Mengapa Banjir Landa Komplek Perumahan?

TANGERANG, SNOL Banjir di Kota Tangerang perlahan memang telah surut seiring hujan yang tak lagi turun. Namun di balik musibah itu, timbul sebuah pertanyaan, mengapa konsentrasi banjir besar justru terjadi di komplek-komplek perumahan?
Sebagaimana diketahui, banjir besar awal tahun 2013 di Kota Tangerang terjadi di tujuh kecamatan. Dari ketujuh kecamatan itu, hampir seluruh wilayah terendam merupakan komplek perumahan, dimana debit banjir paling tinggi melanda Komplek Perumahan Total Persada dan Ciledug Indah.
Mengenai hal ini, Walikota Tangerang Wahidin Halim mempunyai jawaban. “Kenapa yang kebanjiran justru komplek perumahan? Itu karena wilayah-wilayah perumahan tersebut berada di dataran rendah,” kata Wahidin Halim kepada wartawan usai memimpin rapat evaluasi dengan SKPD, Senin (21/1) di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang.
Lebih jauh, Wahidin Halim yang saat meladeni para pewarta duduk santai di tangga depan ruangannya menjelaskan, sebelum pengembang membangun perumahan di daerah yang terkepung banjir, sebetulnya kawasan perumahan tersebut adalah persawahan. “Seperti di Ciledug Indah, jauh sebelum dibangun komplek perumahan merupakan kawasan banjir. Makanya namanya seharusnya bukan Ciledug Indah, tapi Ciledug Banjir,” selorohnya.
Kondisi itu katanya bertambah rumit manakala banyak pengembang yang pergi begitu saja meninggalkan proyek yang pernah dibangunkannya. “Jadi kalau mau minta tanggungjawab pengembang juga kemana, kan pengembangnya pada ‘mati’ semua,” jelasnya. Karenanya, dia mengungkapkan sejak kepemimpinannya Pemkot mewajibkan pengembang baru yang hendak membangun proyek perumahan harus menyediakan danau atau tandon.
Lebih dari itu, keberadaan sungai-sungai yang menjadi tanggungjawab pemerintah di atasnya harusnya dinormalisasi. “Sungai-sungai itu tanggungjawab di pusat. Gubernur dengan gubernur harusnya berkoordinasi, departemental dengan departemental. Inikan tidak, hutan “jelasnya.
Disinggung apakah Kota Tangerang tidak sebaiknya membangun tunnel atau terowongan bawah tanah guna meminalisir banjir, Wahidin menjelaskan hal itu tidak mungkin dilakukan. Sebab, kondisi tanah di Kota Tangerang sudah mengalami intrusi. “Tanah di Kota Tangerang sudah terdegradasi dalam kondisi cukup parah, jadi tidak mungkin dibuat terowongan. Walaupun dibuat airnya pasti akan balik lagi,” urainya.
Karenanya, salah satu jalan keluarnya adalah normalisasi kali dan kerjasama antar pemerintah daerah serta pusat. “Tapi harus konsisten, pemerintah baik pusat dan daerah harus bekerja sama. Tidak seperti sekarang ini hanya terkesan formalitas,” jelasnya.
Namun demikian, Wahidin menambahkan dengan adanya musibah banjir seperti saat ini, bukan saatnya saling menyalahkan. “Sebetulnya kalau salah ya, memang salah semua. Jakarta salah, Tangerang salah, Bogor juga salah,” katanya.
Seharusnya memang dibangun kerjasama antar pemerintah sematang mungkin. Selain itu tak kalah penting adalah kesadaran masyarakat yang membangun pemukiman di bantaran kali untuk bersedia dipindah. “Sayangnya banyak penolakan dari warga. Kalaupun mereka bersedia dipindah mereka meminta ganti rugi melebihi nilai jual padahal itu tidak mungkin,” pungkasnya. (made)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.