Octav, 30 Tahun Mengajar Silat di Jerman
Pencak silat sudah mendunia. Di Berlin, Jerman. Lewat Sigepi (Silat Gerakan Pilihan) Institut, pencak silat cukup diminati warga setempat.
Cuaca Berlin malam itu (6/3) cukup membuat Octav Dirgantara Setiadji, 66, kedinginan. Meski sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Jerman, dia tetap tidak mampu menahan hawa dingin yang menusuk tulang. Dengan jaket tebal yang membungkus tubuh, Octav buru-buru masuk ke gedung di kawasan Rheinstrasse, Berlin.
Suasana agak hangat terasa di lantai dua gedung itu. Ya, di salah satu ruangan di lantai tersebut terdapat markas Sigepi Institut. Begitu keluar dari lift, tamu langsung ketemu front office dengan meja counter dan beberapa kursi tunggu. Dinding-dinding ruangan itu dihiasi foto-foto Octav pada masa muda ketika badannya masih tegap. Banyak juga potret para pesilat bule, murid Octav.
Octav duduk di mejanya, membuka komputer dan browsing internet. “Ini yang saya ceritakan tadi. Yang ini video di YouTube ujian Sigepi. Itu foto-foto murid saya dari berbagai tempat. Kami berkomunikasi lewat internet,” ujarnya sambil terus membuka tautan-tautan di website resmi Sigepi Institut.
Tak lama kemudian, seorang perempuan memasuki ruangan. Melihat sosok Octav, dia langsung mendekat ke konter. Perempuan berambut cokelat itu memberikan salam ala pencak silat kepada Octav. Badannya dibungkukkan dengan telapak tangan kanan di dada. Sapaan tersebut disambut Octav dengan jabat tangan dan ciuman pipi.
Setelah itu, murid-murid yang lain terus berdatangan. “Di sini memang saya terapkan tata cara Indonesia. Mereka boleh melakukan apa saja di luar. Tapi, kalau sudah di sini, mereka harus bersikap seperti seorang murid yang sedang berguru silat,” ujar pria yang baru kehilangan sang istri tercinta tahun lalu itu.
Pukul 18.30, sebanyak 13 murid yang sudah berkostum silat masuk ke ruang latihan di sebelah front office. Disusul kemudian sang guru, Meister Octav, begitu dia dipanggil murid-muridnya. Setelah itu, latihan pun dimulai. Diawali dengan pemanasan lari-lari keliling ruangan, peregangan otot, lalu mengulang jurus-jurus yang sudah diberikan pada latihan sebelumnya.
Tak lama kemudian, musik pengiring dibunyikan dari tape recorder. Iramanya rancak kendang Jawa Baratan. Dengan musik pengiring itu, satu per satu murid membuat gerakan sesuai dengan jurus-jurus yang telah diajarkan. Octav mengamati setiap gerakan sang murid dari jauh. Dia memang sudah jarang melatih langsung. Sejak beberapa tahun lalu, tanggung jawab melatih diberikan kepada murid-murid terbaiknya. “Mereka sudah bisa mengajar karena sudah banyak pengalaman. Ada yang sudah 15 tahun belajar pencak silat,” jelasnya.
Dari ucapan tersebut, sudah jelas bahwa perjalanan hidup Octav di Berlin tidak sekejap. Ya, Oktav hijrah ke Jerman sejak 1980. Waktu itu, dia sudah malang melintang di dunia persilatan Indonesia. Bahkan, bakatnya dalam seni bela diri tersebut pernah membuat dirinya menjadi fighting director (pengarah adegan pertarungan dalam film) pada era 1970-an.
“Boleh dikatakan, saya adalah fighting director pertama di Indonesia. Sebab, sebelum itu, kebanyakan film bertema drama,” imbuh pria yang mulai belajar bela diri di perguruan Perisai Diri tersebut.
Sayangnya, dunia perfilman pada akhir 70-an terus menurun. Octav pun berpikir untuk mencari peluang baru. Kebetulan, dia bertemu teman sekaligus mantan muridnya yang bekerja di Jerman. Saat itu, ide untuk mengajar pencak silat di Jerman pun tercetus. Alhasil, dengan tekad bulat, Octav rela meninggalkan istri dan empat anaknya di Indonesia untuk mengejar karir di Jerman.
“Kali pertama ke sini (Berlin, Red), saya tak tahu harus bagaimana. Jangankan pencak silat, Indonesia saja sama sekali belum dikenal waktu itu. Saya sampai harus mendapatkan mosi dari teman-teman saya agar pe-merintah Jerman mengizinkan saya bekerja,” ceritanya.
Untungnya, pekerjaan Octav menjadi mudah setelah mendapat izin dari pemerintah Jerman. Dia masih ingat, kelas pertama tempat dirinya mengajar ada di sekolah bela diri Jepang, Budokan Sportschule. Waktu itu, dia menerima sekitar 60 murid. “Setelah itu, saya menjadi guru di sekolah lain. Yakni, Randori Sportcshule dan Berd Grossmann Sportschule,” jelasnya.
Namun, tidak berarti hidup Octav menjadi mudah dan tenang. Secara finansial, itu memang mungkin. Sebab, gaji sebagai guru silat saat itu sudah lebih dari cukup untuk hidup sendiri dan mengirim sebagian untuk keluarga di Indonesia. Tapi, kerinduan pria tersebut kepada istri dan empat anaknya sulit dibendung.
“Dua tahun saya sendirian di Jerman. Apalagi, saya bukan diplomat, sehingga tidak boleh mengajak keluarga. Syukurlah, konsulat Berlin akhirnya memberi saya pekerjaan. Dengan begitu, saya bisa membawa istri dan anak-anak ke Berlin.”
Kehidupan tersebut terus dijalani hingga Octav memutuskan untuk mendirikan Sigepi Institut pada 2011. Saat itu, Octav yang baru pensiun dari KJRI Berlin langsung menghabiskan dana sekitar EUR 70.000 (Rp 912 juta, kurs EUR 1 = Rp 12 ribu) untuk menyewa satu flat seluas 400 meter persegi. Flat itulah yang kemudian dijadikan markas Sigepi Institut. Dana tersebut merupakan tabungannya plus sekitar EUR 14 ribu (Rp 182 juta) utang dari pihak ketiga. “Tahun lalu siswa saya baru 40 orang. Tapi, sekarang sudah sekitar 150 orang, sehingga mampu untuk membiayai operasi Sigepi,” ujarnya.
Meski muridnya kini banyak, Octav belum bisa bangga. Sebab, kakek delapan cucu itu prihatin karena sangat sedikit orang Indonesia yang mau belajar pencak silat. Justru orang asing yang menggebu berlatih warisan budaya nenek moyang orang Indonesia itu. “Di antara seluruh murid saya, 98 persen orang asing. Orang Indonesia tak sampai sepuluh,” ungkapnya.
Padahal, warga negara Indonesia yang berdomisili di Berlin tak bisa dikatakan sedikit. Maklum, Berlin merupakan salah satu tujuan utama para mahasiswa dan orang Indonesia yang mencari pekerjaan. “Orang Indonesia yang tinggal di sini justru memilih bela diri lain. Misalnya, taekwondo. Padahal, mereka juga tahu bahwa di sini ada tempat latihan pencak silat,” ujarnya.
Menurut Octav, pencak silat harus menghilangkan beberapa image kuno. Misalnya, pendekar silat mesti berkumis tebal dan berwajah garang. Atau, gambaran tukang silat yang suka mencari gara-gara. “Sekarang zamannya sudah berbeda. Orang-orang sekarang ingin belajar bela diri untuk kesehatan. Tidak untuk kelahi,” tegasnya.
Hal itu terbukti selama dia mengajar silat di Berlin. Meski Octav mendapat banyak murid, tak semua ilmu yang diberikan diterima muridnya. “Saya pertama belajar bela diri di Perisai Diri yang banyak menggunakan tenaga pernapasan, sehingga terkesan sedikit mistis. Tapi, murid saya di sini nggak ada yang mau belajar itu,” ujar Octav. (M Salsabyk A’Dn dari Berlin/jpnn)