Bertahan sebagai Humas, Batal Jadi Guru Besar
Musim Bencana, Musim Sibuk bagi Sutopo Purwo Nugroho
Sebagai ujung tombak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang berhubungan dengan media, Sutopo Purwo Nugroho harus siaga 24 jam meladeni wawancara wartawan.
BAYU PUTRA-DHIMAS G.
Jakarta
“Sejak banjir besar (di Jakarta), handphone ini tidak pernah berhenti menerima telepon atau BBM (BlackBerry Messenger). Kalau tidak diangkat, pasti telepon terus,” ujar Sutopo kepada Jawa Pos di Kantor BNPB Selasa lalu (29/1). Sejak menjabat kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, kesibukan Sutopo memang meningkat tajam.
Pernah ada yang menyarankan agar Sutopo mematikan ponsel saat mengisi ulang baterai. Namun, dia malah menuai protes dari para wartawan. “Wartawan memang prioritas saya untuk menyampaikan informasi bencana. Begitu saya broadcast, langsung disampaikan ke masyarakat,” katanya.
Sutopo bisa dikatakan orang baru di dunia humas. Dia menjadi bagian dari humas sejak Agustus 2010. Sebelumnya dia menjabat kepala Badan Mitigasi Bencana BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Namanya melejit saat Waduk Situ Gintung ambrol pada 2009. Dua bulan sebelum Situ Gintung jebol, Sutopo melakukan riset di waduk tersebut. Dia juga pernah memotret retakan-retakan di waduk. “Waktu Situ Gintung jebol, saya kaget dan langsung melihat lagi foto-foto yang pernah saya ambil. Ternyata memang ada retakan,” lanjut pria asli Boyolali, Jawa Tengah (Jateng), itu.
BNPB sempat kesulitan untuk mencari humas. Lembaga tersebut pernah merekrut humas dengan latar belakang ilmu public relation. Tapi, apa daya, banyaknya bencana di Indonesia membuat humas tersebut bekerja ekstrakeras. Apalagi, dituntut paham tentang bencana. “Banyak yang tidak bertahan lama di sini,” katanya.
Nah, suatu ketika dia ditawari untuk mengisi pos humas yang kosong. Sutopo sempat ragu. Maklum, dia tidak memiliki latar belakang ilmu humas. Modal yang dia bawa bukan bagaimana bisa menyampaikan informasi dengan lugas khas humas. Tapi, Sutopo mengandalkan pengetahuannya tentang bencana yang dia dapat. Latar keilmuannya di bidang geografi fisik, hidrologi, dan pengelolaan lingkungan sangat membantu dalam penyampaian informasi.
Sebelum menyampaikan ke media, Sutopo menghubungi kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Intinya, dalam pesan yang disampaikan ke wartawan, ikut tercantum nomor telepon kepala BPBD. Dia mewajibkan kepala BPBD mengangkat telepon yang masuk dan menjelaskan apa adanya tanpa ada yang ditutupi.
Sutopo mengaku tidak pernah terpikir akan bergelut dalam pekerjaan yang terkait dengan bencana seperti sekarang. “Cita-cita saya dari kecil itu jadi guru atau dosen,” tutur alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta tersebut.
Saat hendak masuk kuliah, dia sempat mengalami sejumlah kegagalan hingga akhirnya diterima di jurusan Geografi Fisik UGM. “Geografi fisik itu dulu nggak mentereng sama sekali,” ujarnya, lantas tertawa. Akhirnya dia lulus dengan predikat cum laude. Ayahnya yang didapuk memberikan sambutan meminta pihak universitas menerima Sutopo sebagai dosen. Kala itu, untuk diterima sebagai dosen, dibutuhkan persetujuan seluruh dosen di jurusan. Nah, karena ada satu dosen menolak, Sutopo pun gagal menjadi dosen.
Dia kemudian melamar menjadi peneliti di BPPT. Karirnya terus melejit. Pada 2010 dia menyelesaikan S-3 Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB Bogor. Pada 2012 dia hendak dikukuhkan sebagai guru besar. Namun, langkahnya terhenti karena LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengharuskan Sutopo mundur dari BNPB dan kembali aktif di BPPT.
Tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan karena keberadaannya di BNPB sangat strategis. Tak ada pilihan lain, Sutopo merelakan gelar profesor tersebut melayang. Padahal, segala persiapan untuk orasi ilmiah sudah matang. Mulai pakaian jas untuk dia dan anak-anaknya, gedung, hingga materi.
Meski kecewa, Sutopo tetap bersyukur atas apa yang diraihnya sekarang. Pangkatnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sudah mentok. Dia memiliki golongan PNS IV-e saat berusia 41 tahun. Berbeda dari PNS umumnya yang butuh waktu 32 tahun untuk sampai ke IV-e, Sutopo hanya menempuhnya dalam waktu 16 tahun karena keahlian yang dimilikinya.
Sebagai peneliti, Sutopo sudah banyak menulis di jurnal ilmiah tingkat nasional maupun internasional. Dia sudah menerbitkan 75 jurnal ilmiah nasional dan lima jurnal ilmiah internasional. Sutopo juga menulis sedikitnya sembilan buku yang berkaitan dengan keilmuannya. Itu belum termasuk 30 makalah yang tidak sampai diterbitkan.
Beberapa wartawan asing pun sempat berkomentar positif. Sutopo disebut-sebut sebagai humas yang paling koordinatif dengan wartawan. Bagi Sutopo, kunci keberhasilan adalah bekerja keras. “Tidak ada makan siang yang gratis,” ucapnya. (*/c10/ca)