Suhartono, Pematung yang “Hidupkan” Lagi Pak Harto

BUTUH DUA TAHUN UNTUK JENDERAL BESAR

Karyanya tidak perlu diragukan lagi. Terakhir, dia menyelesaikan patung mantan Presiden Soeharto yang berdiri tegak di tanah kelahirannya, Bantul, Jogjakarta.

NAUFAL WIDI A.R., Jakarta

Patung Dewi Saraswati berdiri kukuh di sebuah halaman rumah yang asri di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Patung itu berwarna putih dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Rimbunan pohon rambutan seolah memayungi patung yang mempunyai empat tangan tersebut. Tiap-tiap tangannya memegang benda berharga.

Tidak jauh dari patung itu, persisnya di bagian teras rumah, sepasang patung proklamator, Soekarno dan Mohammad Hatta, tampak menyambut setiap orang yang bertandang ke rumah itu. Di ruang tamu makin banyak koleksi patung yang bisa dijumpai.

Itulah rumah pematung senior Suhartono. Ratusan karya telah dihasilkan seniman yang meng-geluti dunia patung sejak hampir setengah abad silam itu. “Ini beberapa (patung) saja. Di studio masih ada patung-patung lain,” tutur Suhartono pekan lalu.

Studio yang dimaksud Suhartono itu berada di belakang rumahnya. Luasnya sekitar 10 meter x 13 meter. Di tempat itulah patung-patung tersebut diproduksi.

Salah satu patung yang baru saja dia selesaikan adalah patung mantan Presiden Soeharto. Patung setinggi 3,5 meter itu kini dipajang di rumah kelahiran Soeharto di Dusun Kemusuk Lor, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta.

Lantaran punya nilai sejarah penting, rumah Soeharto tersebut kini dipugar. Oleh pihak keluarga, tempat itu dijadikan bahan kajian dan memorial Jenderal Besar HM. Soeharto yang diresmikan pada 1 Maret lalu.

Meski sudah dipajang, patung itu belum kelar 100 persen. Pasalnya, patung tersebut masih harus dicetak dengan fiber untuk kemudian dibentuk lagi dengan bahan perunggu.

“Patung di Kemusuk itu, bentuk kepalanya seperti ini,” kata Suhartono sembari menunjuk patung kepala Soeharto yang tak jauh dari pintu masuk rumahnya.

Pria asal Banyuwangi tersebut lantas bercerita ihwal dirinya diminta membuat patung Soeharto yang mengenakan seragam jenderal Angkatan Darat itu. Pada 2010 dia dipanggil untuk menemui Probosutedjo, adik Soeharto. Suhartono tidak tahu dari mana Probosutedjo mendapatkan referensi tentang dirinya.

“Ternyata Pak Probo pernah beli patung saya pas pameran. Patung tentang wanita dan seruling,” ungkapnya.

Saat bertemu Probosutedjo, Suhartono sempat ditanya soal pengalamannya membuat patung. Karena itu, dia lantas menyodorkan CV (curriculum vitae) dirinya. Dari situlah Probo yakin bahwa Suhartono adalah pematung yang dicarinya. Suhartono kemudian diminta untuk membuat patung Soeharto dengan kostum jenderal besar.

Sejak itu, Suhartono langsung menggarap patung sang penguasa Orde Baru tersebut. Hampir dua tahun dia suntuk, berusaha “menghidupkan” lagi sosok Soeharto yang gagah dan berwibawa. Selama pembuatan patung tersebut, Probosutedjo terus mengecek progresnya.

“Kadang sebulan sekali, kadang tiga minggu sekali, beliau rawuh ke sini. Ya di sela-sela kesibukan beliau,” katanya.

Garapan Suhartono ternyata dinilai nyaris sempurna. Karena itu, Probo juga meminta Suhartono membuat patung Pak Harto dengan posisi-posisi yang berbeda. Salah satunya, Pak Harto yang sedang memberi hormat. Patung itu kini ikut menghiasi kompleks rumah Atmo Sudiro, ayah Pak Harto, di Kemusuk tersebut. Patung itu menjadi bagian dari diorama perjalanan hidup Soeharto.

Ada juga patung Pak Harto dan Ibu Tien mengenakan pakaian resmi: jas dan kebaya. Suhartono juga membuat patung Soeharto naik kuda. Memang belum semua jadi. Termasuk patung Pak Harto- Ibu Tien, masih terlihat kasar dan dibungkus plastik di dalam studio.

“Sekarang saya masih konsen menyelesaikan yang di Kemusuk (proses dari fiber ke perunggu, Red). Harus selesai Juni nanti, bertepatan dengan kelahiran Pak Harto,” ujarnya.

Saat ditanya berapa Probosutedjo harus merogoh kocek untuk membayar patung-patung karyanya, Suhartono menolak menjawab. “Ini rahasia perusahaan,” elaknya.

Suhartono sudah sering mendapat order membuat patung fenomenal. Khususnya patung tokoh-tokoh nasional. Antara lain, patung mantan Presiden Soekarno, mantan Wapres M. Hatta, dan pengetik naskah proklamasi Sayuti Melik. Juga ada patung R Ng Ronggowarsito, Ki Hadjar Dewantara, dan pelopor pendiri Akademi Kepolisian Djokosoetono.

Selain patung, Suhartono juga menggarap relief dan diorama di sejumlah tempat. Misalnya diorama Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, Jakarta, serta relief pengetikan naskah proklamasi oleh Sayuti Melik dan Ibu Fatmawati yang menjahit bendera pusaka. Karya-karya berbahan perunggu itu kini menghiasi Istana Negara.

Sejumlah tempat wisata pun memanfaatkan kepiawaian Suhartono membuat patung. Misalnya patung Rama-Shinta dan wahana Perang Bintang di Taman Impian Jaya Ancol.

Patung terbesar yang pernah dibuat Suhartono adalah patung Lembuswana setinggi 13 meter dengan panjang 16 meter dan berat 35 ton di Pulau Kumala, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Menurut Suhartono, hal yang paling sulit saat membuat patung adalah membentuk karakter dan mimik tokoh yang jadi objek sesuai dengan aslinya. Revisi harus dilakukan berkali-kali. Terutama ketika keluarga si tokoh mengecek. “Biasanya seniman membuat dulu, lalu dicek pihak keluarga,” tuturnya.

Pria 69 tahun itu mengungkapkan alasan pentingnya melibatkan pihak keluarga dalam pembuatan patung. Pasalnya, keluargalah yang paling tahu tentang kondisi sebenarnya si tokoh. “Dengan cara begitu, patung akan sangat mirip dengan aslinya. Pihak keluarga juga tidak akan komplain,” terang bapak enam anak itu.

Misalnya saat membuat patung Soeharto, masukan datang dari Probosutedjo. Kemudian, dia mendapat saran dari Meutia dan Halida Hatta saat membuat patung Bung Hatta serta Sukmawati ketika membuat patung Bung Karno.

Perjalanan Suhartono hingga menjadi seorang pematung profesional bermula saat dirinya masuk ASRI (kini ISI) Jogjakarta pada 1963. Sejak masih duduk di SGA (sekolah guru agama) Banyuwangi, dia biasa melukis dan membuat patung. “Ternyata di sana (ASRI) ada jurusan seni patung. Maka, saya pun masuk di situ,” katanya.

Nah, di ASRI itulah Suhartono bertemu dengan Edhi Sunarso, pematung senior. Saat Edhi mendapat tugas menangani proyek pembangunan patung untuk hotel di Jakarta, Jogjakarta, dan Bali, Suhartono ditugasi untuk membantu membuatkan maket. Maket usulannya lantas diajukan kepada Bung Karno dan ternyata disetujui. Dari situlah pintu kesuksesan Suhartono terbuka lebar.

Hingga kini, Suhartono sudah menggelar 25 kali pameran bersama dengan perupa lain. Beberapa di antara pameran itu dilakukan di Kuala Lumpur, Malaysia. Sejumlah penghargaan juga dia sabet.(*/c11/ari/jpnn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.