Pusat Harus Turun Tangan
SNOL. Trio Tangerang tetap tegas menolak rencana sodetan Ciliwung-Cisadane. Jalan keluarnya, pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) diminta turun langsung mengatasi masalah ini.
“Pusatlah yang harus turun. Ini seperti tidak ada jejak pemerintahan pusat dalam menyelesaikan rencana sodetan Ciliwung Cisadane,” kata Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, dalam Diskusi ‘Sodetan Ciliwung Cisadane, Bukan Solusi Banjir?’ di Rumah Makan BuPe, Serpong, Kota Tangsel, Jumat (24/1).
Pernyataan tersebut dibenar kan oleh beberapa perwakilan dari masing-masing wilayah Tangerang Raya yang hadir dalam diskusi tersebut. Seperti yang dikatakan Kepala Bapeda Kabupaten Tangerang, Herry Heryanto. “Belum ada sodetan, dari 42 desa titik banjir di Kabupaten Tangerang, sebanyak 24 desanya akan tenggelam bila Sungai Cisadane meluap,” kata Herry.
Kepala Bappeda Kota Tangerang Yayan Sofyan mengatakan, Sungai Cisadane di wilayahnya memiliki 43 anak kali serta berbagai saluran irigasi lainnya. Jika saat ini saja debit air Cisadane 400 meter kubik per detiknya, apalagi bila terjadi sodetan? “Silahkan saja disodet, kami pun akan buka pintu air Kali Moocklevart yang merupakan anak Cisadane. Kemudian pasti akan membanjiri Jakarta Barat,” tegas Yayan.
Selama ini sudah belasan tahun pintu air anak Cisadane itu dibiarkan tertutup. Sehingga tidak memperparah banjir yang ada di Jakarta Barat atau untuk Jalan Daan Mogot khususnya. “Tapi tentu itu solusi terakhir,” pungkasnya.
Kemudian fakta yang diungkapkan Kabid Sumber Daya Air Dinas Bina Marga Kota Tangsel, Aji Awan. Jika saja sodetan tersebut jadi dibuat, maka tiga kecamatan yang sebagian memiliki jumlah penduduk besar di wilayahnya, juga ikut tenggelam. “Seperti di Kecamatan Setu, Serpong, dan Serpong Utara. Maka akan menjadi mungkin bila terjadi sodetan, titik banjir di tiga kecamatan tersebut akan melebar,” ungkapnya.
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna yang sedari awal menyimak serius setiap aspirasi pemda ketiga wilayah, mengamini, langkah normalisasi sungai adalah langkah paling benar, ketimbang sodetan. Menurut dia, penanganan kedua sungai besar ini bisa dilakukan dengan dua cara. Yakni secara hubungan struktural, berupa normalisasi sungai. Mulai dari Cisarua Bogor yang juga hulu Sungai Ciliwung, dan bagian Bogor Barat atau kaki Gunung Halimun yang merupakan hulu Sungai Cisadane. “Tertibkan villa liar yang tak memiliki IMB dan juga berdiri di tanah negara. Jangan tebang pilih,” ungkap Yayat.
Kemudian lanjutkan normalisasi sungai hingga ke hilir atau muara, kembalikan kedalaman dan lebar sungai besar tersebut seperti pada bentuk asalnya. Lalu cara non struktural, yakni cara mengajak masyarakat untuk tetap mempertahankan daerah resapan. Dalam hal ini, masing-masing pemda yang dilalui kedua sungai tersebut, harus konsisten, jangan sampai daerah resapan berubah fungsi jadi villa atau perumahan komersil.
“Kemudian pembuatan dua waduk besar di Ciawi dan Sukamani, Kabupaten Bogor. Kalau pembuatan dua waduk tersebut sudah bisa menstabilkan debit air 80 meter kubik per detiknya, Jakarta aman. Tak perlu lagi ada sodetan Ciliwung Cisadane,” ungkap Yayat.
Sementara itu, Kabid Saeana Kota dan Lingkungan Hidup Bappeda DKI Jakarta, Nursam Daud, yang juga ikut serta dalam diskusi tersebut, tetap kekeuh agar sodetan tersebut segera terealisasikan. “Debit air sodetan itu hanya 100-300 meter kubik per detik kok, kalaupun lebih dari itu, Tangerang bebas menutup sodetan, agar tak kena banjir,” katanya.
Di tempat terpisah. mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, rencana sodetan Sungai Ciliwung-Cisadane, terlalu cepat dikerjakan tahun ini. “Bukannya menolak, seharusnya di awal ada langkah normalisasi di kedua sungai itu. Supaya daya tampung airnya tinggi,” ungkap JK, saat ditemui usai peresmian Masjid Al Kautsar di Pamulang, kemarin.
Kalau tidak dinormalisasi terlebih dulu, namun sudah dibuat sodetan, Kalla menilai, langkah tersebut tidaklah menimbulkan efek yang berpengaruh pada pengurangan banjir. “Yang ada malah memindahkan banjir. Padahal kan bukan mengurangi titik banjir di Jakarta dan daerah sekitarnya,” tutur Kalla.
Selain itu, Kalla menilai pelebaran sungai juga harus dilakukan dengan cara memindahkan pemukiman warga yang tinggal di bibir sungai. Terutama pada Sungai Ciliwung, mau tak mau dan harus direlokasi. “Minimal 100 meter dari bibir sungai. Kalau tidak mau direlokasi, tidak akan ada langkah pelebaran sungai,” ketua PMI ini. (pramita/deddy)