Dana Aspirasi tak Diatur UU
JAKARTA,SNOL—Penolakan terhadap dana aspirasi DPR senilai Rp 20 miliar yang dirancang melalui Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) terus bermunculan. Pasalnya, Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) tidak mengatur angka sebesar itu.
Direktur Eskekutif Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti dalam diskusi soal dana aspirasi di Menteng, Jakarta, Minggu (14/6), mengatakan DPR memang memiliki hak mengusulkan dan memperjuangkan aspirasi dapilnya sesuai pasal 80 huruf j UU MD3, tapi UU tak menyebut angka Rp20 miliar.
“Pasal 80 huruf J, itu benar adanya sehagai hak melekat pada anggota DPR, tapi jadi masalah manakala negara sudah mematok anggaran 20 miliar untuk anggota DPR,” katanya. Kalaupun DPR memiliki hak mengusulkan program dengan pagu yang telah dipatok Rp20 miliar, maka fungsi DPR menurutnya sudah berubah. Karena dalam posisi ini seolah-olah negara punya kewajiban menyerahkan pagu anggaran sebesar itu untuk setiap wakil rakyat.
“Artinya uang ada dulu 20 miliar, ini pengeluaran semacam apa? Uangnya disediakan, programnya menyusul. Lalu, ketika anggota DPR dipatok uang 20 miliar, itu status anggota DPR sebagai apa? Apakah sebagai pengelola uang negara atau pelaksana. Keduanya kan bertentangan dengan fungsi DPR,” tegasnya.
Ray menambahkan, dia tidak mempersoalkan Pasal 80 huruf j UU MD3, tapi yang dipermasalahkannya adalah adanya pos anggaran Rp20 miliar. Kalaupun sekarang DPR sudah bentuk Paniita Kerja UP2DP yang akan menyusun peraturan DPR terkait mekanisme usulan program, itu sifatnya internal.
“Peraturan DPR tentang mekanisme menerima usulan, kemudian penggunaan uang 20 miliar itu sifatnya internal. Tapi sekarang apa dasarnya negara keluerkan uang Rp20 miliar. Itu saja. Jadi pemerintah berhak menolak,” tandasnya.
Penolakan juga disampaikan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Koordinator Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Widadi menyebutkan ada 9 alasan mengapa dana aspirasi tersebut perlu ditolak. Apalagi wacana ini kembali diperjuangkan DPR setelah gagal pada periode sebelumnya.
“FITRA menolak tegas gagasan ini dengan sembilan alasan. Pertama, dana aspirasi tidak mempunyai dasar hukum yang kuat,” kata Apung dalam diskusi soal dana aspirasi di Menteng Jakarta Pusat, Minggu (14/6).
Menurut Apung, dana aspirasi ini tidak masuk dalam sistem penganggaran keuangan negara di Indonesia, khususnya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 12 ayat 2 UU ini menyatakan RAPBN disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP), tidak berdasarkan daerah pemilihan sehingga DPR tidak punya instrumen perencanaan seperti pemerintah.
Kedua, DPR tidak memiliki hak menggunakan anggaran (budget). DPR menurutnya salah kaprah menyatakan memiliki hak budget karena DPR hanya memiliki fungsi anggaran sesuai UU MD3. Fungsi itu dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak setuju terhadap RUU yang diajukan pemerintah.
Ketiga, dana aspirasi bertolak belakang dengan sistem perencanaan penganggaran. Keempat, dana aspirasi tidak mempunyai tujuan yang jelas dan tidaks esuai dengan pendekatan anggaran berbasis fungsi dan kinerja.
Kelima, dana aspirasi memperparah sistem dana perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keenam, potensi korupsi dana aspirasi lebih tinggi dibandingkan dengan dana hibah dan bansos. Ketujuh, DPR belum mempunyai mekanisme kelembagaan untuk akuntabilitas.
Kedelapan, Dana aspirasi memiskinkan rakyat. “Terakhir, dana aspirasi disinyalir sebagai upaya balas budi konstituen dan mengembalikan dana kampanye Pemilu 2014 yang mahal,” tandasnya. (fat/jpnn)