baktuchisaray Palace,” kata Andriy, usai bertanya ke salah satu orang yang ada di dekat situ.
Saya agak kaget juga. Meski cukup luas dan besar, tapi bangunan itu dari luar tidak seperti Istana dari sebuah dinasti yang besar. Warna dindingnya kusam, gerbangnya juga demikian. Atap gentengnya juga coklat kehitaman, serta menara masjid yang berbentuk kerucut juga tidak tampak berkilauan seperti misalnya menara-menara dan kubah-kubah gereja Kristen Ortodoks di berbagai kota di Ukraina.
Karena datang menjelang malam, gerbang Istana sudah ditutup untuk umum. Saya pun tidak bisa melihat apakah bangunan-bangunan di dalam Istana yang dirancang oleh arsitektur dari Turki itu, masih indah dan terawat, atau juga sudah kusam. Antara lain di dalam ada dua bangunan masjid, air mancur, dan juga kediaman raja.
Yang jelas, dari luar bangunan Istana yang pernah terbakar pada tahun 1736 itu –lantas dibangun lagi tiga tahun kemudian–, jauh dari kesan megah dibandingkan dengan bangunan-bangunan gereja Kristen Ortodoks di Ukraina. Jangankan dibandingkan dengan dua kompleks gereja ternama di Kiev –yakni Katedral St Sophia dan Monastery Perschek Lavra—dibandingkan dengan gereja di Simferopol yang juga saya lihat sore itu, Istana Bakchisaray kalah berkilau.
Yang terlihat agak istimewa, di sekitar istana terdapat beberapa rumah makan dan tempat penginapan yang menulis kata-kata Halal, dalam bahasa Latin dan Arab. Selain itu, di samping masjid terlihat beberapa pria yang memakai busana muslim.
Meski, juga ada terlihat pria-pria yang berjalan lalu lalang, hanya memakai celana pendek dan kaus dalam, serta membawa botol minuman di tangannya. “Memang, bukan orang Muslim saja yang tinggal di sini. Ada orang Russia juga,” jelas Andriy, yang saat menunggu saya mengelilingi Istana ngobrol dengan beberapa pria yang tengah minum-minum itu. (agung pamujo dari ukraina)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.