Atasi Kejenuhan, Pemilu-Pilkada Selang 2 Tahun
JAKARTA,SNOL Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, jarak ideal antara pemilu legislatif dan presiden serentak dengan pilkada serentak adalah dua tahun.
Untuk memulainya, disarankan pilkada serentak tahap pertama perlu diundur menjadi Juni 2016. Kemudian dilanjutkan pilkada serentak tahap kedua Juni 2018.
“Kalau ini dilakukan, maka jadwal pilkada serentak nasional bisa tercapai pada Juni 2021, yang berarti dua tahun setelah pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak yang digelar pada 2019 sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu,” katanya di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Senin (22/12).
Menurut Titi, kondisi ini jauh sangat baik, terutama mengurangi kejenuhan pemilih, sehingga partisipasi bisa tinggi. Karena jarak watu yang pendek antara pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada serentak, belum mampu menghilangkan kejenuhan pemilih dalam mengikuti pemilu.
Selain kejenuhan, jarak waktu yang pendek menurutnya, juga dikhawatirkan membuat pemilih kehilangan rasionalitas dalam memberikan suara.
“Jadi diperlukan waktu dua tahun agar pemilih mengetahui pasti kinerja hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden. Sehingga dalam pilkada, mereka akan memberi ganjaran dan hukuman yang tepat pada partai politik dan calon. Ini benar-benar memudahkan pemilih bersikap rasional, guna memertahankan partisipasi pemilih pada pemilu,” katanya.
Alasan lain, persiapan dua tahun menurut Titi, juga memberi waktu bagi partai politik berkonsolidasi. Alasannya, selama ini terlihat kecenderungan pencalonan dalam pemilu legislatif dan presiden selalu menimbulkan konflik internal partai.
Karena itu ia menilai perlu diberi waktu bagi parpol untuk berkonsolidasi. Sehingga konflik internal tidak berkelanjutan.
Titi yakin, jika waktu konsolidasi yang diberikan cukup, partai politik bisa dengan tenang membangun diri, sehingga akan tampil calon-calon terbaiknya pada pilkada.
“Jeda waktu dua tahun antara pemilu legislatif dan presiden dengan pilkada, juga bermanfaat bagi penyelenggara. Terutama untuk menata organisasi. Karena pilkada serentak yang melibatkan ratusan daerah adalah pengalaman pertama bagi KPU dan jajarannya,” ujar Titi.
Menurutnya, waktu diperlukan mengingat pilkada selama ini rawan konflik dan kekerasan. Kondisi diperparah dengan dugaan banyaknya kepala daerah memainkan APBD untuk mengintervensi penyelenggara, sehingga menimbilkan kekacauan. Karena itu perlu persiapan yang matang, termasuk memerhitungkan pengamanan.(gir/jpnn)