Pilpres Cukup Satu Putaran
JAKARTA,SNOL—Berakhir sudah polemik pilpres 2014 akan berlangsung satu atau dua putaran. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menafsirkan pasal 6A UUD 1945 yang mengatur pilpres. Hasilnya, MK memutuskan jika pilpres dua putaran tidak bisa diberlakukan jika pesertanya hanya dua orang.
MK mengabulkan permohonan Forum Pengacara Konstitusi (FPK) untuk menguji pasal 159 (1) UU nomor 42 TAhun 2008 tentang Pilpres. “Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon,” ucap Ketua MK Hamdan Zoelva dalam amar putusannya kemarin (3/7).
Bunyi pasal tersebut, Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Itu berarti, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 jika peserta pilpres hanya dua pasang. Namun, sebelum memutuskan pasal tersebut bertentangan, MK lebih dahulu menafsirkan pasal 6A UUD 1945.
Hakim Konstitusi Muhammad Alim menjelaskan, sebenarnya aturan UU Pilpres tersebut sama persis dengan Pasal 6A (3). Semangat yang diusung adalah legitimasi presiden terpilih berasal dari mayoritas rakyat yang sebarannya merata dari Sabang sampai Merauke. Namun, hasil penelusuran terhadap penyusunan perubahan UUD 1945 menunjukkan hal yang berbeda. “Tidak dibicarakan secara ekspresis verbis apabila hanya terdapat dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden,” terangnya. Saat itu, tim perumus perubahan UUD 1945 berasumsi akan muncul banyak capres sebagai akibat banyaknya parpol. Tidak ada antisipasi jika peserta pilpres hanya dua pasang.
Karena itu, MK menafsirkan jika pilpres hanya diikuti dua pasang, maka yang berlaku bukan pasal 6A (3), melainkan pasal 6A (4). Pemberlakuan pasal itu menitikberatkan pada kalimat pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Bukan lagi dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua, karena sejak awal hanya ada dua pasang calon.
Dengan demikian, pada pilpres 9 Juli mendatang tidak perlu diberlakukan putaran kedua meskipun perolehan suara pemenang pilpres tidak merata. Ketentuan pasal 6A (4) akan menjadi representasi pasal 6A secara keseluruhan.
Putusan Pilpres satu putaran itu sempat diwarnai dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, yakni Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams. Patrialis berpendapat, jika pasal 6A (3) harus tetap diberlakukan dengan pertimbangan kemajemukan dan legitimasi pemilih.
Dalam pilpres nanti, akan ada kemungkinan kedua capres tidak bisa memenuhi pasal 6A (3). Yakni, pemenang memperoleh suara tidak rata dan pihak yang kalah memperoleh suara minimum 20 persen di lebih dari separo provinsi.
“Pilpres cukup satu putaran, namun perhitungan suaranya harus dua putaran,” ujar Patrialis. Perhitungan suara tahap satu mengikuti kaidah pasal 6A (3). Jika tidak terpenuhi, barulah dilakukan perhitungan tahap dua sesuai kaidah pasal 6A (4).
Sementara itu, Wahiduddin Adams berpendapat pasal 6A (3) harus tetap diberlakukan dengan alasan legitimasi, meski hanya ada dua pasang capres-cawapres yang berlaga. Sehingga, jika pada 9 Juli mendatang persyaratan pasal tersebut tidak terpenuhi, maka harus diadakan putaran kedua dengan dasar pasal 6A (4).
Putusan tersebut diapresiasi oleh FPK. Perwakilan FPK Andi Asrun mengatakan, MK telah menjawab keraguan pubik jika mereka berwenang menafsirkan UUD. “Ini menjawab kekosongan hukum, karena konstitusi dan UU 42 Tahun 2008 itu tidak mengatur bagaimana kalau pilpres hanya diikuti dua pasangan calon,” ujarnya usai sidang putusan kemarin.
Di tempat terpisah, Menkopolhukam Djoko Suyanto tidak banyak berkomentar terkait putusan MK menyoal Pilpres satu putaran. Dia hanya mengungkapkan bahwa pemerintah siap mematuhi putusan MK tersebut. “Saya sudah terima putusan MK. Ya kita patuhi keputusan MK seperti itu,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan kemarin.
Terkait keputusan MK tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga siap untuk menjalankannya. Komisioner KPU Arief Budiman menuturkan, sebenarnya mudah saja untuk merespons keputusan MK tersebut. Prosesnya, penyelenggara pemilu bakal menggelar rapat pleno, nantinya diamati pasal mana yang telah diubah dan maknanya seperti apa.
“Setelah itu dikirim ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan selesai sudah,” terangnya. Rapat pleno tersebut, lanjut dia, akan digelar secepatnya dengan syarat kuorumnya terpenuhi. Sebab, saat ini ada komisioner yang sedang monitoring ke Kendari, Kalimantan. “Yang jelas secepatnya rapat pleno,” tuturnya.
Dengan keputusan MK tersebut, sebenarnya memudahkan KPU. Dia mengatakan, pilpres satu putaran itu membutuhkan legalitas. Dengan keputusan MK ini, maka legalitas itu sudah ada. “Ya kami siap laksanakan,” ujarnya.
Sementara itu Ketua KPU Husni Kamil Manik mengaku pihaknya siap untuk menindaklanjuti keputusan tersebut. “Apapun putusannya akan diikuti, keputusan itu sifatnya mengikat,” tuturnya.
Pada bagian lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemarin menyelenggarakan rapat terbatas kabinet membahas upaya pengamanan pemilu. SBY menuturkan, pihaknya mendengar adanya sejumlah kecemasan dari berbagai pihak terkait kekhawatiran terjadinya gangguan keamanan, ketertiban dan sosial saat pilpres. Sebab, posisi kedua pasangan capres-cawapres dinilai berimbang.
Karena itu, SBY menginstruksikan kepada jajaran Polri dan TNI untuk menjamin keamanan pelaksanaan pilpres 2014. “”Ada tujuh instruksi saya ke jajaran Polri dan TNI, saya berharap masyarakat luas berikan dukungan dan pengawasan terhadap apa yang dilaksanakan jajaran negara,” papar SBY setelah rapat terbatas di Kantor Presiden, kemarin (3/6).
Yang pertama, SBY menginstruksikan agar jajaran TNI/Polri selalu siaga menghadapi segala kemungkinan terkait gangguan keamanan. Kemudian, dia juga meminta agar jajaran TNI/Polri tetap menyiagakan diri pasca pemungutan suara pilpres. “Saya tidak ingin dengar ketidaksiapan dan ketidaksiagaan. Sebelum 9 Juli hingga beberapa hari (setelah pilpres) sampai situasi dinyatakan aman,”tegasnya.
Selain itu, SBY juga berharap agar jajaran TNI dan Polri mampu mencegah dan menindak pelanggaran hukum yang berkaitan dengan pilpres. Diantaranya seperti aksi-aksi massa yang berujung pada perusakan atau pembakaran. TNI dan Polri juga harus membantu para penyelenggara pemilu jika terjadi pelanggaran-pelanggaran aturan pemilu. “Misalnya politik uang, intimidasi, itu tidak boleh dibiarkan. Aturannya sudah ada, tinggal dijalankan dengan tegas tanpa pandang bulu, prinsip negara tidak lakukan pembiaran,”tegasnya.
Presiden RI keenam itu juga meminta jajaran Polri dan TNI untuk melakukan koordinasi dengan baik dengan penyelenggara pemilu, seperti jajaran KPU, Bawaslu, Pemda, hingga media. “Koordinasi sangat penting agar apapun yang dilakukan kita semua tidak merugikan masyarakat luas,”ujarnya.
Terkait tujuh instruksi tersebut, SBY menunjuk Menkopolhukam Djoko Suyanto sebagai pemimpin operasi pengamanan yang dilakukan TNI/Polri. Sementara dia sendiri, SBY menekankan bahwa dirinya juga akan melakukan pemantauan dan pengawasan dari dekat. “Saya sendiri Presiden RI akan memantau dan melakukan pengawasan secara dekat untuk tanah air, jika diperlukan saya akan memberikan instruksi langsung,”imbuhnya.
Sementara itu, Menkopolhukam Djoko Suyanto menekankan bahwa kedua pasangan capres-cawapres harus siap menang maupun kalah. Sehingga, jika ada pihak yang kalah tidak lantas melakukan tindakan yang mengarah pada kerusuhan. Hal tersebut sesuai dengan deklarasi damai yang mereka ungkapkan sesaat sesudah pengambilan nomor urut.
“Kan waktu mereka deklarasi damai gimana? Kan kedua capres bilang gitu. Harus inget itu. Siap menang siap kalah. Kalau tidak puas, kalau protes kan ada salurannya, ada KPU dan MK,”katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, kemarin. (byu/ken/idr/kim/jpnn)