7 Alasan Penanganan Kemiskinan di Indonesia Mandek
JAKARTA,SNOL Utusan Khusus Presiden RI untuk Penanggulangan Kemiskinan (UKP2K) H.S. Dillon mencatat ada tujuh alasan penyebab tidak optimalnya implementasi program penanggulangan di Indonesia.
Pertama, kata Dilon, karena banyaknya kementerian/lembaga yang mengerjakan program pengentasan kemiskinan. Sebagian besar pun berada di wilayah pemerintah pusat.
“Koordinasi juga tidak dilakukan dari tahap perencanaan sehingga tidak sinkron waktu, lokasi dan kegiatan di lapangan,” ujar Dilon di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, (25/9).
Alasan kedua, kata dia, karena desain program penanggulangan kemiskinan umumnya dibuat seragam untuk seluruh wilayah Indonesia sehingga implementasinya tidak efektif. Ini, sambung Dillon, tidak mengakomodasi keberadaan karakteristik lokal yang membutuhkan pendekatan spesifik.
Berikutnya, Dillon mengungkapkan, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) baik di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota belum berfungsi optimal dalam mengkoordinasikan pelaksanaan program penanganan kemiskinan di daerah.
“Sejak berlakunya era otonomi daerah, fungsi koordinasi di tingkat provinsi lebih sulit lagi. Kita lihat otonomi daerah, wewenang yang kita berikan, itu belum berhasil. Tujuannya beri wewenang kan ke daerah untuk mendekatkan pengambilan keputusan pada rakyat, dengan harapan pemahaman dan keberpihakannya akan makin besar. Harusnya begitu,” sambung Dillon.
Alasan keempat, tuturnya, sosialisasi program penanggulangan kemiskinan sangat minim sehingga masyarakat tak banyak yang paham. Masyarakat yang seharusnya tak mendapat bantuan, justru menuntut yang bukan haknya. Kondisi tersebut, kata dia, merata terjadi di hampir semua tempat. Terutama dalam program pembagian raskin dan BLSM.
Disusul, alasan berikutnya berupa mekanisme penyaluran bantuan dan SDM pelaksana program kemiskinann yang menurutnya tidak disusun dan terlatih baik. Ini menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Ke enam, kata dia, terkait pemekaran wilayah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Menurutnya, ini justru mempersulit pelaksanaan program penanganan kemiskinan di lapangan.
“Kesulitan paling mendasar adalah menyangkut penetapan rumah tangga sasaran dan penyusunan organisasi pelaksana program penanggulangan kemiskinan,” tegasnya.
Terakhir, sebagai akibat tersebarnya program penanganan kemiskinan di banyak kementerian/lembaga membuat pengawasan dan evaluasi menjadi kurang terkoordinasi. Masing-masing K/L menggunakan indikator dan pendekatan yang berbeda. “Akibatnya sulit membuat standar penilaian implementasi. Berhasil atau tidak berhasil dalam program itu,” tandas Dillon. (flo/jpnn)