Naik Kereta Malam di Ukraina, Penumpangnya Mayoritas Buka Baju
Ada empat kota di Ukraina yang menjadi tempat pertandingan Euro 2012. Selain ibu kota Kiev, tiga kota lain adalah Donetsk, Kharkiv dan Lviv. Wartawan koran ini pun bepergian ke empat kota itu. Kebanyakan naik kereta api, sempat juga naik taksi.
Begitu ditunjuk menjadi tuan rumah Euro 2012, pemerintah Ukraina langsung berbenah menyiapkan segala sarana dan prasarana. Termasuk, sarana transportasi, utamanya antarkota-kota tempat pertandingan.
Yang paling anyar, mereka mendatangkan kereta supercepat dari Korea. Kereta yang mampu melaju hingga 180 kilometer per jam ini mulai dioperasikan beberapa hari menjelang Euro 2012 dimulai, khusus dengan rute antarkota-kota tempat pertandingan.
Nama resminya adalah Ukraine Express. Namun, orang Ukraina lebih suka menyebutnya Hyundai, merujuk ke pabrikan asal Korea, pembuat kereta canggih ini. Kereta baru ini melengkapi kereta-kereta yang sudah ada sebelumnya yang melayani rute antarkota di Ukraina.
Karena cepat dan baru, saya pun memanfaatkan Ukraine Express saat bepergian antarkota di Ukraina. Namun, saat hendak kembali dari Kharkiv ke Kiev, saya ingin mencoba kereta yang lain.
Saat itu sebenarnya saya sudah punya tiga lembar tiket Ukraine Express untuk rute Kiev-Donetsk, Donetsk-Kharkiv, lalu Kharkiv-Kiev. Saya manfaatkan tiket itu dengan naik kereta baru itu dari Kiev-Donetsk. Dua tiket berikutnya, tidak jadi saya pakai.
Salah satu tiket yang tidak saya pakai itu untuk rute Kharkiv-Kiev. Tiket itu untuk pemberangkatan pada Kamis (14/6) pukul 18.30. Namun, saya ingin tiba di Kiev Kamis siang. Saya pun cari kereta lain.
Saya ke stasiun utama di Kharkiv, Stasiun Pivdennyi. Dibantu seorang gadis relawan 2012, saya bisa menukarkan tiket saya dengan kereta malam yang berangkat pada Kamis (14/6) jam 2 dinihari, dan akan tiba di Kiev jam 12 siang. Atau, perjalanan 10 jam!
“Tetapi, Anda akan nyaman, karena ada tempat tidurnya. Anda bisa tidur nyenyak,” kata relawan bernama Oxana itu, sambil memeragakan gaya orang tidur, di depan loket tiket.
Saya setuju. Meski itu berarti saya akan menempuh perjalanan 7 jam lebih lama, jika naik Ukraine Express. Dengan kereta buatan negeri gingseng itu, Kharkiv-Kiev yang berjarak 480 kilometer ditempuh hanya dalam waktu 5 jam.
Tiket Ukraine Express untuk Kharkiv-Kiev seharga 260 hryvnia (uang Ukraina, sekitar Rp 1.200 per 1 hryvnia), pun saya kasihkan ke petugas di balik loket tiket itu. Lalu, dia mengganti dengan tiket kereta malam itu (saya tidak bisa membaca namanya, karena tertulis dalam huruf Ukraina, dan tidak sempat bertanya sama Oxana). Saya masih dapat kembalian 150 hryvnia. Artinya tiket kereta malam itu tarifnya 110 hryvnia atau Rp 130 ribu.
Saya pun penasaran kok begitu murah? Padahal, katanya ada tempat tidurnya. Kereta malam Jakarta-Semarang saja yang jaraknya sekitar 420 kilometer tarifnya di atas Rp 200 ribu.
Penasaran itu terjawab begitu saya tiba di Stasiun Pivdennyi, dan melihat keretanya. Ternyata, memang kereta model lama, yang jangankan dibandingkan dengan Ukraine Express. Dibandingkan dengan kereta Argo Anggrek saja, dari luar sudah kalah bagus. Kereta malam bercat hijau itu, terlihat kusam, bahkan agak menyeramkan, lebih-lebih karena diparkir di tempat yang kurang terang.
Saya makin merasa seram, karena begitu naik kereta, terlihatlah gerbong yang mengesankan tua usianya. Gerbong dengan lebar sekitar 2,5 meter itu hanya memiliki lorong sempit berkarpet kusam selebar 0.75 meter. 1,75 meter sisanya adalah kamar berpintu tertutup, yang di dalamnya ada dua deret ranjang besi susun. Kesan tua juga terlihat dari jendela kaca gerbong yang terbuat dari kayu.
Melihat kamar-kamar itu, saya pun jadi teringat salah satu kisah di novel kriminal karangan Agatha Cristie. Utamanya, yang berjudul “Pembunuhan di Orient Express” yang mengisahkan bagaimana Hercule Poirot –tokoh detektif rekaan pengarang wanita asal Inggris itu—membongkar misteri pembunuhan salah satu penumpang Orient Express dalam perjalanan malam antara Istanbul-Paris.
Saya membayangkan harus bepergian dalam kamar yang sempit –sekitar 1,75 x 1.75—dengan tiga rekan sekamar yang tidak dikenal, malam-malam, selama 10 jam! Tidak ada tempat penyimpanan barang, padahal saya membawa kamera plus lensa tambahan, laptop dan sejumlah uang. Sudah begitu, lampu di kereta remang-remang, tidak begitu begitu terang.
Tekad untuk cari pengalaman, membuat saya terus melangkah, mencari nomor kamar saya. Ketemulah kamar yang di sampingnya ada tulisan nomor 32, 33, 34, 35. Di tiket saya tertera nomor 32. Kamar itu tertutup. Saya pun berusaha membuka pintunya dengan mendorongnya. Tidak bisa.
Tiba-tiba ada seorang pria bule, rambutnya tipis kecoklatan, mata juga coklat membantu membukakan pintu. Rupanya, bukan didorong, tapi digeser. Saya pun menoleh ke bule itu, yang tengah tersenyum kepada saya, lalu berkata: “You …here?”. Tangannya menunjuk ke dalam kamar.
Saya mengangguk. Agak tenang, dan senang, karena bule ramah itu adalah teman sekamar saya. Dia bernama Joseph, asal Slowakia. Wajahnya khas pria Eropa Timur, kesannya kurang hangat, meski ternyata pria penggemar bola itu ramah sekali.
Meski bahasa Inggrisnya kurang lancar, dia terus mengajak ngobrol. Dia kaget waktu saya bilang dari Indonesia. Dia menyebut itu negara yang sangat jauh. Dia berubah senang saat saya katakan ada pemain asal Slowakia yang cukup terkenal di Indonesia. Khususnya, bagi penggemar Seri A Liga Italia. Yakni, gelandang asal klub Napoli, Marek Hamsik. “Yes .. Hamsik.. good player,” katanya.
Joseph yang datang ke Ukraina untuk nonton Euro 2012 lalu mengajak ngobrol tentang kejuaraan sepak yang terakhir dimenangi Spanyol ini. Dia menyebut Jerman sebagai favoritnya. Kami pun membahas laga Jerman v Belanda malam itu.
Obrolan makin gayeng saat datang dua pemuda tinggi besar. Mereka adalah dua penghuni kamar saya yang lain. Dua pemuda itu ternyata warga Jerman. Mereka pun ikut ngobrol dengan saya dan Joseph, membahas peluang negara mereka untuk jadi juara.
Saking asyiknya ngobrol, tidak terasa kereta bergerak. Rupanya, sudah mulai jalan. Kami pun naik ke tempat tidur masing-masing. Saya kebetulan dapat tempat di atas, di atas Joseph. Sementara dua pemuda Jerman itu di seberang.
Saat di kamar itu, terasa betapa hawa sangat gerah. Ingat, padahal saat itu jam 2 dini hari, di Eropa lagi. Gerahnya tidak kalah dengan tidur malam di Jakarta tidak pakai AC.
Di stasiun, saat kereta belum berangkat, saya lihat ada panel digital besar yang menunjuk suhu 28 derajat Celcius. Kalau di Indonesia, suhu segitu, tidak begitu panas. Tapi, di Eropa, saat musim panas seperti ini, suhu demikian sangat menyengat.
Kereta itu tidak dilengkapi AC. Namun, jendela kereta, baik yang di lorong maupun di kamar, dibuka. Kami tetap kepanasan. Dua pemuda itu pun tidak malu-malu membuka baju dan juga …. celana panjangnya. Mereka tidur hanya dengan mengenakan boxer, celana super pendek yang tipis.
Saat saya ke kamar mandi, saat lihat di beberapa kamar lain juga banyak yang membuka baju. Sekitar 40 penumpang di 10 kamar di gerbong saya itu, mayoritas memang bule. Selain saya, hanya ada empat penumpang di kamar sebelah saya yang berwajah Timur Tengah.
Saya bisa tahu itu kalau mayoritas penumpang tidur tidak pakai baju, karena hampir semua kamar dibiarkan terbuka. Selain agar tidak makin kepanasan, saya tahu alasannya mengapa mereka tidak menutup pintu kamar. Yakni, untuk membiarkan kaki mereka bisa menjorok keluar.
Ya, bagi para bule yang rata-rata tingginya di atas 1,8 meter, ranjang di kamar yang mungkin hanya sekitar 1,7 meter itu tentu saja kekecilan. Ranjang itu kedua ujungnya pas menempel di kedua tepi dinding kamar. Mereka yang tingginya di atas 1,7 harus menjorokkan kakinya keluar, atau tidur dengan posisi melengkung, seperti salah satu dua pemuda Jerman itu.
Saat itulah, saya mensyukuri nikmatnya jadi orang Indonesia yang tidak terlalu tinggi. Meski lebarnya sempit, tapi panjang ranjang itu masih pas dengan tinggi saya yang sekitar 1,65 meter. Maka, meski kepanasan, setidaknya saya bisa tidur lebih nikmat dan pulas dibanding mereka yang tinggi-tinggi itu! (agung pamujo dari ukraina)