Defisit Perdagangan Tiongkok Makin Lebar
JAKARTA,SNOL—Pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk membendung maraknya produk Tiongkok yang akan masuk Indonesia paska kebijakan devaluasi Yuan. Kondisi ini dikhawatirkan semakin membuat defisit neraca perdagangan dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) makin melebar.Memang ada WTO (World Trade Organization) yang mengawasi perdagangan kita dengan Tiongkok. Tidak perlu khawatir berlebihan, tapi sebaiknya kita waspada dan menyiapkan aturan-aturan yang bisa membendung masuknya produk Tiongkok secara besar-besaran akibat devaluasi Yuan,” ujar Ketua Bidang Kerjasama Perdagangan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Ratna Sari Lopies saat dihubungi kemarin (13/8)
Dia menilai devaluasi Yuan menyebabkan harga produk Tiongkok menjadi lebih kompetitif di pasar global, termasuk Indonesia. Dikhawatirkan hal itu makin membuat importasi dari Tiongkok makin besar. Namun Ratna berharap produk dalam negeri Indonesia kualitasnya bisa ditingkatkan sehingga lebih baik disbanding produk Tiongkok.”Kalau barang dari Tiongkok terlalu murah bisa kita hadang dengan bea masuk anti dumping,” tegasnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G Ismy menilai pemerintah tidak boleh mengangap enteng potensi peningkatan impor dari Tiongkok paska pelemahan Yuan. Pasalnya, barang dari Tiongkok tidak hanya masuk melalui pelabuhan resmi tapi juga pelabuhan tikus.”Biasanya barang ilegal ini belinya pakai Yuan, bukan dolar,” tegasnya.
Oknum importir itu membeli barang secara langsung di Tiongkok. Dengan membawa uang dolar, oknum importir tersebut bisa mendapatkan barang dari Tiongkok dengan volume yang lebih banyak.”Maka, potensi membanjiri pasar Indonesia sangat besar karena mereka memasukkan barangs ecara ilegal. Contohnya pakaian bekas, sudah jelas-jelas dilarang (impor-red) tetap saja banyak di pasar-pasar,” ketusnya.
Pihaknya berharap Bea Cukai lebih mengetatkan pemeriksaan barang, terutama di pelabuhan-pelabuhan perbatasan. Pemerintah juga harus memeriksa pelabuihan-pelabuhan tikus yang banyak terdapat di Sumatera atau Kalimantan.”Diatas kertas memang impor pakaian bekas dilarang, tapi kenyataannya barang dari Tiongkok banyak sekali. Pabrik tekstil kita bisa gulung tikar,” cetusnya. “
Ketua Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (ASEIBSSI), Khafid Sirotuddin mengatakan, pelemahan Yuan itu tidak berpengaruh langsung terhadap importasi buah dari Tiongkok. Pasalnya, meskipun harga buah di Tiongkok turun, importer tetap harus membayar dengan mata uang dolar Amerika Serikat.”Repotnya ini kalau dolarnya terus menguat, bayarnya tetap mahal,” ungkapnya.
Saat ini, kata Khafid, hamper 70 persen impor apel Fuji berasal dari Tiongkok karena harganya yang murah dibanding apel Jepang. Namun ia tidak mengetahui berapa volume dan nilai impor buah apel dari Tiongkok.”Selain apel, ada juga ekspor pir, dan jeruk meski tidak terlalu banyak. Tapi untuk apel, akhir-akhir ini sebagian beralih ke Pakistan karena barangnya lebih bagus,” tambahnya.
Meskipun harga di tingkat petani Tiongkok murah, namun karena kurs rupiah terhadap dolar melemah maka importer tidak bisa mengambil untung terlalu besar.”Berdasar hitungan kami setiap kenaikan kurs dolar terhadap rupiah sebesar USD 100, maka importer harus menambah biaya sekitar Rp 2,5-3,5 juta per container.”Biasanya per container isinya 25 ton. Nilainya sekitar USD 40 ribu,” rincinya.
Kalau dolar terus menguat maka importir terpaksa tidak terlalu banyak mengambil buah dari Tiongkok. Apalagi importir masih harus membayar biaya-biaya lain dengan mata uang dolar seperti ongkos shiping (pengapalan) dan handling (bongkar muat) di pelabuhan. Yang dibayar memakai rupiah hanya trucking (pengiriman) di dalam negeri.”Harusnya dolar Rp 12 ribu supaya kita bisa kompetitif impor dan jualan,” terangnya.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Yaser Palito mengkhawatirkan semakin maraknya importasi telepon seluler dari Tiongkok ke Indonesia paska devaluasi Yuan. Pasalnya banyak produsen ponsel yang memiliki pabrik perakitan di negara itu.”Tapi kita cukup tenang karena pemerintah sepertinya sudah mengantisipasinya dengan kebijakan yang bagus,” katanya.
Sebagai contoh, pemerintah mewajibkan produsen telepon seluler memiliki pabrik di Indonesia dengan batas waktu Februari 2016. Pemerintah juga menetapkan kandungan lokal (local content) minimal 30 persen pada 1 Januari 2017. “Mau tidak mau mereka harus bangun pabrik atau mengalihkan pabriknya dari Tiongkok atau Vietnam. Kami menyambut baik regulasi itu,” ungkapnya.
Kebijakan itu, kata Yaser, akan menggairahkan industri di dalam negeri dan mendorong kemajuan industri kreatif. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mengimpor senilai Rp 210 triliun atau sekitar 270 juta ponsel. Dari jumlah itu sekitar 60-70 persen berasal dari Tiongkok.”Banjir impor itu sama sekali tidak memberikan nilai tambah, sebab kita hanya dijadikan pasar,” cetusnya.
Oleh karena itu, menurut Yaser, era Indonesia hanya sebagai pasar ponsel harus diakhiri. Saatnya, Indonesia berubah menjadi basis industri seperti halnya di sektor otomotif.”Liberal;isasi sektor telekomunikasi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2000-an, tapi selama 15 tahun kita hanya dijadikan pasar ponsel dari berbagai negara, terutama Tiongkok. Itu yang harus disadari pemerintah,” tukasnya.
Pihaknya juga mendengar kalau pemerintah berniat menertibkan jumlah importer telepon seluler yang jumlahnya sangat banyak. Nantinya, pemerintah mengarahkan importir-importir itu, termasuk para distributor untuk hanya memegang satu merek saja.”Tujuannya adalah agar pengawasan terhadap IMEI atau nomor ponsel lebih jelas, dan mengurangi beredarnya ponsel illegal atau biasanya disebut black market (BM),” jelasnya. (wir/jpg)