Sembilan Bersaudara Hanya Satu yang Bisa Bahasa Jawa
KISAH WARGA MALAYSIA BERDARAH JAWA MENCARI SAUDARA
Warga Malaysia berdarah Jawa banyak jumlahnya. Mereka adalah anak-cucu para perantau di era sebelum Malaysia merdeka.
RIDLWAN HABIB,
Lahad Datu
Mujiarto, salah seorang yang mengaku “kepaten obor” dengan saudaranya di Godean, Jogjakarta. Perawakannya tinggi besar. Jenggotnya sudah memutih. Tapi, ke mana-mana dia selalu mengenakan kacamata hitam layaknya ABG (anak baru gede). Dia memiliki mobil sedan yang dibuat agak ceper dan gaul, lengkap dengan sound system yang jedug-jedug memutar lagu dangdut.
“Usia bolehlah tua, tapi selera kudu ngenomi (muda),” ujar Mujiarto Redjowongsodinomo saat pertama kali bertemu wartawan koran ini di kawasan tengah kota, Minggu (10/03).
Muji begitu dia akrab disapa. Pria kelahiran 1952 ini memang mencari-cari koran ini sejak mendengar ada wartawan dari Jawa datang. Namun, karena setiap hari Jawa Pos “naik turun” meliput di kawasan konflik Fel-da Sahabat, maka baru bisa bertemu Minggu kemarin. “Saya ini warga Malaysia, IC (kartu tanda penduduk, Red) Malaysia, tapi leluhurku Jogja, Mas,” ujarnya.
Ayah Muji benama Redjowongsodinomo merantau ke tanah seberang sejak dirinya masih orok merah. “Dari cerita bapak saya masih dua tahun saat dibawa ke sini (Malaysia),” katanya.
Redjowongsodinomo, termasuk imigran pertama dari Jawa yang datang ke Lahad Datu, Sabah, Malaysia. “Saat kecil dulu, di sini masih hutan semua. Binatang buas semua ada,” ujarnya.
Sebagai anak sulung, Muji harus banting tulang membantu orang tuanya. Itulah mengapa sekolah dia hanya sampai sekolah menengah di zaman koloni Inggris. “Daerah ini dulu dikuasai British Company, jadi saya belajar dulu bukan cakap Melayu tapi pakai Inggris punya,” ujarnya.
Delapan adik-adik Muji lebih lumayan pendidikannya. “Adik saya dua perempuan, enam lelaki, tapi sing iso boso Jowo (yang bisa bahasa Jawa, Red) tinggal saya,” kata Muji yang pernah menjadi manajer sebuah perkebunan sawit itu.
Adik-adiknya benar-benar menjadi orang Malaysia. Maklum, mereka sejak dalam kandungan berada di negeri jiran itu. Kini mereka tersebar di Tawau, Kinabalu, sampai Kuala Lumpur. “Ya, di sini pegawai itu namanya jabatan. Kalau di Indonesia pegawai negeri lah,” katanya.
Tapi, bagaimana Muji, yang besar dan tumbuh di Sabah bisa fasih bahasa Jawa. “Aku iki omong Jowo ndeles isih iso (Aku bisa bicara dengan bahasa Jawa halus masih bisa, Red),” ujarnya.
Rupanya pada 1985 dia pernah ikut ibunya yang asli Tungklur, Kediri, Jawa Timur, pulang kampung ke Indonesia. Sebagai jejaka, dia kesengsem dengan gadis tetangga desa bernama Juwanah. “Alhamdulillah, sekali pulang ke Indonesia dapat rezeki jodoh,” katanya lalu tersenyum.
Nah, karena istrinya asli Kediri, otomatis suasana rumah tangganya juga kental dengan idiom dan bahasa Jawa. “Tapi anak-anakku wis ora deles. Bisanya cuma kata-kata sederhana,” katanya.
Muji dan Juwanah dikaruniai tiga anak. Yakni Yudi Ari Setiawan, Nur Melisa, dan Muhammad Alif Witanto. “Semua namanya ada unsur bahasa Jawa-nya,” katanya.
Anak sulungnya yang jago IT sekarang bekerja di Kuala Lumpur. Sedang dua adiknya masih sekolah. Di Lahad Datu, sambung Muji, peluang pekerjaan di bidang IT hampir tidak ada. “Alhamdulillah anakku mbarep (sulung) sudah bisa cari makan sendiri,” tambahnya.
Sekarang, Muji memang tidak lagi bekerja di perkebunan sawit. Dia wiraswasta di Lahad Datu dan kota-kota sekitarnya. Karena itu, dia banyak mengenal komunitas dari Jawa yang rata-rata bekerja sebagai pedagang. “Alhamdulillah aku juga dianggap sedulur. Diundang juga ikut arisan. Merasa seperti saudara sendiri,” ujar pria yang tinggal di kawasan yang disebut Tekwan itu.
Muji masih punya saudara di Jogjakarta. Dia hanya ingat lokasinya di sekitar Pasar Godean, Bantul, sekitar 30 kilometer dari pusat kota Jogja. “Bapakku paring ancer-ancer, ora adoh seko pasar, ngisor wit pring (Ba-pak saya memberi ancar-ancara, tidak jauh dari pasar, di bawah pohon bambu, Red),” katanya.
Tahun 1985, saat menikah, Muji sempat diajak mampir ke tempat asal ayahnya itu. Tapi, itu sudah 28 tahun silam. “Ya moga-moga tidak kepaten obor (kematian nyala api, Red). Saya yakin famili saya masih ingat dengan saya,” katanya sembari berharap keluarga di Jogja bersedia menghubungi jika melihat fotonya dipasang di koran. “Mungkin bisa lewat Anda, nanti kita bisa kontak lagi. Siapa tahu sudah tidak di Godean,” katanya.
Muji sebenarnya ingin pulang sendiri ke Jogjakarta. Namun kesibukannya sebagai kepala keluarga belum memungkinkan. “Pokoknya saya ini masih trah Redjowongsodinomo,” kata Muji.
Dia lamat-lamat ingat, di antara saudaranya itu ada yang bernama Atmowijoyo. Ada pula yang bernama Gangiwati, adik sepupu ayahnya. “Kalau tidak salah bulik itu punya anak di kepolisian namanya Mujiono,” katanya sembari dahinya mengerut karena mengingat-ingat nama.
Sebagai warga Malaysia yang dituakan oleh masyarakat Jawa di Lahad Datu, Muji akrab disapa dengan Kang atau Mas. “Kang Muji ini lebih halus dari kami yang muda-muda ini,” kata Suwito, pedagang bakso yang juga dari Jawa.
Menurut Suwito, Muji menggantikan peran seorang ustad dari Blitar Jawa Timur yang bernama ustad Rofik yang wafat belum lama ini. (*/ari/jpnn)