ICW: Pisahkan Individu dengan Lembaga Soal Akil
JAKARTA,SNOL Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah dikeluarkan tidak bisa dianulir. Keputusan MK bersifat final dan mengikat, berbeda dengan putusan pengadilan biasa.
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan terkait kasus penyuapan Ketua MK Akil Mochtar adalah mencermati apakah hasil-hasil putusan MK yang ada, terindikasi korupsi.
“Kalau ada indikasinya, silakan masyarakat menggugat kepala daerah (yang menang) ke PTUN (Pengadilan Tinggi Urusan Negara). Selain itu, laporkan orang-orang yang terindikasi korupsi ke KPK,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun dalam diskusi ‘Kepemimpinan Demokrasi dan Potret Hukum Indonesia’ di Tebet, Jakarta, Minggu (6/10).
Tama juga menyebutkan agar masyarakat membedakan kasus ini antara individu dengan institusi. Lantaran MK sangat mendukung KPK dalam urusan pemberantasan korupsi. Meski kenyataannnya seorang hakimnya terjerat kasus suap.
“Secara kelembagaan, MK sangat berpihak pada KPK. Misalnya saat pengangkatan Busyro sebagai Ketua KPK oleh MK, ini kan menguatkan peran KPK, meski Akil tidak menyetujuinya,” jelas Tama.
Ia juga membeberkan, ICW bersama kepolisian pernah melaporkan Akil kepada KPK pada 2006 lalu. Saat itu, Akil masih menjadi anggota legislatif fraksi Golkar. Oleh karena itu, dia tidak heran mengetahui penangkapan Hakim MK ini.
“Ini cerita lama yang terkonfirmasi secara hukum,” tandasnya.
ICW juga meminta KPK menggunakan sistem pemeriksaan tindak pencucian uang dan pembuktian terbalik dalam kasus dugaan suap Pilkada Gunungmas, Kalimantan Tengah dan Lebak, Banten yang menyeret Akil Mochtar sebagai tersangka.
Tama S Langkun menduga aliran dana suap itu tidak berhenti di Akil semata, tapi juga ke anggota MK lainnya. Sebab dalam memutuskan perkara, hakim konstitusi tidak sendiri.
“Dalam satu panel ada tiga orang. Sementara, ada sembilan majelis hakim. Jadi perkara tidak berhenti di Akil saja,” ujar Tama.
Tama menjelaskan, tindak korupsi terjadi saat seseorang yang tanpa akuntabilitas memegang suatu jabatan. Khusus untuk hakim, korupsi yang dilakukan bukan semata faktor kekurangan uang atau pemenuhan kebutuhan dasar.
“Sekarang gaji hakim sudah tinggi, jadi tidak lagi corruption by needs tapi corruption by greed (rakus). Bisa dengan korupsi pengadaan barang dan jasa. Ini perlu hukuman berat,” tekan Tama.(rus/wid/rmol)