Rupiah Jeblok, Investor Mulai Tunda Investasi
JAKARTA,SNOL—Tren pelemahan nilai tukar rupiah mulai membuat pelaku usaha resah. Akibat mahalnya dolar Amerika Serikat (AS), rencana-rencana investasi pun terpaksa diubah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pelaku usaha domestik yang selama ini pendapatannya dalam bentuk rupiah, kini mau tidak mau harus berpikir ulang jika akan melakukan ekspansi usaha ataupun investasi baru. ”Belum tentu juga (investasi) dibatalkan, tapi kalau ditunda sudah pasti,” ujarnya kepada Jawa Pos (induk JPNN).
Bos jaringan Hotel Sahid Group itu menyebut, Oktober 2014 lalu, saat pelaku usaha menyusun rencana bisnis untuk tahun anggaran 2015, nilai tukar rupiah masih ada di kisaran 12.100 per USD dan asumsi yang dibuat pemerintah dalam APBN 2015 pun dipatok pada angka 11.900 per USD. ”Jadi semua rencana investasi kita buat dengan asumsi dolar di sekitar situ juga,’ katanya.
Namun, setelah memasuki 2015, depresiasi rupiah seolah tak tertahan. Pemerintah lalu merevisi asumsi nilai tukar dalam APBN Perubahan 2015 menjadi 12.500 per USD. Tapi, asumsi itupun sudah terlampaui saat pekan ini rupiah akhirnya terperosok hingga 13.000 per USD, level terendah sejak krisis moneter 1998 lalu. ”Biaya (investasi) pasti naik karena mesin-mesin harus impor, makanya harus dikalkulasi ulang,” ucapnya.
Pandangan senada disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani. Menurut dia, pelemahan rupiah memang akan langsung melambungkan biaya investasi karena banyak barang modal yang masih harus diimpor. Apalagi, jika usahanya tidak berorientasi ekspor sehingga pendapatannya hanya dalam bentuk rupiah. ”Itu memang bisa jadi pertimbangan untuk menunda,” ujarnya.
Franky yang sebelumnya juga puluhan tahun menjadi pelaku usaha itu mengatakan, bagi dunia bisnis, yang paling penting adalah stabilitas nilai tukar rupiah sehingga kalkulasi-kalkulasi bisnis yang sudah dibikin bisa dijalankan. ”BI (Bank Indonesia) dan pemerintah tentunya juga ingin mendorong stabilitas itu,’ katanya.
Hariyadi menambahkan, pemerintah harus mewaspadai gejala stagnasi kinerja ekspor Indonesia. Sebab, ketika rupiah dalam tren melemah, ekspor mestinya bisa menanjak. Namun pada kenyataanya tidak.
Salah satu faktornya, karena selama ini ekspor Indonesia banyak bergantung pada komoditas tambang dan cialis purchase perkebunan yang kini harganya menyusut. Tapi, faktor lain yang harus diwaspadai adalah kinerja ekspor manufaktur yang belum menggeliat. ”Artinya, kita kehilangan momentum menggenjot ekspor saat rupiah melemah,” ucapnya.
Rupanya, lanjut dia, sektor manufaktur padat karya yang menjadi andalan ekspor seperti tekstil/garmen atau sepatu, dalam beberapa tahun terakhir terus mengurangi kapasitas produksi.
Salah satu sebabnya adalah kenaikan tajam upah minimum kabupaten/kota (UMK) maupun upah minimum provinsi (UMP). ”Sudah lima tahun pengusaha padat karya digebuki Pemda lewat UMK (dan) UMP, sehingga beberapa tutup, lainnya mengurangi kapasitas produksi,” ujarnya.
Karena itu, pelaku usaha berharap agar pemerintah mengambil terbososan untuk mendorong pelaku usaha agar tetap optimistis. Misalnya, dengan memperbaiki layanan investasi, hingga memangkas regulasi-regulasi yang membuat ekonomi biaya tinggi di tingkat pusat maupun daerah.
”Ini bukan situasi yang mudah bagi pengusaha, apalagi kita dituntut kompetitif menjelang berlakunya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean),” katanya. (owi/sof/jos/jpnn)